Jumat, 19 Februari 2016

Cinta Platonik : Cinta yang Berlindung di Balik Jubah Persahabatan





Dalam symposium, Plato salah seorang filosof menyebutkan, bahwa cinta adalah wujud dasar dari semua kebajikan dan kebenaran. Pada dunia yang serba cita, cinta itu dipandang Plato sebagai tatanan pikiran dan perasaan yang sangat ideal. Plato memandang, realitas itu tak lebih dari sekedar copy dunia ide. Wujudnya, apabila cinta dipandang sebagai sumber dari kebaikan dan kebenaran, maka di dalamnya tak akan ada motif tersembunyi pada relasi kasih sayang di antara sesama manusia. Ia akan tulus suci dalam mengejawantahkan cinta itu sendiri. Berpijak atas ide Plato tersebut, pasti termasuk di dalamnya pertalian kasih sayang di antara dua lawan jenis. Ini terdengar sangat absurd. Bagaimana mungkin laki-laki dan perempuan apalagi yang telah dewasa dapat bersahabat akrab tanpa motif tersembunyi di dalamnya? Apalagi misalnya mereka memiliki karakter yang tak jauh beda, minat yang sama, apapun yang diceritakan akan nyambung. Mereka bisa berbincang apa saja, saling meneguhkan, menyemangati sekaligus saling menolong, sementara mereka terikat oleh pernikahan mereka masing-masing. Apakah mungkin? Amor platonicus atau cinta platonik banyak yang menafsirkan sebagai secret love, mereka menjalin cinta secara diam-diam. Sebuah contoh ekstrim tersesatnya penafsiran cinta platonik ini dilakukan oleh Harriet Taylor, seorang feminis pada abad 18, dengan seorang filosof Barat, John Struart Mill. Ketika itu Harriet meminta komitmen kepada suaminya, Taylor, bila ia ada di dalam rumah, maka ia adalah istri untuk Taylor dan ibu untuk anak-anak. Namun begitu keluar dari rumah, ia adalah milik publik. Bahkan ia dengan tanpa beban menghabiskan akhir pekan berdua saja bersama Mill. Kebebasan mereka berdua, dalam status sebagai istri bagi suaminya atau mungkin sebaliknya, dipandang sebagai cinta platonik. Tetapi jika ditelisik lebih mereka berselingkuh, bukan amor platonicus. Cinta platonik itu bebas dari kemelekatan keinginan memiliki, tak ada pretensi dan tak menyimpan harapan mengembangkan hubungan lebih dari sekedar persahabatan luar biasa yang sangat tulus. Mereka memiliki kedekatan perasaan, tetapi tidak untuk 'merasa-rasakan' yang memberi peluang untuk jatuh bangunnya sebuah perasaan. Ketika kehilangan pun tidak akan membuat mereka menjadi frustasi. Di antara mereka hanya memiliki kedekatan jiwa, tanpa ada tarikan seksual, tetapi mereka saling peduli dan saling mengasihi satu sama lain. Karena itu, mereka tidak peduli seberapa jeleknya rupa atau cacat dalam tubuh sahabatnya, seberapa rendah atau tingginya status sosial maupun status ekonomi, karena bukan itu yang mendekatkan perasaan mereka. Mereka juga memiliki kemiripan-kemiripan pandangan hidup sehingga mereka memiliki kenyamanan bertukar pikiran, membedah masalah, mencari solusi dan saling memberi semangat. Di sisi lain, di antara mereka ada rasa hormat dan tanggung jawab untuk menjaga kehidupan sahabatnya agar selalu baik-baik saja. Cinta di antara mereka adalah atas nama persahabatan yang tulus dan rasa hormat yang mendalam. 






Cinta Asmara Yang Berlindung di Balik Persahabatan 

Dalam testimoni beberapa literatur yang mengungkap tentang amor platonicus, banyak yang menenggarai bahwa cinta platonik itu terjadi karena mereka sadar, bahwa mereka tak mungkin bersama karena masing-masing telah memiliki kehidupan sendiri-sendiri, adanya perbedaan agama, budaya dan jurang ketidakmungkinan lainnya yang terlalu dalam. Banyak hal yang musykil akan terjadi. Karena itu mereka sama-sama membunuh harapan itu, dengan menggantikannya selimut persahabatan, dengan demikian agar mereka tetap dapat berati satu sama lain. Banyaknya testimoni ini ditenggarai karena dalam prakteknya orang yang melakukan cinta platonik, sebuah persahabaran tanpa pretensi, sering berkembang menjadi perlahan-lahan menukar perasaan itu menjadi pasangan kekasih. Berdasar pada kecurigaan-kecurigaan itu, banyak persahabatan antara pria dan wanita yang sudah dewasa merasa tidak nyaman karena prasangka orang sekeliling yang mempengaruhi pikiran dan perasaan mereka apalagi dengan jargon-jargon agama. Persahabatan mereka dihakimi atas nama dosa, Sejak awal mereka bersahabat dengan baik, akhirnya terjadi kesalahpahaman, jangan-jangan salah satu diantara mereka ingin mengembangkan ke arah hubungan yang lebih dalam, atau ragu, mungkin ini adalah perbuatan dosa. Atau, jangan-jangan salah satu di antara mereka memiliki perasaan yang jauh dari sekedar saling mengasihi, melainkan cinta asmara. Ketika ada perasaan curiga itu, persahabatan pun menjadi runyam. Boleh jadi ada keinginan untuk menutup bahkan perlahan-lahan menjauh untuk mengurangi derajat resiko yang kelak akan ditimbulkan. Sesungguhnya, antara mengasihi dan cinta asmara itu sangat berbeda. Bukan karena masalah perbedaan susunan kata, tetapi esensinya pun sangat berbeda. Mengasihi adalah kata kerja dari kata sifat, kasih sayang. Kasih sayang, atau perasaan sayang. Dalam cinta asmara ada keinginan untuk memiliki dan menguasai. Dalam cinta asmara, ada getaran hati, rasa cemburu, hasrat seksual dan ada tekad mengabadikan hubungan dalam sebuah ikatan, menjadi suami istri, sepasang kekasih (atau mungkin selingkuhan). Akan tetapi pada perasaan mengasihi, itu karena ada sesuatu dalam diri orang tersebut yang membuat seseorang itu luluh hati, dan jatuh perasan keinginan berbagi, memberi perhatian serta keinginan menjaga. Ketika ia mengasihi, ia tak pernah peduli akan dibalas ataukah tidak. Semua ia lakukan dengan ketulusan tanpa ada maksud yang menunggangi. Kembali kepada cinta platonik tadi, nampaknya cinta platonik lebih dekat kepada perasaan mengasihi tanpa tendensi, bukan cinta asmara.





Bisakah Bersahabat Dengan Lawan Jenis Tanpa Tendensi? 

Persahabatan dengan lawan jenis, apalagi dengan orang yang masing-masing telah memiliki keluarga adalah sesuatu yang sangat riskan. Jikapun tak ada tendensi di antara keduanya, itu akan menimbulkan kecemburuan yang sangat besar dari pasangan hidupnya masing-masing. Karena itu, suami atau istri dan keluarga sebaiknya turut dikenalkan dan dilibatkan dalam persahabatan itu, minimal mengetahui aktivitas apa yang dilakukan bersama sahabatnya. Bersahabat dengan bukan pasangan hidup sebaiknya harus produktif dan memiliki tujuan yang memberi manfaat bagi kehidupan, saling meneguhkan dan menumbuhkan kepribadian secara lebih positif bukannya berbincang ngalor-ngidul, berjalan-jalan tidak karuan, menyambangi cafe atau bertemu di sebuah tempat untuk berduaan. Ketika mereka melakukan itu, hanyalah jalan menuju perselingkuhan. Mereka tidak tulus, mereka sedang mencari kesenangan dengan jubah persahabatan. Apabila sudah tak ada ketulusan  dan kemurnian pertemanan di antara keduanya, sebaiknya persahabatan itu...sudahi saja