Benarkah sekat antara
dunia imajinasi dan kegilaan itu tipis
sekali? Dalam banyak kasus, ketika
manusia tidak berpijak pada realitas, dan iman yang membingkai, mungkin ia akan menemukan puncak-puncak output kreativitasnya,
berupa karya yang memiliki daya ledak. Namun, apakah daya ledak puncak-puncak
kreativitas itu akan membimbing ummat manusia pada pencerahan, ataukah
sebaliknya? Apakah kreativitas itu akan membawanya pada penerangan budi pada
dirinya sendiri, ataukah tidak?
Novel Inferno karya
Dan Brown banyak terilhami oleh
buku The
Divine Comedy karya Dante Alighieri.
Di samping menulis The Divine Comedy, Dante
menulis sebuah kumpulan puisi, La
Vita Nuova. Puisi itu di latar belakangi oleh penggalan hidup
Dante yang tak bisa menggenapi hidup
atas cintanya pada Beatrice Portinari. Dante menikah dengan Gemma Di Manetto Donati.
Namun, sekalipun mereka memiliki putra,
pasangan itu tidak menyiratkan bahwa
mereka saling mengasihi. Sebagian hidup Dante
berada di dunia khayalan. Beatrice Portinari menjadi ilham dalam imajinasinya yang menjadi
karya-karya besarnya.
Dalam kisah dunia patah hati lainnya yang terkenal, seperti Sayap-Sayap Patah, karya Khalil Gibran, Romeo and Juliet, karya
Shakespeare, sampai Laila
Majnun, memberikan inspirasi besar,
bagaimana menikmati patah hati yang menyayat hati dengan cara yang amat
melankolis dan dramatis. Perih yang masuk dalam labirin perasaan tanpa
menemukan jalan pembebasan. Dan tak
berusaha menebas. Menyikapi kesedihan dengan cara yang amat menyedihkan.
Credit Image : The Divine Comedy by Lewis Caroll - www. comediva.com |
Kegelisahan Sebagai
Alat
Proses kreativitas
seringkali muncul dari alam kegelisahan, bukan ketenangan. Di tangan
seorang sastrawan, kesedihan yang mendalam
membuat dadanya penuh. Untuk
melepaskannya ia harus menulis. Dari
penghayatannya atas duka, seorang
sastrawan yang baik dapat melukiskan
perasaan dengan cara yang amat liris, dramatis dan menyentuh.
Dalam karya sastra, sang tokoh belum
tentu dirinya sendiri, kebanyakan justru
membincangkan dan menghayati orang lain sebagai tokoh dalam cerita. Seorang
sastrawan yang baik, mampu menggambarkan perasaan cinta.
Cinta yang memberikannya euforia
perasaan yang meledak-ledak, bersatu dengan kegelisahan, rasa sakit, kegalauan,
romantisme, kerinduan dan cekaman-cekaman perasaan lainnya. Aneka rupa perasaan
itu memberinya kekayaan kosa kata yang
tak terhingga untuk melukiskan sejuta
rasa. Imajinasinya menciprat-ciprat di dalam benak,
Dunia dalam karya sastra kebanyakan bukan dunia realitas,
melainkan dunia imajinasi, dunia khayal. Realitas itu fakta sebagaimana adanya,
sastra memberikan sentuhan dengan memberinya cita rasa. Seakan semuanya ada, padahal tiada. Dunia realitas ini menyakitkan. Tetapi, bagi sebagian orang yang bermain di alam imaji,
dapat
menemukan kehangatan yang menyamankan jiwanya sebagai pelepasan. Sekalipun
beberapa di antaranya terlihat sebagai pelepasan semu.
Sebenarnya, tulisan-tulisan para sastrawan tentang cinta,
dapat membantu orang memetakan perasaannya, tentang masa lalu, masa kini dan
memetakan sebagian kehidupannya. Imajinasi mereka membantu kita melihat bahan dasar aneka perasaan kita yang sesungguhnya. Tulisan-tulisan mereka banyak yang mewakili kehidupan kita, sekalipun penuh dengan
dramatisasi yang tak masuk akal. Sesuatu
yang tidak masuk akal dan mengada-ada
justru menarik adrenalin manusia untuk mengetahuinya.
Itulah mungkin yang membuat imajinasi dan khayalan-khayalan
mereka dapat menjadi penghiburan bagi manusia yang mengganggap dirinya normal,
untuk melepaskan kebosanan melihat fakta-fakta dengan alur yang partitur. Mereka ingin melongok dunia lain. Jadi, imajinasi dan kegilaan-kegilaan mereka seakan hiburan yang dinanti-nantikan. Selain menjadi hiburan, tulisan-tulisan dari
alam imaji dan juga kisah sesuatu, dapat menjadi pembanding dan rujukan serta
alat internalisasi diri.
Credit Image : rivyakinvadymm.blogspot.com |
Hidup Dalam Bayang-Bayang
Kembali kepada buku La
Vita Nuova - buku persembahan
cinta Dante pada Beatrice. La Vita Nuova, mengingatkan saya pada kisah cinta
seorang pujangga, Amir Hamzah, kepada gadis dari Pulau Jawa yang bernama
Sundari. Para kekasih bayangan ini
menjadi ilham besar dalam puisi.
Dante dan Amir Hamzah memiliki
karya yang monumental, karena salah satu kakinya berpijak dalam dunia bayang-bayang. Mereka
‘terperangkap’ dalam dunia
imajinasi dan penyangkalan atas realitas,
serta hanyut dalam perasaan yang diciptakannya. Mereka
tak sanggup menghentikan dan mendobrak labirin perasaan yang memenjarakannya
atas perihnya melihat kenyataan.
Realitas itu menyakitkan, dan mereka melarikan diri ke alam impian. Ataukah
karena sebagian sastrawan seperti ini, hidup dalam dunia perasaan yang membuat
dirinya sukar berpikir logis? Ataukah seluruh perasaan itu sengaja dipelihara
agar tetap dalam selalu bertahan di
puncak-puncak kreativitas? Hanya penulis
sendiri yang tahu.
Idealnya, alam imajinasi dan pengetahuan, dengan banyaknya
membaca dan menulis, membuat orang tercerahkan dan menemukan
jalan, serta cara membebaskan diri dari himpitan perasaan. Tetapi, dunia ini memang jalan ceritanya
seperti itu, selalu memiliki tamsilnya sendiri-sendiri yang diwakili berbagai
karakter dan permasalahan-permasalahan manusia. Tinggal pembacanya yang
sebaiknya hati-hati memaknai, agar bacaan-bacaan dari dunia patah hati tidak menjadi
bahan rujukan utama dalam mengambil langkah, karena akan menyulitkan move on. Ketika diinternalisasikan, akan
membuat seseorang yang memiliki kesamaan pengalaman semakin galau. Tetapi, buku-buku yang memuja
cinta secara membabi-buta, banyak gunanya untuk dijadikan salah satu kekayaan membuat sudut
pandang dan perasaan senasib.
Ketika menemukan banyak buku-buku patah hati di toko buku, saya selalu teringat pada Leo Tolstoy, Anthony
de Mello dan Jalaluddin Rumi. Mereka mengajarkan, hanya cinta kepada Tuhan yang merangkum
segala, di mana manusia akan menemukan kemerdekaan dan pembebasan dari kemelekatan.
Sekalipun pasti sulit melerai perasaan, namun manusia perlu belajar untuk
mendewasakan sudut pandang tentang cinta itu sendiri. Cinta dipandang Rumi dan de Mello tidak dengan cara menggenggam
erat-erat, namun ikhlas melepaskan. Mereka melihatnya dengan sangat sederhana,
apa yang dapat digenggam jika semuanya akan berpulang pada Tuhan, dan waktu hidup yang telah ditakar jadwal
seberapa lama boleh bernafas? Rumi dan de Mello menganggap, dramatisasi
cinta dengan memuja seorang manusia itu
terlalu berlebihan. Cinta Tuhan dan
mencintai Tuhan adalah puncak-puncak
yang paling megah di antara seluruh perasaan. Sedangkan, cinta manusia
kepada manusia adalah bangunan perasaan yang sangat rapuh, bila tanpa melibat luruh dalam Tuhan.
Tapi, tiap orang memiliki
selera dan pilihannya sendiri. Seperti halnya
karya sastra memang untuk sastra.
Karya sastra itu memotret, tak harus selalu membuat solusi yang bijak
menyikapi. Karya sastra membuat tokoh ