Erna Suminar
Jumat, 19 Februari 2016
Cinta Platonik : Cinta yang Berlindung di Balik Jubah Persahabatan
Dalam symposium, Plato salah seorang filosof menyebutkan, bahwa cinta adalah wujud dasar dari semua kebajikan dan kebenaran. Pada dunia yang serba cita, cinta itu dipandang Plato sebagai tatanan pikiran dan perasaan yang sangat ideal. Plato memandang, realitas itu tak lebih dari sekedar copy dunia ide. Wujudnya, apabila cinta dipandang sebagai sumber dari kebaikan dan kebenaran, maka di dalamnya tak akan ada motif tersembunyi pada relasi kasih sayang di antara sesama manusia. Ia akan tulus suci dalam mengejawantahkan cinta itu sendiri. Berpijak atas ide Plato tersebut, pasti termasuk di dalamnya pertalian kasih sayang di antara dua lawan jenis. Ini terdengar sangat absurd. Bagaimana mungkin laki-laki dan perempuan apalagi yang telah dewasa dapat bersahabat akrab tanpa motif tersembunyi di dalamnya? Apalagi misalnya mereka memiliki karakter yang tak jauh beda, minat yang sama, apapun yang diceritakan akan nyambung. Mereka bisa berbincang apa saja, saling meneguhkan, menyemangati sekaligus saling menolong, sementara mereka terikat oleh pernikahan mereka masing-masing. Apakah mungkin? Amor platonicus atau cinta platonik banyak yang menafsirkan sebagai secret love, mereka menjalin cinta secara diam-diam. Sebuah contoh ekstrim tersesatnya penafsiran cinta platonik ini dilakukan oleh Harriet Taylor, seorang feminis pada abad 18, dengan seorang filosof Barat, John Struart Mill. Ketika itu Harriet meminta komitmen kepada suaminya, Taylor, bila ia ada di dalam rumah, maka ia adalah istri untuk Taylor dan ibu untuk anak-anak. Namun begitu keluar dari rumah, ia adalah milik publik. Bahkan ia dengan tanpa beban menghabiskan akhir pekan berdua saja bersama Mill. Kebebasan mereka berdua, dalam status sebagai istri bagi suaminya atau mungkin sebaliknya, dipandang sebagai cinta platonik. Tetapi jika ditelisik lebih mereka berselingkuh, bukan amor platonicus. Cinta platonik itu bebas dari kemelekatan keinginan memiliki, tak ada pretensi dan tak menyimpan harapan mengembangkan hubungan lebih dari sekedar persahabatan luar biasa yang sangat tulus. Mereka memiliki kedekatan perasaan, tetapi tidak untuk 'merasa-rasakan' yang memberi peluang untuk jatuh bangunnya sebuah perasaan. Ketika kehilangan pun tidak akan membuat mereka menjadi frustasi. Di antara mereka hanya memiliki kedekatan jiwa, tanpa ada tarikan seksual, tetapi mereka saling peduli dan saling mengasihi satu sama lain. Karena itu, mereka tidak peduli seberapa jeleknya rupa atau cacat dalam tubuh sahabatnya, seberapa rendah atau tingginya status sosial maupun status ekonomi, karena bukan itu yang mendekatkan perasaan mereka. Mereka juga memiliki kemiripan-kemiripan pandangan hidup sehingga mereka memiliki kenyamanan bertukar pikiran, membedah masalah, mencari solusi dan saling memberi semangat. Di sisi lain, di antara mereka ada rasa hormat dan tanggung jawab untuk menjaga kehidupan sahabatnya agar selalu baik-baik saja. Cinta di antara mereka adalah atas nama persahabatan yang tulus dan rasa hormat yang mendalam.
Cinta Asmara Yang Berlindung di Balik Persahabatan
Dalam testimoni beberapa literatur yang mengungkap tentang amor platonicus, banyak yang menenggarai bahwa cinta platonik itu terjadi karena mereka sadar, bahwa mereka tak mungkin bersama karena masing-masing telah memiliki kehidupan sendiri-sendiri, adanya perbedaan agama, budaya dan jurang ketidakmungkinan lainnya yang terlalu dalam. Banyak hal yang musykil akan terjadi. Karena itu mereka sama-sama membunuh harapan itu, dengan menggantikannya selimut persahabatan, dengan demikian agar mereka tetap dapat berati satu sama lain. Banyaknya testimoni ini ditenggarai karena dalam prakteknya orang yang melakukan cinta platonik, sebuah persahabaran tanpa pretensi, sering berkembang menjadi perlahan-lahan menukar perasaan itu menjadi pasangan kekasih. Berdasar pada kecurigaan-kecurigaan itu, banyak persahabatan antara pria dan wanita yang sudah dewasa merasa tidak nyaman karena prasangka orang sekeliling yang mempengaruhi pikiran dan perasaan mereka apalagi dengan jargon-jargon agama. Persahabatan mereka dihakimi atas nama dosa, Sejak awal mereka bersahabat dengan baik, akhirnya terjadi kesalahpahaman, jangan-jangan salah satu diantara mereka ingin mengembangkan ke arah hubungan yang lebih dalam, atau ragu, mungkin ini adalah perbuatan dosa. Atau, jangan-jangan salah satu di antara mereka memiliki perasaan yang jauh dari sekedar saling mengasihi, melainkan cinta asmara. Ketika ada perasaan curiga itu, persahabatan pun menjadi runyam. Boleh jadi ada keinginan untuk menutup bahkan perlahan-lahan menjauh untuk mengurangi derajat resiko yang kelak akan ditimbulkan. Sesungguhnya, antara mengasihi dan cinta asmara itu sangat berbeda. Bukan karena masalah perbedaan susunan kata, tetapi esensinya pun sangat berbeda. Mengasihi adalah kata kerja dari kata sifat, kasih sayang. Kasih sayang, atau perasaan sayang. Dalam cinta asmara ada keinginan untuk memiliki dan menguasai. Dalam cinta asmara, ada getaran hati, rasa cemburu, hasrat seksual dan ada tekad mengabadikan hubungan dalam sebuah ikatan, menjadi suami istri, sepasang kekasih (atau mungkin selingkuhan). Akan tetapi pada perasaan mengasihi, itu karena ada sesuatu dalam diri orang tersebut yang membuat seseorang itu luluh hati, dan jatuh perasan keinginan berbagi, memberi perhatian serta keinginan menjaga. Ketika ia mengasihi, ia tak pernah peduli akan dibalas ataukah tidak. Semua ia lakukan dengan ketulusan tanpa ada maksud yang menunggangi. Kembali kepada cinta platonik tadi, nampaknya cinta platonik lebih dekat kepada perasaan mengasihi tanpa tendensi, bukan cinta asmara.
Bisakah Bersahabat Dengan Lawan Jenis Tanpa Tendensi?
Persahabatan dengan lawan jenis, apalagi dengan orang yang masing-masing telah memiliki keluarga adalah sesuatu yang sangat riskan. Jikapun tak ada tendensi di antara keduanya, itu akan menimbulkan kecemburuan yang sangat besar dari pasangan hidupnya masing-masing. Karena itu, suami atau istri dan keluarga sebaiknya turut dikenalkan dan dilibatkan dalam persahabatan itu, minimal mengetahui aktivitas apa yang dilakukan bersama sahabatnya. Bersahabat dengan bukan pasangan hidup sebaiknya harus produktif dan memiliki tujuan yang memberi manfaat bagi kehidupan, saling meneguhkan dan menumbuhkan kepribadian secara lebih positif bukannya berbincang ngalor-ngidul, berjalan-jalan tidak karuan, menyambangi cafe atau bertemu di sebuah tempat untuk berduaan. Ketika mereka melakukan itu, hanyalah jalan menuju perselingkuhan. Mereka tidak tulus, mereka sedang mencari kesenangan dengan jubah persahabatan. Apabila sudah tak ada ketulusan dan kemurnian pertemanan di antara keduanya, sebaiknya persahabatan itu...sudahi saja
Senin, 23 November 2015
La Vita Nuova
Benarkah sekat antara
dunia imajinasi dan kegilaan itu tipis
sekali? Dalam banyak kasus, ketika
manusia tidak berpijak pada realitas, dan iman yang membingkai, mungkin ia akan menemukan puncak-puncak output kreativitasnya,
berupa karya yang memiliki daya ledak. Namun, apakah daya ledak puncak-puncak
kreativitas itu akan membimbing ummat manusia pada pencerahan, ataukah
sebaliknya? Apakah kreativitas itu akan membawanya pada penerangan budi pada
dirinya sendiri, ataukah tidak?
Novel Inferno karya
Dan Brown banyak terilhami oleh
buku The
Divine Comedy karya Dante Alighieri.
Di samping menulis The Divine Comedy, Dante
menulis sebuah kumpulan puisi, La
Vita Nuova. Puisi itu di latar belakangi oleh penggalan hidup
Dante yang tak bisa menggenapi hidup
atas cintanya pada Beatrice Portinari. Dante menikah dengan Gemma Di Manetto Donati.
Namun, sekalipun mereka memiliki putra,
pasangan itu tidak menyiratkan bahwa
mereka saling mengasihi. Sebagian hidup Dante
berada di dunia khayalan. Beatrice Portinari menjadi ilham dalam imajinasinya yang menjadi
karya-karya besarnya.
Dalam kisah dunia patah hati lainnya yang terkenal, seperti Sayap-Sayap Patah, karya Khalil Gibran, Romeo and Juliet, karya
Shakespeare, sampai Laila
Majnun, memberikan inspirasi besar,
bagaimana menikmati patah hati yang menyayat hati dengan cara yang amat
melankolis dan dramatis. Perih yang masuk dalam labirin perasaan tanpa
menemukan jalan pembebasan. Dan tak
berusaha menebas. Menyikapi kesedihan dengan cara yang amat menyedihkan.
Credit Image : The Divine Comedy by Lewis Caroll - www. comediva.com |
Kegelisahan Sebagai
Alat
Proses kreativitas
seringkali muncul dari alam kegelisahan, bukan ketenangan. Di tangan
seorang sastrawan, kesedihan yang mendalam
membuat dadanya penuh. Untuk
melepaskannya ia harus menulis. Dari
penghayatannya atas duka, seorang
sastrawan yang baik dapat melukiskan
perasaan dengan cara yang amat liris, dramatis dan menyentuh.
Dalam karya sastra, sang tokoh belum
tentu dirinya sendiri, kebanyakan justru
membincangkan dan menghayati orang lain sebagai tokoh dalam cerita. Seorang
sastrawan yang baik, mampu menggambarkan perasaan cinta.
Cinta yang memberikannya euforia
perasaan yang meledak-ledak, bersatu dengan kegelisahan, rasa sakit, kegalauan,
romantisme, kerinduan dan cekaman-cekaman perasaan lainnya. Aneka rupa perasaan
itu memberinya kekayaan kosa kata yang
tak terhingga untuk melukiskan sejuta
rasa. Imajinasinya menciprat-ciprat di dalam benak,
Dunia dalam karya sastra kebanyakan bukan dunia realitas,
melainkan dunia imajinasi, dunia khayal. Realitas itu fakta sebagaimana adanya,
sastra memberikan sentuhan dengan memberinya cita rasa. Seakan semuanya ada, padahal tiada. Dunia realitas ini menyakitkan. Tetapi, bagi sebagian orang yang bermain di alam imaji,
dapat
menemukan kehangatan yang menyamankan jiwanya sebagai pelepasan. Sekalipun
beberapa di antaranya terlihat sebagai pelepasan semu.
Sebenarnya, tulisan-tulisan para sastrawan tentang cinta,
dapat membantu orang memetakan perasaannya, tentang masa lalu, masa kini dan
memetakan sebagian kehidupannya. Imajinasi mereka membantu kita melihat bahan dasar aneka perasaan kita yang sesungguhnya. Tulisan-tulisan mereka banyak yang mewakili kehidupan kita, sekalipun penuh dengan
dramatisasi yang tak masuk akal. Sesuatu
yang tidak masuk akal dan mengada-ada
justru menarik adrenalin manusia untuk mengetahuinya.
Itulah mungkin yang membuat imajinasi dan khayalan-khayalan
mereka dapat menjadi penghiburan bagi manusia yang mengganggap dirinya normal,
untuk melepaskan kebosanan melihat fakta-fakta dengan alur yang partitur. Mereka ingin melongok dunia lain. Jadi, imajinasi dan kegilaan-kegilaan mereka seakan hiburan yang dinanti-nantikan. Selain menjadi hiburan, tulisan-tulisan dari
alam imaji dan juga kisah sesuatu, dapat menjadi pembanding dan rujukan serta
alat internalisasi diri.
Credit Image : rivyakinvadymm.blogspot.com |
Hidup Dalam Bayang-Bayang
Kembali kepada buku La
Vita Nuova - buku persembahan
cinta Dante pada Beatrice. La Vita Nuova, mengingatkan saya pada kisah cinta
seorang pujangga, Amir Hamzah, kepada gadis dari Pulau Jawa yang bernama
Sundari. Para kekasih bayangan ini
menjadi ilham besar dalam puisi.
Dante dan Amir Hamzah memiliki
karya yang monumental, karena salah satu kakinya berpijak dalam dunia bayang-bayang. Mereka
‘terperangkap’ dalam dunia
imajinasi dan penyangkalan atas realitas,
serta hanyut dalam perasaan yang diciptakannya. Mereka
tak sanggup menghentikan dan mendobrak labirin perasaan yang memenjarakannya
atas perihnya melihat kenyataan.
Realitas itu menyakitkan, dan mereka melarikan diri ke alam impian. Ataukah
karena sebagian sastrawan seperti ini, hidup dalam dunia perasaan yang membuat
dirinya sukar berpikir logis? Ataukah seluruh perasaan itu sengaja dipelihara
agar tetap dalam selalu bertahan di
puncak-puncak kreativitas? Hanya penulis
sendiri yang tahu.
Idealnya, alam imajinasi dan pengetahuan, dengan banyaknya
membaca dan menulis, membuat orang tercerahkan dan menemukan
jalan, serta cara membebaskan diri dari himpitan perasaan. Tetapi, dunia ini memang jalan ceritanya
seperti itu, selalu memiliki tamsilnya sendiri-sendiri yang diwakili berbagai
karakter dan permasalahan-permasalahan manusia. Tinggal pembacanya yang
sebaiknya hati-hati memaknai, agar bacaan-bacaan dari dunia patah hati tidak menjadi
bahan rujukan utama dalam mengambil langkah, karena akan menyulitkan move on. Ketika diinternalisasikan, akan
membuat seseorang yang memiliki kesamaan pengalaman semakin galau. Tetapi, buku-buku yang memuja
cinta secara membabi-buta, banyak gunanya untuk dijadikan salah satu kekayaan membuat sudut
pandang dan perasaan senasib.
Ketika menemukan banyak buku-buku patah hati di toko buku, saya selalu teringat pada Leo Tolstoy, Anthony
de Mello dan Jalaluddin Rumi. Mereka mengajarkan, hanya cinta kepada Tuhan yang merangkum
segala, di mana manusia akan menemukan kemerdekaan dan pembebasan dari kemelekatan.
Sekalipun pasti sulit melerai perasaan, namun manusia perlu belajar untuk
mendewasakan sudut pandang tentang cinta itu sendiri. Cinta dipandang Rumi dan de Mello tidak dengan cara menggenggam
erat-erat, namun ikhlas melepaskan. Mereka melihatnya dengan sangat sederhana,
apa yang dapat digenggam jika semuanya akan berpulang pada Tuhan, dan waktu hidup yang telah ditakar jadwal
seberapa lama boleh bernafas? Rumi dan de Mello menganggap, dramatisasi
cinta dengan memuja seorang manusia itu
terlalu berlebihan. Cinta Tuhan dan
mencintai Tuhan adalah puncak-puncak
yang paling megah di antara seluruh perasaan. Sedangkan, cinta manusia
kepada manusia adalah bangunan perasaan yang sangat rapuh, bila tanpa melibat luruh dalam Tuhan.
Tapi, tiap orang memiliki
selera dan pilihannya sendiri. Seperti halnya
karya sastra memang untuk sastra.
Karya sastra itu memotret, tak harus selalu membuat solusi yang bijak
menyikapi. Karya sastra membuat tokoh ‘telanjang’
dan apa adanya, tak memanipulasi karakter. Ini membuat
sang tokoh dalam alur cerita dan karakter
penulis, entah di tokoh mana yang ia munculkan, menjadi dirinya sendiri. Mungkin di sisi itu yang akan membuatnya menarik. Ketika buku-buku sampai di tangan pembaca, kekuasaan dan
kekuatan pikiran pembaca yang membingkai serta memaknainya.
Sabtu, 21 November 2015
Kesalahanku Adalah Bertemu Denganmu
“Kesalahanku adalah
bertemu denganmu..” tulis salah satu
status seorang perempuan di jejaring
sosial. Terdengar labil dan galau. Mungkin karena pertemuan itu berkembang
di luar harapannya. Ia merasa ada ketimpangan antara yang dipikirkan dan dibayangkan tentang orang yang dimaksud dengan realitas
yang sesungguhnya. Ia kecewa. Atau, mungkin pula ia patah hati.
Dalam siklus komunikasi, ada tahapan perkenalan, penjajakan,
mengembangkan hubungan, lalu setelah itu ada perusakan hubungan. Pada saat pertama melihat seseorang dan merasa tertarik, manusia umumnya melakukan
pejajakan. Pertama-tama orang
tertarik pada seseorang biasanya cenderung melihat penampilan fisik dan yang menyertainya. Setelah itu, orang kebanyakan berguguran
pada saat tahap penjajakan. Terutama, ketika sosok yang membuat kita tertarik mulai
berbicara dan memperlihatkan bahasa
tubuhnya. Banyak orang-orang yang tampil
modis dan memikat, namun ketika berbicara nampak kurang smart, wawasannya terbatas dan membosankan, bahasa tubuhnya tidak
nyaman. Setelah itu, orang cenderung mundur perlahan.
Apabila dalam penjajakan
merasa ‘klik’, biasanya orang mengembangkan hubungan
lebih dalam. Di antara keduanya saling membuka diri, dan membuat
ikatan-ikatan persahabatan atau pertemanan.
Mereka bisa bercerita apa saja, dan berbincang apa pun dengan nyaman. Tetapi, apabila ada kesalahfahaman, pengembangan hubungan ini
seringkali layu di tengah jalan. Boleh
jadi bahkan akan muncul perusakan hubungan, lalu mereka akan saling melukai
perasaan. Atau, boleh jadi menjauh atau mundur perlahan-lahan, sekalipun tanpa dikatakan.
Hanya membutuhkan kepekaan perasaan saja untuk mengetahuinya.
Sulitnya Memelihara Hubungan
Hal yang paling sulit dalam fragmen persahabatan adalah
memelihara hubungan. Untuk memelihara hubungan ini dibutuhkan saling
pengertian, dan kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan orang. Pada
keterbatasan itu terangkum di dalamnya adalah kekuatan karakter, waktu yang
bisa diluangkan, kesibukan-kesibukan, kondisi kesehatan, jarak, usia, jenis kelamin, minat, pengalaman masa lalu
dan sebagainya. Tidak semua perenggangan
hubungan itu ditafsirkan dengan negatif, salah satunya, kesibukan-kesibukan seseorang dapat memengaruhinya. Dan laki-laki tidak membutuhkan intensitas
komunikasi lebih kerap dibanding dengan perempuan. Sebaliknya,
umumnya perempuan memiliki
kebutuhan komunikasi lebih tinggi, untuk meyakinkan perasaannya, bahwa semuanya
masih baik-baik saja.
Umumnya, orang yang bersahabat memiliki
karakter-karakter dan minat yang mirip
satu sama lain. Karena itu, jika ingin melihat
seseorang sebagai premis awal, lihat teman-temannya yang menelikunginya,
karena orang tersebut minat atau karakter pribadinya tak jauh dari itu.
Persahabatan maya berbeda dengan persahabatan di dunia nyata. Persahabatan maya
jauh lebih rumit, karena dunia maya
hanya bertumpu hanya pada kata-kata.
Dunia maya bukan ‘dunia yang wajar’
bahkan terlalu sensitif. Kata-kata itu
multitafsir. Dunia maya itu tidak utuh memotret kehidupan dan pribadi
seseorang. Karena itu, jarang terjadi persahabatan maya yang dapat bertahan
dalam rentang waktu yang panjang. Apalagi apabila terjadi kesalahan penafsiran,
tidak mudah untuk dilerai, karena
masing-masing akan berbincang dengan pikirannya sendiri-sendiri. Persahabatan
maya lebih mudah menyulut dan memelihara
prasangka. Sedangkan persahabatan
di dunia nyata apabila ada kesalahpahaman mudah diselesaikan. Pertemuan face to
face, berbincang dari hati ke hati dapat segera meredakan ketegangan.
Satu hal yang pasti dibutuhkan dalam persahabatan, baik
persahabatan maya atau pun persahabatan di dunia nyata, adalah menjaga kepercayaan dan permakluman. Dan tentu
saja, sebaiknya tidak membiasakan membuat ekspetasi berlebihan pada seorang manusia, pun itu pada seorang sahabat. Banyak berharap
pada kebaikan hati manusia seringkali hanya menuai kekecewaan.
Tak Ada Kesalahan
Dalam Pertemuan.
Pertemuan dan perpisahan adalah sebuah hukum alam. Sepanjang
kehidupan ini, tak ada yang konstan. Sahabat, dan teman, atau bahkan suami dan
istri, mereka itu seperti lilin yang menyala, hanya menunggu akhir padamnya
saja. Sikap orang berubah, itu juga hal
yang alamiah, karena manusia itu makhluk
dinamis, bukan makhluk statis. Pikiran manusia berkembang, menemukan hal-hal
yang baru, memperoleh sudut pandang baru dalam sebuah relasi hubungan, lalu
mereka mengevaluasi kebersamaan. Di dalam dada manusia bersemayan perasaan yang
sama, benci, rindu, cinta dan seluruh
tumpah ruah rasa. Perbedaannya hanya
dalam cara menyikapi, yang bergantung pada kelapangan jiwa dan kekayaan sudut
pandang seseorang. Karena itu, tak ada
kesalahan dalam pertemuan dengan siapa pun.
Bertemu dengan seekor semut
sekalipun, sampai berjumpa dengan seseorang yang dianggap bajingan.
Seluruh manusia yang hadir di dalam hidup ini dialirkan oleh semesta. Bertemu dengan siapa pun tak ada terjadi begitu saja dengan kebetulan.
Teman-teman, sahabat-sahabat, tetangga-tetangga dan juga tentunya keluarga
adalah orang-orang yang berharga di dalam hidup kita apa pun rasanya. Entah ia
pernah menyakiti atau pun mencintai. Mereka
digilirkan hadir di dalam hidup
sebagai hantaran pendewasaan jiwa dan refleksi diri. Pada dasarnya,
semuanya menguji kita, entah dengan benci dan cintanya, juga perasaan-perasaan
lain yang menyertainya. Tak ada alasan untuk
mendikte pikiran dan perasaan seorang manusia, apa pun yang mereka rasakan. Kita hanya bisa memberikan kesan, setelah itu
manusia di sekeliling kita akan mempersepsi
sebatas relativitas kekuatan
pikiran, perasaan, dan latar belakang dan pengalaman hidupnya.
Daun yang berguguran, tak pernah menyalahkan angin, kayu
bakar tak akan menyalahkan api. Demikian
pula pepohonan yang meranggas tak pernah menyalahkan musim. Ada baiknya kita
tidak membiasakan membuat kambing hitam dalam persoalan dengan manusia. Waktu kita nanti
habis untuk menyalahkan orang-orang tanpa sempat merenungi dan mengambil
pelajaran dari semua sisinya. Baik atau
pun buruk perlakuan orang, adalah pelajaran kehidupan yang berharga, yang
memerlukan kesediaan menerima dengan lapang dada. Kita tak bisa menuntut perlakuan manis dan kebaikan orang. Lagi pula,
pertunjukkan hidup kita bukan untuk dinilai oleh kamera relativitas pikiran dan
perasaan manusia, kita sedang ‘akting’ di dunia, dan juri kita adalah Tuhan.
Dalam Qur’an Tuhan berfirman, ‘Tolaklah keburukan dengan kebaikan’. Dan Allah hanya meminta manusia berbuat baik
kepada semua orang, dan menanam kebaikan sebatas kekuatan manusiawi. Jika
mereka salah mempersepsi kita, jangan menghentikan kebaikan kepada mereka. Jika mereka berubah, tak apa. Perasaan manusia itu naik dan turun. Ada
masa di mana seseorang itu tidak lagi
menyukai kita atau bosan. Kita pun bukan orang yang terus menerus dapat bertahan
menyenangkan hati orang, dan sarat dengan kekurangan. Inilah seninya hidup
berada di tengah-tengah manusia. Berhubungan dengan siapa pun tak akan mencapai
kesempurnaan, bahkan sepasang suami istri sekalipun. Mungkin itu sebabnya Allah
meminta manusia saling berendah hati dan saling memaafkan kekurangan.
Terus berusaha saja memperbaiki kualitas kemanusiaan diri. Memberi kesempatan kepada hati, pikiran dan perasaan untuk tulus ketika berteman, bersahabat, entah apa pun
namanya, dengan siapa pun, tanpa trik
yang manipulatif. Belajar mereaksi
segala sesuatu dengan cara yang baik. Orang yang memiliki lokus kontrol yang baik,
jarang terpengaruh oleh sikap buruk orang lain kepadanya. Dan,
berlepaslah dari apa yang mungkin akan kita terima dari balasan sikap, penilaian dan persepsi mereka. Selebihnya, biar diurus Allah
saja.
Mencari Belahan Jiwa
Mencari Belahan Jiwa
Dalam Dialog, Symposium, Plato, Aristophanes mengajukan sebuah
pernyataan tentang belahan jiwa. Aristophanes menyatakan
bahwa manusia awalnya adalah satu. Ia memiliki empat
lengan, empat kaki, dan satu kepala yang terbuat dari dua wajah, dengan dua kelamin berjenis pria dan wanita. Ke mana-mana mereka selalu bersama dan
mempertontonkan ‘kemesraan’ mereka dengan cara yang amat sombong dan demostratif. Kelakuan itu membuat para dewa
merasa cemburu. Bukan hanya sekedar cemburu, para dewa merasa, bahwa mereka akan menjadi makhluk
tandingan yang sangat kuat dan akan
mengancam kekuasaan mereka. Akhirnya, Dewa Zeus menghukum manusia, dan membelahnya menjadi dua, menjadi pria dan wanita. Raga mereka dijauhkan. Ketika mereka
berjauhan, kerinduan akan belahan jiwanya terus memanggil. Di kemudian hari, mereka akan saling mencari belahan jiwanya yang hilang agar mereka kembali bersama. Belahan jiwa itu yang disebut sebagai kekasih
sejati, atau jodoh.
Boleh jadi karena terilhami oleh Plato, Paulo Coelho menulis novel berjudul, Brida. Novel ini menceritakan tentang seorang perempuan yang sedang mencari jati diri dan tertarik pada dunia magis. Ketertarikan itu membawanya kepada seorang lelaki yang hampir setengah usianya. Ketika mereka bertemu, lelaki itu melihat ada tanda-tanda bahwa Brida adalah perempuan yang selama ini ia nantikan. Alam semesta memberi isyarat, bahwa Brida adalah belahan jiwanya. Tetapi, lelaki ini kemudian menyadari, tak mungkin baginya memaksakan diri untuk menikah dengan belahan jiwanya, karena Brida terikat tunangan dengan lelaki yang lembut, intelek dan baik hati. Sekalipun Brida sesaat bimbang, lelaki itu mendorong Brida untuk tetap berkomitmen dengan kekasihnya. Cukuplah bagi lelaki itu diperlihatkan, di dunia ini ia telah dipertemukan oleh semesta raya dengan belahan jiwanya. Pertemuan sesaat itu telah membuat lelaki itu amat bahagia.
Benarkah belahan jiwa itu ada?
Menelusuri Jejak
Perasaan
Seraya tetap penuh hormat yang sangat dalam kepada Plato, sang filsuf
Yunani. Pernyataan tentang adanya satu
jiwa di dalam dua tubuh dengan dikaitkan atas nama belahan jiwa, sebuah cinta
sejati, sugguh telah mendorong
orang menyusuri drama cinta
sepanjang hidupnya. Ada yang meyakini, bahwa cinta pertama adalah cinta yang
paling murni, karena di dalamnya
seringkali tak ada kalkulasi dan motif tersembunyi, kecuali mengikuti rasa
cinta itu sendiri. Itulah cinta sejati.
Karenanya, bagi banyak orang, cinta pertama, sekaligus sebuah cinta
monyet, adalah peristiwa yang paling berkesan selama hidupnya. Sampai di
kalimat ini, sekarang pejamkan matamu... lalu,
bayangkan sosok itu. Engkau sekarang sedang tersenyum bukan? Rona wajahmu menjadi berseri-seri mengingat
bagaimana pertama kalinya di dalam hidup, engkau jatuh cinta.
Setelah itu, ternyata cinta pertama tak berlangsung lama, ada cinta ke-
dua, ke-tiga, ke-empat, dan seterusnya.
Ketika jatuh cinta, orang seringkali merasa, dia-lah sosok yang
sempurna, dia lah yang selama ini ia cari, sebagai belahan jiwa. Untuk urusan
belahan jiwa ini, secara vulgar dan ekspresif, para artis di acara infotainment
mempertontonkan kemesraannya, dan memuji-muji kekasihnya, seakan tak ada sosok
lain yang lebih hebat, kecuali si dia. Seperti juga perbincangan kaum
perempuan, jika berbicara tentang 'cowok'
dan perlakuan hangatnya kepada mereka menjadi topik yang yang bisa
dibahas tanpa bosan selama berjam-jam.
Sedangkan para lelaki sebagai makhluk visual, mereka umumnya akan lebih asyik
jika membincangkan perempuan secara fisik.
Tetapi, pujian-pujian itu umumnya nyaris tak berlangsung lama. Jatuh cinta
itu tak lebih dari sekedar euforia perasaan.
Setelah dijalani, baru mengerti, betapa
banyak cacat dan kekurangan kekasihnya, atau pasangan hidupnya. Puisi-puisi untuk memuja cinta dari para
pujangga, menjadi tak berlaku ketika sudah berhadapan dengan sang waktu.
Lagu-lagu cinta yang membuai untuk mendramatisasi perasaan, pada akhirnya akan
diuji dengan realitas. Bahwa cinta tak semerdu nada-nada lembut dan melankolis.
Pada sebuah titik, ketika pandangan dan
karakter sulit dipertemukan, akhirnya mereka menyerah kalah. Betapa sulitnya
rasa asmara untuk dijadikan topangan. Cinta dan benci itu
sekatnya amat tipis. Setelah itu, mereka
berkata, bahwa kami tak ada kecocokan. Mungkin dia bukan belahan jiwaku.
Belahan jiwaku dan cinta sejatiku, ada berada
di luar sana. Entah siapa? Kemana
lagi akan melayangkan pikiran? Ketika
mencari lagi di luar sana, barangkali saja sang belahan jiwa masih berkeliaran.
Belahan jiwa dalam khayalan adalah orang yang cocok dan memiliki
kepribadian dan pandangan-pandangan hidup serupa dengannya. Kembali, ketika manusia mencari, akan terhenti pada sebuah titik di mana semua orang tak akan pernah ada yang serupa, yang ada hanyalah
kemiripan-kemiripan karakter, type hati yang mirip. Mirip bukan berarti sama. Manusia itu memiliki pribadi yang sangat unik.
Suami dan istri yang telah terikat
janji suci pernikahan, itu adalah takdir yang telah diambil. Ketika banyak
peristiwa yang tidak menyamankan hati karena beberapa tingkah lakunya yang
sulit disetujui, ia akan mengajarkan
kepada kita untuk berlatih kesabaran, kebaikan dan toleransi. Socrates, guru
dari Plato berkata, "Jika istrimu (pasanganmu) berperangai buruk, kau akan
jadi filosof." - Boleh jadi ini
berdasarkan pengalaman pribadi Socrates karena istrinya teramat rese'.- Apalagi yang akan diperjuangkan
di dalam rumah tangga, ketika layar sudah terkembang di samudera, selain
menjaga komitmen dan tanggung jawab.
Belahan Jiwa Sejati
Hidup ini, bukanlah dongeng Putri Tidur yang menunggu ciuman sang
Pangeran. Akhir hidup yang indah, bukan
pula seperti dongeng Cinderella yang
kelak hidup berbahagia untuk selama-lamanya dengan putra mahkota raja. Jika kesempurnaan hidup ini dimaknai hanya
semata-mata adanya pertemuan dengan pasangan hidup dari bagian tubuh yang hilang, entah dari tulang rusuk atau dua
makhluk dalam satu tubuh, bagi sebagian orang terasa sebagai penyempitan makna. Dengan asumsi, jika belahan jiwa itu adalah hanya satu di
dunia ini, mengapa hati terhubung dengan
banyak orang, entah pria dan wanita, lalu merasa ia telah menjadi bagian yang begitu dalam hidup dan perasaan? Mereka itu adalah keluarga, sahabat atau
mungkin teman satu kelompok tertentu. Lainnya lagi, mengapa
pula para pria banyak yang
poligami?
Bagi Ibnu Sina, ilmu pengetahuan dan melakukan penelitian-penelitian ilmiah
adalah belahan jiwanya. Produktifnya menulis dan dedikasinya untuk ilmu
pengetahuan membuat ia tak terobsesi
dengan "belahan jiwa", agar meninggalkan jejak untuk semesta dan estafet
peradaban. Ibnu Sina mewariskan 450 buah buku yang sangat penting sebagai
cikal bakal pengetahuan modern. Untuk
Bunda Teresa, orang-orang sakit dan lemah adalah belahan jiwanya. Para
pelayan kemanusiaan melihat,
cinta ekslusif dan menjadikan seorang saja dalam hidup sebagai belahan
jiwa membuat hidupnya terasa tak berarti Bagi jiwa yang penuh kasih sayang, semua
manusia dan makhluk di semesta raya ini adalah belahan jiwanya, tanpa kecuali. Keutuhan
jiwa tidak hanya dimaknai dalam arti yang sangat sempit, sebatas pria dan
wanita. Itulah yang membuat mereka merasa jiwanya utuh dan bermakna.
Mengakhiri tulisan ini, sesungguhnya saya ingin menulis kalimat penutup
yang manis. Sayangnya, terlanjur 'terganggu' oleh syair Jalaluddin Rumi
yang melintas di perasaan yang jauh
lebih indah. Tidak tahu, apakah nyambung atau tidak dengan paparan di atas. Tetapi, nikmati
saja, ya... :
Jika kita
mencintai, cinta kita bukanlah dari kita, atau bukan untuk kita.
Jika kita
bergembira, kegembiraan kita tidak ada dalam diri kita, tetapi dalam
Kehidupan itu sendiri.
Jika kita berduka, sakit kita tidak berada dalam
luka kita, tetapi di dalam jantung Alam.
Aku tidak akan mengeluh; Aku percaya pada arti sebuah kepahitan yang ada dalam setiap obat yang aku minum dari cangkir Kehidupan.Aku percaya pada keindahan dukacita yang menembus hatiku. Aku percaya pada kasih sayang abadi dari jari-jari kuat yang mencengkram jiwaku.
_____
Catatan : Tulisan ini telah dimuat dalam buku saya : "Obrolan di Kedai Plato" (2014)
Kamis, 24 Juli 2014
Mozaik
4
Estetika Tailor
Ketika sang Raja mengetahui, bahwa putrinya telah dikutuk oleh peri hutan yang jahat bahwa putrinya akan
tidur selamanya – maka ia meminta seluruh
mesin-mesin pemintal dimusnahkan di seluruh negeri. Tepat di usia ke-16 nanti,
seandainya sang putri terluka
oleh jarum mesin pemintal, ia akan tidur. Hanya ciuman sang pangeran –
cinta sejati – yang akan mampu membangunkannya.
***
Pada
usia remaja, aku bukan dijauhkan dari jarum seperti Putri Tidur
– jarum pentul, jarum jahit, jarum mesin
semua ada di sekelilingku. Jarum memiliki nomornya sendiri - semua ukuran jarum
memiliki fungsinya masing-masing. Nomor jarum dimulai dari nomor 8 sampai 19. Nomor-nomor ini menunjukkan tingkat kecocokan
untuk kain yang akan dijahit. Semakin
tebal kain, maka nomor jarum pun semakin besar, sebaliknya – kian tipis kain,
nomornya kian kecil. Seperti untuk kain chiffon, kau harus menggunakan jarum
nomor 8 atau 9. Sementara untuk kain yang super tebal semacam denim atau gordyn, kau sebaiknya menggunakan
jarum nomor 18 atau 19.
Setiap
kali merapikan ruang jahit, kami harus memastikan agar jangan sampai
jarum-jarum jatuh ke lantai. Jarum-jarum
yang tajam itu berkilat-kilat di bawah cahaya matahari yang menelusup melalui
kaca jendela. Jarum-jarum tajam yang sanggup melukai jemari Ibu, sekaligus menjadi jalannya pintu rezeki
bagi kami. Setiap hari aku melihat Ibu
kakinya bergerak, berayun-ayun – seperti mengayuh sepeda, tetapi jalan di
tempat, tak kemana-mana. Andaikan pedal
mesin jahit itu seumpama pedal sepeda
yang bisa menggerakan roda menggelinding ke mana saja, mungkin jarak yang
ditempuh oleh Ibu setiap harinya sekitar enam puluh kilometer. Ibu memakai
mesin jahit klasik. Ini sangat kuno, karena harus menggunakan tenaga kaki. Jika setahun Ibu melakukan perjalanan mengayuh
pedal mesin jahitnya, maka itu telah menempuh
dua ribu dua ratus sembilan puluh kilometer. Setara dengan perjalanan
bolak balik Pulau Jawa. Ibu pun bukan seorang putri, ia hanya seorang janda
yang dicium pahit dan getir kehidupan. Dia harus selalu
terjaga – menjaga seluruh kesadarannya. Bahwa ia harus bertahan dalam
kesendirian yang panjang, tanpa berharap lagi pada ciuman sang pangeran.
Sebelum menjahit, Ibu mengukur terlebih dahulu ukuran
tubuh pelanggannya. Lingkar pinggang, Lingkar dada, lingkar lengan, panjang
lengan dan lainnya. Setelah itu,
membuat pola di atas kertas, sesuai dengan model baju yang akan dijahit. Pola dipakai agar tidak terjadi kesalahan
pada saat menggunting bahan kain. Pola
itu kemudian Ibu tempelkan ke kain, lalu membuat garis dengan bantuan rader,
karbon jahit dan kapur jahit. Kapur jahit dipakai untuk memberi tanda pada bagian-bagian yang tak bisa menggunakan
rader.
Yang paling rumit tatkala membuat pola adalah
saat membuat pecah model dari pola dasar. Namun kesulitan-kesulitan membuat
pola baju untuk para penjahit yang ingin maju seperti Ibu dapat terpecahkan
dengan berlangganan Majalah Burda Moden. Majalah impor dari Jerman
itu tersimpan rapi di rak pojok ruang kerja Ibu berikut majalah So-En terbitan
Jepang. Beberapa majalah wanita dan remaja putri juga ada di sana. Kelengkapan Ibu menyiapkan majalah-majalah
mode disukai para pelanggan. Mereka tidak sulit mencari ide potongan baju.
Hanya, terkadang pelanggan ingin model baju seperti artis di televisi – membuat
Ibu harus menggambar sesuai dengan imajinasi pelanggan.
Menjahit
adalah pekerjaan yang membutuhkan kesabaran, ketelitian dan konsistensi yang luar biasa. Jika kau adalah seorang
pembosan dan grasa-grusu, jangan
harap akan mampu menyelesaikan baju, sekalipun hanya satu potong. Boleh jadi,
kau hanya akan semangat pada awalnya, tetapi di ujung pada saat kain untuk
lengan mesti disambungkan, kau menundanya – terus menunda, sampai engkau lupa
bahwa engkau harus menuntaskan pekerjaan
di mana kau telah bertransaksi dengan niat dan waktu.
Semula,
yang menjahit kepada Ibu hanya satu dua orang, itu pun dari tetangga-tetangga
kami yang sudah mengenal – semasa Ibu gadis memang sudah menjahit. Jahitan Ibu terkenal
rapi. Iklan dari mulut ke mulut akhirnya
beredar juga. Beberapa bulan kemudian,
jahitan Ibu mulai banyak.
Ibu selalu memberi pelayanan jahitan yang rapi
dan tepat janji. Konon, ada beberapa janji yang tak perlu diseriusi : Yang pertama, janji politik.
Kedua, janji sehidup semati orang yang tengah dimabuk cinta. Ketiga, janji
tukang jahit. Karena tukang-tukang jahit umumnya adalah kumpulan orang yang
suka mengingkari janji.
Ibu
tak ingin ingkar janji. Karena itu, aku membantu Ibu menuliskan nama
konsumen, jadwal kain datang dan kapan
jahitan selesai dalam papan tulis yang digantungkan di ruang Ibu menjahit.
Demikian, semua jahitan akan dijahit sesuai dengan jadwal antrian. Jika ada
yang ingin cepat-cepat diselesaikan, walaupun dengan bayaran yang lebih mahal,
Ibu akan menolaknya. Ibu bilang, nama baik lebih mahal dari pada uang. Apa jadinya jika
nanti Ibu dikenal sebagai seorang yang suka mengingkari janji.
Aku
ditugasi Ibu mengurusi administrasi keuangan jahitan. Demikian, aku mulai belajar akuntansi
sederhana, dan mengelola keuangan usaha kecil-kecilan Ibu. Aku belajar tentang aliran uang keluar dan
pemasukkan. Ibu mengatakan, aliran uang masuk dan keluar itu dalam bahasa
ekonominya adalah cash flow. Untuk setiap
pengeluaran aku mencatatnya dengan seksama dari bon pembelian, juga berapa pemasukan Ibu. Sebagian pendapatan Ibu dipakai untuk keperluan kami sehari-hari dan
sebagian ditabung. Aku
pergi ke bank untuk menabung
seminggu sekali - saat
istirahat sekolah.
Penghasilan
penjahit, apalagi tinggal di kota kecil seperti Cianjur tidaklah besar. Aku
tahu benar, berapa penghasilan Ibu setiap harinya, apalagi menjahit dengan cara
yang sangat manual. Tetapi, kami berhemat. Agar jangan sampai ada pemborosan.
“Menjadi
penjahit membuat kita akan terikat dan tak bisa pergi ke mana-mana. Tetapi, ini
pekerjaan yang paling aman untuk Ibu untuk saat ini.”
“Bu,
apakah Ibu tidak pikirkan mencari yang membantu Ibu menjahit, bagaimana jika
Ibu sakit?” tanyaku.
Ibu sesaat terdiam. Sepertinya, ia tidak menyangka
penyataannya malah ditanggapi dengan pertanyaanku.
“Untuk
sementara, Ibu masih bisa menanggulanginya sendiri.”
“Tapi
usaha Ibu tak akan besar jika terus menerus mengandalkan tenaga Ibu sendirian,”
tukasku.
“Ibu
tak menyangka kau sudah bisa berpikir dewasa,” puji Ibu sambil memeluk
bahuku. Aku tertawa,
“Anak
Ibu…!”
“Ada
benarnya, Ibu memang harus mencari orang untuk membantu,” katanya dengan wajah
cerah.
***
Orang yang membantu Ibu adalah
seorang perempuan muda bernama Entin. Umurnya
baru delapan belas tahun, tetapi ia sudah menjanda – janda tanpa anak, tanpa
surat cerai. Suaminya orang seberang, yang meninggalkan Entin begitu saja
ketika sang lelaki itu pulang ke kampung halamannya di Sumatera. Entin tidak
tahu kemana harus menyusul suaminya, karena ia tak pernah tahu persis asal usul
suaminya – kecuali ia pernah menjadi seorang
pedagang kaki lima di salah satu sudut kota Cianjur.
Entin
bertubuh gempal dan berambut keriting sebahu. Bibirnya penuh dan matanya
seperti hendak meloncat keluar. Sulit membedakan bagaimana matanya seperti
hendak keluar – ia sedang marah ataukah
sedang bersedih ? Karena seperti
itu dari sono-nya. Suaranya bergema selayak raksasa eh raksisi. Kendati nasib
malang menyambanginya, ia nampaknya tidak terlalu banyak ambil pusing, sangat easy going. Ia adalah perempuan periang.
“Aku
tak sedih, setidaknya aku pernah laku pada seorang lelaki..” katanya sambil
ngikik. Bayangkan…untuk sebuah pernikahan, Entin menyamakan dirinya dengan barang atau
sepotong ikan asin dengan kata ‘laku’.
“Kamu
mau begitu saja dinikahi tanpa surat resmi?” tanya Ibu terheran-heran.
Entin hanya tertawa, dan berkata ringan dengan jawaban yang tidak terlalu nyambung dengan pertanyaan dalam susunan
bahasa yang teramat kacau,
“Aku
terlalu gembira, ternyata di dunia ini ada yang suka padaku. Ini pertama
kalinya dalam hidup ada yang mengatakan, aku cinta padamu. Lalu, aku minta
dinikahi saat itu juga. Ia setuju, karena kebetulan kontrakan rumahnya habis,
dia tak punya uang. Demikian, lalu ia menumpang di rumah orang tuaku sampai ia
punya uang untuk pulang ke Sumatera..”
Ibuku
tertawa kecil sambil geleng-geleng
kepala,
“Itu
namanya dia mau cari tempat menumpang gratis bukan bersungguh-sungguh
menikahimu,” jelas Ibu meluruskan logika Entin yang konyol itu. Perempuan lulusan
sekolah dasar itu hanya melongo. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
***
Sebenarnya, karakter Entin agak diragukan
untuk dijadikan asisten Ibu, di samping berpendidikan rendah ia terlalu dangkal
dan begitu lugu. Tetapi Ibu memiliki keyakinan lain, bahwa kepribadian manusia itu adalah sebuah proses yang akan tumbuh dan
berkembang. Ibu melihat ada nilai lebih
lain dari Entin, rajin dan jujur. Itu sudah cukup menjadi modal dalam hidup. Ibu mengambil resiko dengan mengajari Entin
menjahit mulai dari nol. Bonus Kami
berdua adalah rasa senang dengan kehadirannya
yang jenaka,
“Entin..”
panggil Ibu.
“Kulan ..”
“Nama
lengkapmu itu Entin Sumartini, ya..?”
“Itu
nama dulu, Bu. Mulai hari ini saya mau ganti nama..”
“Mengapa..?”
“Nama
asli Titik Puspa kan Sudarwati, karena ganti nama dia hoki..”
“Lantas..?”
“Saya
mau ganti nama di sini menjadi Tineke Putri..” katanya dengan muka serius.
Aku meledak dalam tawa. Tak nahan
rasanya, antara muka dan nama tidak
nyambung sama sekali. Ingin rasanya berkata, “Ceu Entin, apa kamu enggak ngaca?” Tapi aku tak mengatakan apa pun,
khawatir menyakitinya karena memasuki penghinaan fisik.
“Kalau
Rin Tin Tin bagaimana..?” godaku sambil mengulum senyum teringat sebuah judul
buku yang diangkat dalam serial film
klasik The Adventures of Rin Tin Tin.
“Hai..aku
bukan anjing..!” katanya sambil memonyongkan bibirnya yang sudah monyong dan
memelototkan matanya yang sudah melotot.
Aku semakin ngakak melihat polahnya.
Aku tahu, ia tak serius – walaupun memperlihatkan muka seseram apa pun.
Ibu
mengajari Tineke Putri mulai dari hal yang paling mendasar, merapikan alat-alat
menjahit untuk disimpan kembali pada tempatnya,
“Ini
disiplin yang sangat sederhana,” ucap Ibu.
“Apa
jadinya jika seorang penjahit menyimpan jarum dan benang disembarang tempat,”
lanjutnya.
Ruang
kerja yang kacau itu sungguh membuat pikiran ikut kusut. Demikian pula ruangan
di rumah yang berantakan, kamar yang berantakan mengirimkan energi negatif. Aku
selalu teringat kata-kata dari Ibu,
“Mira,
jika kau ingin tahu gaya hidup seorang
perempuan, liat lemari pakaiannya,
cukuplah itu jadi kesimpulan siapa dia. Dalam lemari seorang perempuan
terekam di dalamnya mode, pilihan warna, kerapian, ketertiban susunan baju,
estetika. Lemari pakaian yang kacau itu sebagai tanda ia bukan perempuan yang
apik.”
Tineke
yang ikut menguping mendengarkan dengan seksama.
“Di
rumahku, aku tidak punya lemari pakaian, Bu. Baju-bajuku, kusimpan di dalam
dus. Ini bagaimana..?” komentarnya sambil ngikik.
“Wah..!
sengaja ya, disimpan di dus, biar Ceu Tineke
gampang kalau mau minggat,” kataku sambil tertawa. Agak canggung memanggil nama
baru Tineke dan Ceu sebagai panggilan kepada perempuan yang lebih
tua di tanah Sunda ini. Lebih mudah bagiku memanggil nama Ceu Mimin atau Ceu Onah.
Tineke tertawa tergelak.
Selasa, 22 Juli 2014
'Demi Waktu'
Salah
satu yang saya syukuri di dalam hidup ini
adalah bertemu seorang makhluk Tuhan, yang bernama Tuty
Yosenda. Kami bersahabat dekat bertahun-tahun lamanya. Tuty hanyalah salah satu diantara deretan sahabat-sahabat saya yang banyak, di mana saya
sangat menghormati dan menghargai mereka semua - saya sulit menyebut satu persatu di dalam ruang
ini. Perbedaannya mungkin karena saya dan Tuty- pernah tidur sekasur, ngobrol di atas tempat tidur
berdua sambil memeluk bantal, juga tidur
satu tenda di puncak gunung - sering
menempuh perjalanan panjang berdua dan berbincang tentang warna langit,
pepohonan sampai belalang, dan saling menelefon diwaktu (yang sangat kurang
ajar) – tengah malam. Atau, berkirim
pesan di dini hari, hanya untuk mengatakan ‘Ayo..nulis..nulis..!’
atau pesan singkat di waktu pagi, ‘Hai..! aku sedang mengintip burung untuk dipotret.
Sepertinya ia sejenis burung Kolibri..!” Tra lala Tri lili..
***
Buku 'Demi Waktu' (foto : Tuty Yosenda) |
Buku ‘Demi Waktu’ yang ia tulis adalah jiwa Tuty yang selama
ini saya kenali. Juga, tingkah laku keseharian Tuty yang berpikir merdeka namun
santun, serta bonus yang lainnya adalah ‘lucu
dan menggoda’. Tuty selalu berbincang soal-soal seperti ini dengan saya - yang ia
kuliti dari hal sederhana yang tak terpikirkan oleh kebanyakan
orang. Perbedaannya, perspektif berpikir Tuty demikian mendalam, ilmiah, argumentatif dan
imajinatif serta racikan berpikir dan tulisannya amat ‘gaya’.
Ciri khas lain dari pemikiran Tuty
adalah, selalu menyikapi banyak hal yang ‘buruk’ dalam perspektif dengan citra positif dan dewasa.
Sungguh pun buku ini adalah bunga rampai yang disusun sebagai
dokumentasi pikiran-pikiran Tuty, namun ciri khas berpikir Tuty sangatlah kuat
di pemikiran-pemikiran humanis dalam bingkai Islam yang kental serta filosofis.
Bagi Tuty, seluruh alam raya ini adalah
guru terbaiknya – melebihi kata-kata ribuan jilid buku. Selayak Sun Go Kong
yang mencari kitab suci sang Buddha dengan menjelajah dunia. Ternyata kitab
suci sejati bukan kitab yang penuh dengan aksara,
melainkan kitab yang tanpa aksara. (Hahaha..baru kali ini punya ide jahil, menyamakan
Tuty dengan si Kera Sakti..!)
Beberapa diantara pemikiran-pemikirannya; Tuty mendeskripsikan tentang personifikasi di
dalam Aqur’an tentang jaring laba-laba yang lemah, dengan sifatnya yang
berwujud material dan visual sebagai refleksi makhluk soliter dan individualis.
Laba-laba adalah metafora dari ideologi tentang kehidupan di mana ukuran sukses
berhubungan dengan material yang memiliki keterukuran inderawi. Sementara, semut
dan lebah lebih kepada penghayatan non
material, melainkan kedisiplinan, kerja keras dan kerja sama.
Dalam ‘Demi Waktu’ –
Tuty melukiskan waktu seakan ‘voucher’ yang diberikan oleh Tuhan –
Tuty melukiskan, kehidupan ini hakikatnya bukan kompetisi dengan orang,
melainkan kompetisi dengan waktu. Jangan
sampai waktu dihamburkan untuk pembelajaran yang sia-sia dan langkah-langkah
hampa. Selayaknya, waktu dibelanjakan
untuk menemukan orbit baru, melanjutkan perjalanannya sendiri, atau menembus
ruang waktu yang lebih jauh. Waktu diproyeksikan untuk karya-karya yang membuat
kita memiliki masa edar yang melampaui jatah usia kita sendiri.
Sebagai seorang yang hobi fotografi, dengan santai ia bicara
soal ‘agama Nikon’ – Nikonisme akhirnya dipandang Tuty bukanlah sesuatu yang
penting. Jika merek kamera itu dianalogikan sebagai ‘the song’ maka fotografer adalah ‘the singer’. Jika agama itu ‘the song’ maka manusia itu adalah ‘the singer’ – karya masterpiece Tuhan. Untuk mengeja tulisan
ini memang harus hati-hati, jika kau seorang fanatik membabi-buta soal agama
mungkin persepsinya akan kemana-mana. Namun senyatanya, Islam yang indah akan
tampak brutal dan mengerikan di tangan penganutnya yang berhati bar-bar.
Tuty juga dengan manis berkata tentang – semua yang ada di
dunia ini hanyalah ‘alat peraga’ Tuhan – layaknya memasuki panggung
dongeng. Banyak manusia mengira, segala
hal di dunia ini bukan dirinya – padahal, semakin lama kita akan melihat kita
lah yang hidup dalam dongeng tersebut. Tuty mengajak
pembacanya melakukan review dan
koreksi terhadap satu-satunya hidup yang dimiliki.
Tulisan-tulisan Tuty mengingatkan saya pada sebuah kalimat
indah dari seorang sufi, Al Bashri, “Sesungguhnya,
hakikat dirimu adalah waktu. Tatkala waktu hilang, maka lenyaplah pula dirimu.”
Tulisan Tuty juga mengingatkan saya pada tulisan Agustinus Wibowo dalam kisah perjalanannya di
buku ‘Titik Nol’ – Bahwa waktu adalah
makhluk yang tak terjamah yang memiliki kuasa untuk menampilkan segala
kontradiksi. Waktu selalu misterius. Semua berubah bersama waktu.
Ada
Waktu untuk dilahirkan, ada Waktu untuk mati.
Ada
Waktu untuk menanam, ada Waktu untuk mencabut.
Ada
Waktu untuk membunuh, ada Waktu untuk menyembuhkan.
Ada
Waktu untuk menangis, ada Waktu untuk tertawa.
Ada
Waktu untuk mencari, ada Waktu untuk melepaskan…..
Kita hanya bisa pasrah mengikuti
permainan-Nya.
***
Tuty Yosenda (Dokumen Pribadi) |
Tuty, ‘Demi Waktu’ semoga kau terus berkarya untuk
menghasilkan sesuatu yang melampaui masa edarmu di dunia. Dan ‘Demi Waktu’ –
semoga kau tetap menggenapi waktu hidupku – menjadi sahabatku dan sahabat semua
orang - untuk saling berbagi rasa hormat dan kekaguman. Mungkin kita masih akan
tetap telefonan di tengah malam, tanpa
takut kehilangan sepatu kaca – lalu kereta
kuda berubah menjadi tikus dan semangka. Biarkan saja waktu mengalirkan kita
untuk kian tertunduk dan merasa, bahwa kita bukan siapa-siapa di dunia ini.
Menjadi Upik Abu jauh lebih berharga karena tangan dan hatinya bekerja,
daripada menjadi Cinderella yang hidup di alam simbol, di mana hidup tak pernah
mempertanyakan kemana tujuannya. Hari-hari
bergulir tak bertujuan – sungguh ini siksaan
berat untuk kita.
Kita bukan perempuan bersepatu kaca – cukuplah sepatu yang
bisa dipakai untuk menjelajah semesta untuk melihat dunia luas sambil menenteng
kamera – entah Fuji, Nikon, Canon atau merek Mak Inem – tak penting lagi. Lalu, mata kita terpukau melihat keragaman di
alam raya dan uniknya setiap sudut pandang manusia – memuliakan semua jiwa dengan rasa hormat yang dalam. Semua manusia
dalam alam raya ini memang alat peraga untuk menemukan Tuhan di dalam diri. Untuk
semua ini saya masih belajar – berproses dan mencoba memaknai.
Pada suatu hari kita akan berkata – simbol dan tubuh adalah hal usang untuk dibanggakan
dan juga sebagai pusat cerita. Demi
Waktu, selamat tinggal langkah-langkah hampa. Kita akan mengukir jejak
selanjutnya menyisipkan pesan untuk generasi sesudah kita. Semoga kelak kita
meninggal dunia dengan hati terbuka dan perasaan bahagia.
Let’s go….!
Kita berangkat.
_____________
Bandung,
22 Juli 2014
*) Catatan : tulisan ini bukan resensi,
tetapi hanya sambutan hangat kelahiran
buku, ‘Demi Waktu’ dari seorang sahabat yang sangat mengasihimu...:)
Sabtu, 19 Juli 2014
Mozaik
3
Tembang Cianjuran
Kota kecil –
Cianjur - di masa itu tidak terlalu
sesak. Paling tidak, itulah kesan
pertamaku ketika pertama kali melihat kota Cianjur. Kota Tasikmalaya lebih
besar dan lebih ramai dibandingkan kota
Cianjur. Kota Cianjur berada di sebelah Barat ibu kota
Jawa Barat, Bandung, dan di timur Jakarta. Dalam pembagian wilayah di zaman
Belanda dahulu, kota Cianjur masuk dalam wilayah Keresidenan Bogor, yang
meliputi Sukabumi, Bogor dan Cianjur. Inilah kota yang sering aku dengar
lagunya dari radio :
Kan kuingat, di dalam hatiku
betapa indah semalam di Cianjur.
Di hampir
setiap ujung jalan kota, becak mangkal. Tukang becak duduk-duduk di jok
becaknya. Ada yang duduk bersama teman-temannya, menunggu penumpang sembari
bermain kartu gapleh. Terkadang ada diantara
mereka bermain uang taruhan, semacam judi kecil-kecilan untuk memperoleh
uang kejutan dalam permainan ini. Di beberapa jalan yang lebih lebar dan di
keramaian mudah ditemukan delman sebagai sarana transportasi lain. Beberapa kusir
delman duduk terkantuk-kantuk dibelakang
pantat kuda yang berdiri tenang sambil sesekali mengeluarkan kotorannya. Kusir
delman tak peduli. Karena, bila kuda itu sudah tak mengeluarkan kotoran yang
mengotori jalanan kota artinya hewan tempat bergantung hidupnya artinya sudah
mati.
Biasanya yang
menggunakan delman adalah orang yang pulang dari pasar, atau anak-anak sekolah
yang patungan uang beramai-ramai – karena delman di Cianjur dibayar borongan,
per kali kepergian, bukan membayar seperti angkutan kota. Tarif membayar delman lebih mahal dibandingkan dengan becak –
tentu saja, di samping kusir dan keluarganya harus makan, kuda yang menarik
pedatinya juga harus makan.
Pletak-pletuk
suara sepatu kuda,
“Shhrr…shhrr…!
Ckk…..ckk…hush..!” suara mulut tukang delman di jalan. Sesekali ia mengayunkan
cemetinya agar kuda yang loyo lebih cepat berlari. Kasihan sekali. Coba kalau kuda dan kusir itu bertukar nasib,
apa mau kusir dicambuk cemeti berulangkali? Mungkin bukan cuma meninggalkan perih
di sekujur tubuh, pasti akan nyeri juga
di hati.
