Senin, 23 November 2015

La Vita Nuova



Benarkah  sekat antara dunia imajinasi dan kegilaan itu  tipis sekali?  Dalam banyak kasus, ketika manusia tidak berpijak pada realitas, dan iman yang membingkai,  mungkin ia akan menemukan puncak-puncak  output kreativitasnya, berupa karya yang memiliki daya ledak. Namun, apakah daya ledak puncak-puncak kreativitas itu akan membimbing ummat manusia pada pencerahan, ataukah sebaliknya? Apakah kreativitas itu akan membawanya pada penerangan budi pada dirinya sendiri, ataukah tidak?


Novel Inferno karya  Dan Brown banyak terilhami  oleh buku  The Divine Comedy karya Dante Alighieri.  Di samping  menulis The Divine Comedy,  Dante  menulis sebuah kumpulan puisi, La Vita Nuova.  Puisi  itu di latar belakangi oleh penggalan hidup Dante yang tak bisa  menggenapi hidup atas  cintanya  pada Beatrice Portinari.  Dante menikah dengan Gemma Di Manetto Donati. Namun, sekalipun mereka memiliki  putra, pasangan itu tidak menyiratkan  bahwa mereka saling mengasihi. Sebagian  hidup Dante berada di  dunia khayalan.   Beatrice Portinari  menjadi ilham dalam imajinasinya yang menjadi karya-karya besarnya.


Dalam kisah dunia patah hati lainnya yang terkenal, seperti Sayap-Sayap Patah, karya Khalil Gibran, Romeo and Juliet, karya Shakespeare,  sampai  Laila Majnun,  memberikan inspirasi besar, bagaimana menikmati patah hati yang menyayat hati  dengan cara yang  amat  melankolis dan dramatis. Perih yang masuk dalam labirin perasaan tanpa menemukan jalan pembebasan.  Dan tak berusaha menebas.  Menyikapi  kesedihan dengan cara yang amat menyedihkan.


Credit Image : The Divine Comedy by Lewis Caroll - www. comediva.com


Kegelisahan  Sebagai Alat

Proses kreativitas  seringkali  muncul dari  alam kegelisahan, bukan ketenangan. Di tangan seorang sastrawan, kesedihan yang mendalam  membuat dadanya penuh.  Untuk melepaskannya ia harus menulis. Dari penghayatannya atas duka,   seorang sastrawan yang baik dapat  melukiskan perasaan dengan cara yang  amat liris, dramatis dan  menyentuh.  Dalam karya sastra, sang tokoh  belum tentu  dirinya sendiri, kebanyakan justru membincangkan dan menghayati orang lain sebagai tokoh dalam cerita. Seorang sastrawan yang baik, mampu menggambarkan perasaan  cinta.  Cinta yang  memberikannya euforia perasaan yang meledak-ledak, bersatu dengan kegelisahan, rasa sakit, kegalauan, romantisme, kerinduan dan cekaman-cekaman perasaan lainnya. Aneka rupa perasaan itu memberinya kekayaan  kosa kata yang tak terhingga untuk melukiskan  sejuta rasa.  Imajinasinya   menciprat-ciprat di dalam benak,


Dunia dalam karya sastra kebanyakan bukan dunia realitas, melainkan dunia imajinasi, dunia khayal. Realitas itu fakta sebagaimana adanya, sastra memberikan sentuhan dengan memberinya cita rasa.  Seakan semuanya ada, padahal tiada.   Dunia realitas ini menyakitkan.  Tetapi,  bagi sebagian orang yang bermain di alam imaji,   dapat  menemukan kehangatan yang menyamankan jiwanya sebagai pelepasan.  Sekalipun  beberapa di antaranya terlihat sebagai  pelepasan semu.


Sebenarnya, tulisan-tulisan para sastrawan tentang cinta, dapat membantu orang memetakan perasaannya, tentang masa lalu, masa kini dan memetakan sebagian kehidupannya. Imajinasi mereka membantu kita  melihat bahan dasar  aneka perasaan kita yang sesungguhnya.   Tulisan-tulisan mereka banyak yang mewakili  kehidupan kita, sekalipun penuh dengan dramatisasi yang tak masuk akal.  Sesuatu yang tidak masuk akal  dan mengada-ada justru  menarik adrenalin  manusia untuk mengetahuinya.


Itulah mungkin yang membuat imajinasi dan khayalan-khayalan mereka dapat menjadi penghiburan bagi manusia yang mengganggap dirinya normal, untuk  melepaskan kebosanan melihat  fakta-fakta dengan alur yang partitur.  Mereka ingin melongok dunia lain. Jadi,  imajinasi dan kegilaan-kegilaan  mereka seakan hiburan yang  dinanti-nantikan.  Selain menjadi hiburan, tulisan-tulisan dari alam imaji dan juga kisah sesuatu, dapat menjadi pembanding dan rujukan serta alat internalisasi diri.

Credit Image : rivyakinvadymm.blogspot.com



Hidup Dalam Bayang-Bayang

Kembali kepada buku La Vita Nuova -  buku  persembahan cinta  Dante pada Beatrice. La Vita Nuova,  mengingatkan saya pada kisah cinta seorang pujangga,  Amir Hamzah,  kepada gadis dari Pulau Jawa yang bernama Sundari.  Para kekasih bayangan  ini  menjadi ilham besar dalam puisi.  Dante dan Amir Hamzah   memiliki karya yang monumental,  karena salah  satu kakinya berpijak  dalam dunia bayang-bayang.  Mereka   ‘terperangkap’  dalam dunia imajinasi dan penyangkalan atas realitas,  serta hanyut dalam perasaan yang diciptakannya.   Mereka tak sanggup menghentikan dan mendobrak labirin perasaan yang memenjarakannya atas perihnya  melihat kenyataan. Realitas itu menyakitkan, dan mereka melarikan diri ke alam impian. Ataukah karena sebagian  sastrawan seperti  ini, hidup dalam dunia perasaan yang membuat dirinya sukar berpikir logis? Ataukah seluruh perasaan itu sengaja dipelihara agar tetap dalam  selalu bertahan di puncak-puncak kreativitas? Hanya  penulis sendiri yang tahu.


Idealnya, alam imajinasi dan pengetahuan, dengan banyaknya membaca dan menulis,     membuat orang tercerahkan dan menemukan jalan, serta cara membebaskan diri dari himpitan perasaan.  Tetapi, dunia ini memang jalan ceritanya seperti itu, selalu memiliki tamsilnya sendiri-sendiri yang diwakili berbagai karakter dan permasalahan-permasalahan manusia. Tinggal pembacanya yang sebaiknya hati-hati memaknai, agar bacaan-bacaan  dari dunia patah hati  tidak menjadi  bahan rujukan utama dalam mengambil langkah, karena akan menyulitkan move on. Ketika diinternalisasikan, akan membuat seseorang yang memiliki kesamaan pengalaman  semakin galau. Tetapi, buku-buku yang memuja cinta secara membabi-buta, banyak gunanya untuk  dijadikan salah satu kekayaan membuat sudut pandang dan  perasaan  senasib.


Ketika menemukan banyak buku-buku patah hati di toko buku,  saya selalu teringat pada Leo Tolstoy, Anthony de Mello dan Jalaluddin Rumi. Mereka mengajarkan,  hanya cinta kepada Tuhan yang merangkum segala, di mana manusia akan menemukan kemerdekaan dan pembebasan dari kemelekatan. Sekalipun pasti sulit melerai perasaan, namun manusia perlu belajar untuk mendewasakan sudut pandang tentang cinta itu sendiri. Cinta dipandang  Rumi dan de Mello tidak dengan cara menggenggam erat-erat, namun ikhlas melepaskan. Mereka melihatnya dengan sangat sederhana, apa yang dapat digenggam jika semuanya akan berpulang pada Tuhan,  dan waktu hidup yang telah ditakar jadwal seberapa lama boleh bernafas?   Rumi dan de Mello menganggap, dramatisasi cinta dengan memuja  seorang manusia itu terlalu berlebihan.  Cinta Tuhan dan mencintai Tuhan adalah puncak-puncak  yang paling megah di antara seluruh perasaan. Sedangkan, cinta manusia kepada manusia adalah bangunan perasaan yang sangat  rapuh, bila tanpa melibat luruh dalam Tuhan.


Tapi,  tiap orang memiliki selera dan pilihannya sendiri. Seperti halnya  karya sastra memang untuk sastra.  Karya sastra itu memotret, tak harus selalu membuat solusi yang bijak menyikapi. Karya sastra  membuat tokoh ‘telanjang’ dan apa adanya, tak memanipulasi karakter.  Ini   membuat sang tokoh  dalam alur cerita dan karakter penulis, entah di tokoh mana yang ia munculkan, menjadi dirinya sendiri.  Mungkin di sisi itu yang akan membuatnya  menarik. Ketika buku-buku  sampai di tangan pembaca, kekuasaan dan kekuatan pikiran  pembaca yang  membingkai serta  memaknainya.








Sabtu, 21 November 2015

Kesalahanku Adalah Bertemu Denganmu



“Kesalahanku adalah bertemu denganmu..”  tulis salah satu status  seorang perempuan di jejaring sosial.  Terdengar labil dan  galau. Mungkin karena pertemuan itu berkembang di luar harapannya.  Ia merasa ada  ketimpangan antara yang dipikirkan dan dibayangkan  tentang orang yang dimaksud dengan realitas yang sesungguhnya.  Ia kecewa.  Atau, mungkin pula ia patah hati.

Dalam siklus komunikasi, ada tahapan perkenalan, penjajakan, mengembangkan hubungan, lalu setelah itu ada perusakan hubungan.  Pada saat pertama melihat seseorang dan  merasa tertarik,  manusia umumnya   melakukan  pejajakan.  Pertama-tama orang tertarik pada seseorang biasanya  cenderung melihat  penampilan fisik dan yang menyertainya.   Setelah itu, orang kebanyakan  berguguran  pada saat tahap  penjajakan.  Terutama, ketika  sosok yang membuat kita tertarik mulai berbicara  dan memperlihatkan bahasa tubuhnya.  Banyak orang-orang yang tampil modis dan memikat, namun ketika berbicara nampak kurang smart, wawasannya terbatas dan membosankan, bahasa tubuhnya tidak nyaman.   Setelah itu, orang cenderung  mundur perlahan.


Apabila dalam penjajakan  merasa ‘klik’, biasanya  orang mengembangkan  hubungan  lebih  dalam.  Di antara keduanya  saling membuka diri, dan membuat ikatan-ikatan persahabatan atau pertemanan.  Mereka bisa bercerita apa saja, dan berbincang apa pun dengan nyaman.  Tetapi, apabila  ada  kesalahfahaman, pengembangan hubungan ini seringkali  layu di tengah jalan. Boleh jadi bahkan akan muncul perusakan hubungan, lalu mereka akan saling melukai perasaan. Atau, boleh jadi menjauh atau  mundur perlahan-lahan,  sekalipun tanpa  dikatakan.  Hanya membutuhkan kepekaan perasaan saja untuk mengetahuinya.



Sulitnya Memelihara Hubungan

Hal yang paling sulit dalam fragmen persahabatan adalah memelihara hubungan. Untuk memelihara hubungan ini dibutuhkan saling pengertian, dan kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan orang. Pada keterbatasan itu terangkum di dalamnya adalah kekuatan karakter, waktu yang bisa diluangkan, kesibukan-kesibukan, kondisi kesehatan, jarak, usia,  jenis kelamin, minat, pengalaman masa lalu dan sebagainya.  Tidak semua perenggangan hubungan itu ditafsirkan dengan negatif, salah satunya,  kesibukan-kesibukan seseorang  dapat memengaruhinya.  Dan laki-laki tidak membutuhkan intensitas komunikasi lebih kerap dibanding dengan perempuan.  Sebaliknya,  umumnya perempuan  memiliki kebutuhan komunikasi lebih tinggi, untuk meyakinkan perasaannya, bahwa semuanya masih baik-baik saja.


Umumnya, orang yang bersahabat memiliki karakter-karakter  dan minat yang mirip satu sama lain. Karena itu, jika ingin melihat  seseorang sebagai premis awal, lihat teman-temannya yang menelikunginya, karena orang tersebut minat atau karakter pribadinya tak jauh dari itu. Persahabatan maya berbeda dengan persahabatan di dunia nyata. Persahabatan maya jauh lebih rumit, karena  dunia maya hanya  bertumpu hanya pada kata-kata. Dunia maya  bukan ‘dunia yang wajar’ bahkan terlalu sensitif.  Kata-kata itu multitafsir. Dunia maya itu tidak utuh memotret kehidupan dan pribadi seseorang. Karena itu, jarang terjadi persahabatan maya yang dapat bertahan dalam rentang waktu yang panjang. Apalagi apabila terjadi kesalahan penafsiran, tidak mudah untuk  dilerai, karena masing-masing akan berbincang dengan pikirannya sendiri-sendiri. Persahabatan maya lebih mudah menyulut dan memelihara  prasangka.  Sedangkan persahabatan di dunia nyata apabila ada kesalahpahaman mudah diselesaikan. Pertemuan  face to face, berbincang dari hati ke hati dapat segera meredakan ketegangan. 


Satu hal yang pasti dibutuhkan dalam persahabatan, baik persahabatan maya atau pun persahabatan di dunia nyata,  adalah menjaga kepercayaan  dan permakluman.  Dan tentu
saja, sebaiknya tidak membiasakan membuat ekspetasi  berlebihan pada seorang manusia,  pun itu pada seorang sahabat. Banyak berharap pada kebaikan hati manusia seringkali hanya menuai kekecewaan.





Tak  Ada Kesalahan Dalam Pertemuan.

Pertemuan dan perpisahan adalah sebuah hukum alam. Sepanjang kehidupan ini, tak ada yang konstan. Sahabat, dan teman, atau bahkan suami dan istri, mereka itu seperti lilin yang menyala, hanya menunggu akhir padamnya saja.   Sikap orang berubah, itu juga hal yang alamiah,  karena manusia itu makhluk dinamis, bukan makhluk statis. Pikiran manusia berkembang, menemukan hal-hal yang baru, memperoleh sudut pandang baru dalam sebuah relasi hubungan, lalu mereka mengevaluasi kebersamaan. Di dalam dada manusia bersemayan perasaan yang sama,  benci, rindu, cinta dan seluruh tumpah ruah rasa.  Perbedaannya hanya dalam cara menyikapi, yang bergantung pada kelapangan jiwa dan kekayaan sudut pandang seseorang.  Karena itu, tak ada kesalahan dalam pertemuan dengan siapa pun.  Bertemu  dengan seekor semut sekalipun, sampai berjumpa dengan seseorang yang  dianggap bajingan.

Seluruh manusia yang hadir di dalam hidup ini  dialirkan oleh  semesta. Bertemu dengan siapa pun tak ada  terjadi begitu saja dengan kebetulan. Teman-teman, sahabat-sahabat, tetangga-tetangga dan juga tentunya keluarga adalah orang-orang yang berharga di dalam hidup kita apa pun rasanya. Entah ia pernah menyakiti atau pun mencintai. Mereka  digilirkan hadir di dalam hidup  sebagai hantaran pendewasaan jiwa dan refleksi diri. Pada dasarnya, semuanya menguji kita, entah dengan benci dan cintanya, juga perasaan-perasaan lain yang menyertainya. Tak ada alasan untuk  mendikte pikiran dan perasaan seorang manusia, apa pun yang  mereka rasakan.  Kita hanya bisa memberikan kesan, setelah itu manusia di sekeliling kita akan mempersepsi  sebatas relativitas  kekuatan pikiran, perasaan, dan latar belakang dan pengalaman hidupnya.