Aku suka
melihat kuda yang berlari-lari di padang rumput, seperti di televisi – bukan di
jalanan dengan sejumlah beban - apalagi dengan cambuk cemeti. Aku tidak terlalu
tertarik pada pedati yang ditarik kuda, yang aku pikirkan adalah mengapa
kuda-kuda itu berkaca mata?
“Ini kuda
jantan, Neng..dia dikasih kaca mata, biar matanya tidak jelalatan mencari
betina, hahahaha..” jelas kusir sambil
tertawa ketika aku naik delman pertama kali di Cianjur.
“Ini kuda playboy…!” lanjutnya cepat. Ibu hanya
mesem. Ibu memang jarang tertawa terbahak. Hanya senyum.
“Benarkah..?”
selidikku dengan muka serius. Aku sendiri tak mengerti apa arti kata playboy ketika itu.
Kusir delman
malah tertawa. Ibu akhirnya menukas,
“Ia hanya
bercanda..”
Kusir delman
yang masih muda, berbadan gendut dan bermuka bulat itu memang nampak periang
dan humoris. Akhirnya, ia tak tega juga untuk memberi penjelasan padaku,
mengapa kuda berkaca mata.
“Kuda diberi
kacamata agar melihat lurus ke depan. Kalau tidak dikasih kacamata nanti susah
dikendalikan. Kacamata ini gunanya agar dia selalu terarah.” Kali ini mukanya
agak serius. Angin sepoi-sepoi menyentuh
wajahku. Memang naik delman ini mengasyikan seperti sedang diayun-ayun, dininabobokan.
Lalu aku membayangkan tentang orang jika memakai kaca mata kuda, ia akan
kehilangan melihat peluang dan
kemungkinan. Sedikit sekali yang akan mereka ketahui, hanya ada satu pemandangan - di hadapan.
Becak,
delman, angkutan kota hilir mudik di jalanan yang tidak terlalu padat – namanya
juga kota kecil. Orang-orang berjalan berlalu lalang dengan tenang di trotoar.
Pada masa itu, tidak banyak pedagang kaki lima yang merusak tata kota. Dari jalan Mangunsarkoro hingga jalan
Cokroaminoto hanya berjajar toko-toko
yang sebagian besar dimiliki oleh etnis Tionghoa.
Di lampu merah jalanan di kota nyaris tak ada
antrian. Polisi lalu-lintas bisa duduk atau berdiri di perempatan jalan tanpa harus
repot-repot meniupkan peluit, atau tangannya begitu sibuk memberi aba-aba - kendaraan mana yang harus terlebih dahulu
jalan, dan mana yang mestinya berhenti.
Cianjur kota
yang tenang. Tepatnya, lebih cocok untuk menjadi kota pensiunan atau kota para manula.
Udara yang sejuk dengan tanah yang
subur, di mana para petani dengan gembira bercocok tanam, tanpa dipusingkan
oleh permusuhan dengan iklim. Sebagian
besar penduduk Cianjur bekerja di sektor pertanian. Sayur mayur dan buah-buahan berlimpah di sini
dengan pesawahan yang menghampar luas. Sawah-sawah dapat ditanami varitas padi yang hanya tumbuh di beberapa tempat di Cianjur, dengan aroma yang
wangi dan pulen. Orang menyebutnya beras Cianjur atau Pandanwangi. Di
sini, asal mau mengayunkan cangkulnya di sawah dan ladang, para petani di Cianjur tak akan pernah kelaparan. Ternak-ternak tak akan pernah
kekurangan rumput. Cipanas menjadi salah satu kecamatan utama di Cianjur
menjadi salah satu andalan penyangga pangan untuk Cianjur kota hingga ke
Jakarta.
Nun di sana, ada gunung yang menarik
perhatianku, seperti gunung Galunggung di Tasikmalaya – gunung Gede. Terbayang
olehku, gerangan seperti apa satwa-satwa yang menghuninya, serta tetumbuhan dan
pohon-pohon, perdu dan bunga-bunga liar yang menutupinya. Atau, mata air yang
keluar dari balik bebatuan seperti yang sering kulihat di gambar-gambar. Sementara, di Cianjur bagian Selatan, yang berbatasan
langsung dengan Samudera Hindia, masyarakatnya sebagian kecil bekerja sebagai
nelayan. Suatu hari aku ingin ke sana, melihat ombak bergulung-gulung, desiran
angin dari laut dan melihat perahu nelayan timbul dan tenggelam dari kejauhan.
Aku ingin membayangkan kisah perjalanan matahari di langit lalu tenggelam di
lautan.
Agaknya, lingkungan fisik , maksudku letak
geografis bumi, seperti lanskap, musim, cuaca, suhu udara Cianjur cukup memengaruhi perilaku secara
umum penduduknya, termasuk di dalamnya pada bagaimana mereka
berkomunikasi. Orang-orang Cianjur
pegunungan memiliki umumnya memiliki gaya tutur bicara dengan tempo yang lambat,
dan juga gerakan tubuh yang tenang, ramah dan murah hati. Itulah sebabnya mungkin, perdagangan besar
dikuasai oleh para pendatang yang lebih ngotot pada kehidupan dan lebih pandai berkalkulasi bisnis. Sedangkan penduduk dari daerah Cianjur Selatan berbicara lebih lugas
dengan tempo lebih cepat.
Kau
tahu? Cianjur juga terkenal dengan kota yang sangat agamis. Sejak dahulu, kota ini terkenal dengan
banyaknya ulama. Mereka adalah
pejuang-pejuang Islam dalam keheningan. Tak ada yang lebih didamba, kecuali ingin mengabdi pada Tuhan-nya. Ulama-ulama
inilah yang menjadi peneguh-peneguh para pejuang kemerdekaan. Kata-kata ulama
demikian didengar, tak
heran pada setiap acara pengajian orang datang berduyun-duyun menghadirinya.
Pesantren-pesantren bertebaran hingga pelosok-pelosok kampung, juga mesjid-mesjid
dan surau. Karena itu suara azan bisa koor berbarengan yang
menyeruakan lantunan azan untuk kemudian
berimpitan di udara. Tentu,
karena banyak mesjid saling berdekatan.
Sayangnya,
kehidupan keagamaan itu mulai terkikis ketika orang mulai memuja kebendaan.
Benteng pertahanan budaya – wilayah
Cipanas - dari arah Jakarta mengikis, menghempas keheningan orang-orang
Cianjur yang dahulu begitu tenang dan
bersahaja bersalin rupa –
perlahan memuja dunia. Di sisi lain,
media massa berkembang seperti
pisau bermata dua – membuka cakrawala
berpikir sekaligus menawarkan gaya hidup yang menjauhkan dari kearifan
budaya.
Karena
itu – sekarang - bila waktu shalat tiba, sekalipun udara masih tetap meriah, oleh latunan
azan, tetapi yang mengikuti shalat berjamaah tidak sampai
memenuhi mesjid. Dua shaf saja sudah
sangat hebat. TEGUH BERIMAN…! Apalagi pada saat shalat subuh, hanya tertinggal
beberapa orang yang sudah tua, sisanya adalah udara dingin serta angin yang
masuk melalui pintu dan jendela mesjid.
***
Mesjid Agung Cianjur – di sanalah
patokannya jika kau ingin berkunjung ke rumah kami dan atau menjahit
baju kepada Ibuku. Mesjid itu ada di tengah-tengah kota yang menghadap ke
alun-alun. Di seberang jalan sebelah kiri ada pasar induk – dan di sebelah kanannya
adalah kantor pemerintahan kabupaten. Di belakang kantor kabupaten itu ada
rumah dinas bupati. Kantor pemerintahan kota bersisian dengan kantor pos yang
ber-arsitektur art de co, peninggalan
zaman Belanda. Jendela-jendela yang lebar dan tinggi berwarna cokelat akan
selalu terbuka di siang hari, kau akan melihat orang-orang berjubel di sana –mengantarkan
surat kepada kerabat atau para kekasih, dan sahabat pena. Di sana ada orang
yang mencairkan wesel pos, kiriman uang. Para penerima wajahnya sumringah dan
hatinya berbunga-bunga.
Aku
senantiasa terpukau dengan jendela besar dan terbuka, seperti gedung kantor
pos. Sepertinya, jika aku punya rumah seperti
itu akan hangat oleh cahaya. Tetapi rumahku jendelanya hanya terbuat dari kaca
nako. Rumahku bercat warna merah muda, paling
mungil di seantero jalan, tetapi pekarangan rumah kami agak luas dibandingkan
dengan para tetangga. Cukuplah rumah
sebesar itu untuk tempat tinggal kami berdua, tiga kamar tidur, satu dapur dan
dua kamar mandi. Ada ruang tamu, ruang keluarga dan paviliun. Di paviliun itu
Ibu menerima jahitan. Dan di depan rumah
terpampang plang :
ESTETIKA TAILOR
MENERIMA JAHITAN BAJU ANAK DAN WANITA
Langganan:
Postingan (Atom)