Daun yang berguguran, tak pernah menyalahkan angin, kayu bakar tak akan menyalahkan api.  Demikian pula pepohonan yang meranggas tak pernah menyalahkan musim. Ada baiknya kita tidak membiasakan membuat kambing hitam  dalam  persoalan dengan manusia. Waktu kita nanti habis untuk menyalahkan orang-orang tanpa sempat merenungi dan mengambil pelajaran dari semua sisinya.  Baik atau pun buruk perlakuan orang, adalah pelajaran kehidupan yang berharga, yang memerlukan kesediaan menerima dengan lapang dada.  Kita tak bisa menuntut  perlakuan manis dan kebaikan orang. Lagi pula, pertunjukkan hidup kita bukan untuk dinilai oleh kamera relativitas pikiran dan perasaan manusia, kita sedang ‘akting’ di dunia, dan juri kita adalah Tuhan.
Dalam Qur’an Tuhan berfirman, ‘Tolaklah keburukan dengan kebaikan’.  Dan Allah hanya meminta manusia berbuat baik kepada semua orang, dan menanam kebaikan sebatas kekuatan manusiawi. Jika mereka salah mempersepsi kita, jangan menghentikan kebaikan kepada mereka.   Jika mereka berubah, tak  apa. Perasaan manusia itu naik dan turun. Ada masa di mana seseorang itu  tidak lagi menyukai kita  atau bosan.  Kita pun bukan orang yang terus menerus dapat bertahan menyenangkan hati orang, dan sarat dengan kekurangan. Inilah seninya hidup berada di tengah-tengah manusia. Berhubungan dengan siapa pun tak akan mencapai kesempurnaan, bahkan sepasang suami istri sekalipun. Mungkin itu sebabnya Allah meminta manusia saling berendah hati dan saling memaafkan kekurangan. 


Terus  berusaha saja  memperbaiki kualitas kemanusiaan diri.  Memberi kesempatan kepada  hati, pikiran dan perasaan untuk    tulus  ketika berteman, bersahabat, entah apa pun namanya,  dengan siapa pun, tanpa trik yang manipulatif.  Belajar mereaksi segala sesuatu dengan cara yang baik.  Orang yang memiliki lokus kontrol yang baik, jarang terpengaruh oleh sikap buruk orang lain kepadanya.    Dan, berlepaslah dari apa yang mungkin akan kita terima dari balasan  sikap, penilaian dan persepsi  mereka. Selebihnya, biar diurus   Allah  saja.



Mencari Belahan Jiwa

Mencari  Belahan Jiwa





Dalam Dialog, Symposium, Plato,  Aristophanes mengajukan sebuah  pernyataan   tentang belahan jiwa. Aristophanes menyatakan bahwa manusia awalnya adalah satu. Ia memiliki empat lengan, empat kaki, dan satu kepala yang terbuat dari dua wajah, dengan dua kelamin berjenis pria dan wanita.   Ke mana-mana mereka selalu bersama dan mempertontonkan ‘kemesraan’ mereka dengan cara yang  amat sombong dan  demostratif. Kelakuan itu membuat para dewa merasa cemburu. Bukan hanya sekedar cemburu, para dewa  merasa, bahwa mereka akan menjadi makhluk tandingan yang sangat kuat dan akan  mengancam kekuasaan mereka. Akhirnya, Dewa Zeus menghukum manusia, dan membelahnya  menjadi dua, menjadi pria dan wanita.  Raga mereka dijauhkan. Ketika mereka berjauhan, kerinduan akan belahan jiwanya terus memanggil.  Di kemudian hari, mereka akan saling  mencari belahan jiwanya yang hilang  agar mereka kembali bersama.  Belahan jiwa itu yang disebut sebagai kekasih sejati, atau jodoh.



Boleh jadi karena terilhami oleh Plato, Paulo Coelho menulis  novel berjudul, Brida. Novel ini menceritakan  tentang seorang perempuan yang sedang mencari jati diri dan tertarik pada dunia magis. Ketertarikan itu membawanya kepada seorang lelaki yang hampir setengah usianya. Ketika mereka bertemu, lelaki itu melihat ada tanda-tanda bahwa Brida adalah perempuan yang selama ini ia nantikan. Alam semesta memberi isyarat, bahwa Brida adalah belahan jiwanya. Tetapi, lelaki ini kemudian menyadari, tak mungkin baginya memaksakan diri untuk menikah dengan belahan jiwanya, karena Brida terikat tunangan dengan lelaki yang lembut, intelek dan baik hati. Sekalipun Brida sesaat bimbang, lelaki itu mendorong Brida untuk tetap berkomitmen dengan kekasihnya. Cukuplah bagi lelaki itu diperlihatkan, di dunia ini ia telah dipertemukan oleh semesta raya dengan belahan jiwanya. Pertemuan sesaat itu telah membuat lelaki itu amat bahagia.


Benarkah belahan jiwa itu ada?



Menelusuri  Jejak Perasaan

Seraya tetap penuh hormat yang sangat dalam kepada Plato, sang filsuf Yunani. Pernyataan tentang  adanya satu jiwa di dalam dua tubuh dengan dikaitkan atas nama belahan jiwa, sebuah cinta sejati, sugguh telah mendorong  orang  menyusuri drama cinta sepanjang hidupnya. Ada yang meyakini, bahwa cinta pertama adalah cinta yang paling murni, karena  di dalamnya seringkali tak ada kalkulasi dan motif tersembunyi, kecuali mengikuti rasa cinta itu sendiri. Itulah cinta sejati.  Karenanya, bagi banyak orang, cinta pertama, sekaligus sebuah cinta monyet, adalah peristiwa yang paling berkesan selama hidupnya. Sampai di kalimat ini, sekarang pejamkan matamu... lalu,  bayangkan sosok itu. Engkau sekarang sedang tersenyum bukan?  Rona wajahmu menjadi berseri-seri mengingat bagaimana pertama kalinya di dalam hidup, engkau jatuh cinta.


Setelah itu, ternyata cinta pertama tak berlangsung lama, ada cinta ke- dua, ke-tiga, ke-empat, dan seterusnya.  Ketika jatuh cinta, orang seringkali merasa, dia-lah sosok yang sempurna, dia lah yang selama ini ia cari, sebagai belahan jiwa. Untuk urusan belahan jiwa ini, secara vulgar dan ekspresif, para artis di acara infotainment mempertontonkan kemesraannya, dan memuji-muji kekasihnya, seakan tak ada sosok lain yang lebih hebat, kecuali si dia. Seperti juga perbincangan kaum perempuan, jika berbicara tentang 'cowok' dan perlakuan hangatnya kepada mereka menjadi topik yang yang bisa dibahas  tanpa bosan selama berjam-jam. Sedangkan para lelaki  sebagai makhluk visual, mereka umumnya akan lebih asyik jika membincangkan perempuan secara fisik.


Tetapi, pujian-pujian itu umumnya nyaris tak berlangsung lama. Jatuh cinta itu tak lebih dari sekedar euforia perasaan. Setelah dijalani, baru mengerti,  betapa banyak cacat dan kekurangan kekasihnya, atau pasangan hidupnya.  Puisi-puisi untuk memuja cinta dari para pujangga, menjadi tak berlaku ketika sudah berhadapan dengan sang waktu. Lagu-lagu cinta yang membuai untuk mendramatisasi perasaan, pada akhirnya akan diuji dengan realitas. Bahwa cinta tak semerdu nada-nada lembut dan melankolis.  Pada sebuah titik, ketika pandangan dan karakter sulit dipertemukan, akhirnya mereka menyerah kalah. Betapa sulitnya rasa  asmara  untuk dijadikan topangan. Cinta dan benci itu sekatnya amat tipis.  Setelah itu, mereka berkata, bahwa kami tak ada kecocokan. Mungkin dia bukan belahan jiwaku. Belahan jiwaku dan cinta sejatiku, ada berada  di luar sana. Entah siapa?  Kemana lagi  akan melayangkan pikiran? Ketika mencari lagi di luar sana, barangkali saja sang belahan jiwa   masih berkeliaran.


Belahan jiwa dalam khayalan adalah orang yang cocok dan memiliki kepribadian dan pandangan-pandangan hidup serupa dengannya.  Kembali, ketika manusia mencari,  akan terhenti pada sebuah titik di mana  semua orang tak akan pernah ada  yang serupa, yang ada hanyalah kemiripan-kemiripan karakter, type hati yang mirip. Mirip bukan berarti sama.  Manusia itu memiliki pribadi yang sangat unik.


Suami dan istri  yang telah terikat janji suci pernikahan, itu adalah takdir yang telah diambil. Ketika banyak peristiwa yang tidak menyamankan hati karena beberapa tingkah lakunya yang sulit disetujui, ia  akan mengajarkan kepada kita untuk berlatih kesabaran, kebaikan dan toleransi. Socrates, guru dari Plato berkata, "Jika istrimu (pasanganmu) berperangai buruk, kau akan jadi filosof." - Boleh jadi ini  berdasarkan pengalaman pribadi Socrates karena istrinya teramat rese'.- Apalagi yang akan diperjuangkan di dalam rumah tangga, ketika layar sudah terkembang di samudera, selain menjaga  komitmen dan tanggung jawab.   





Belahan Jiwa Sejati

Hidup ini, bukanlah dongeng Putri Tidur yang menunggu ciuman sang Pangeran.  Akhir hidup yang indah, bukan pula seperti dongeng  Cinderella yang kelak hidup berbahagia untuk selama-lamanya dengan putra mahkota raja.  Jika kesempurnaan hidup ini dimaknai hanya semata-mata adanya pertemuan dengan  pasangan hidup dari bagian tubuh  yang hilang, entah dari tulang rusuk atau dua makhluk dalam satu tubuh, bagi sebagian orang terasa sebagai  penyempitan makna. Dengan asumsi,  jika belahan jiwa itu adalah hanya satu di dunia ini, mengapa hati  terhubung dengan banyak orang, entah pria dan wanita, lalu  merasa ia telah menjadi bagian yang begitu  dalam hidup dan perasaan?  Mereka itu adalah keluarga, sahabat atau mungkin teman satu kelompok tertentu. Lainnya lagi,   mengapa  pula para  pria banyak yang poligami?


Bagi Ibnu Sina, ilmu pengetahuan dan melakukan penelitian-penelitian ilmiah adalah belahan jiwanya. Produktifnya menulis dan dedikasinya untuk ilmu pengetahuan  membuat ia tak terobsesi dengan "belahan jiwa", agar  meninggalkan jejak untuk semesta dan estafet peradaban.  Ibnu Sina mewariskan  450 buah buku yang sangat penting sebagai cikal bakal pengetahuan modern. Untuk  Bunda Teresa, orang-orang sakit dan lemah adalah belahan jiwanya.  Para  pelayan kemanusiaan melihat,  cinta ekslusif dan menjadikan seorang saja dalam hidup sebagai belahan jiwa membuat hidupnya terasa tak berarti  Bagi jiwa yang penuh kasih sayang, semua manusia dan makhluk di semesta raya ini adalah belahan jiwanya, tanpa kecuali. Keutuhan jiwa tidak hanya dimaknai dalam arti yang sangat sempit, sebatas pria dan wanita. Itulah yang membuat mereka merasa jiwanya utuh  dan bermakna.



Mengakhiri tulisan ini, sesungguhnya saya ingin menulis kalimat penutup yang manis. Sayangnya, terlanjur 'terganggu' oleh syair Jalaluddin Rumi yang  melintas di perasaan yang jauh lebih indah. Tidak tahu, apakah  nyambung  atau tidak dengan paparan di atas. Tetapi, nikmati saja, ya... :


Jika kita mencintai, cinta kita bukanlah dari kita, atau bukan untuk kita.
Jika kita bergembira, kegembiraan kita tidak ada dalam diri kita, tetapi dalam Kehidupan itu sendiri.
Jika kita berduka, sakit kita tidak berada dalam luka kita, tetapi di dalam jantung Alam.

Aku tidak akan mengeluh; Aku percaya pada arti sebuah kepahitan yang ada dalam setiap obat yang aku minum dari cangkir Kehidupan.Aku percaya pada keindahan  dukacita yang menembus hatiku.
Aku percaya pada kasih sayang abadi dari jari-jari kuat yang mencengkram jiwaku.


 _____
Catatan : Tulisan ini telah dimuat dalam  buku saya : "Obrolan di Kedai Plato" (2014)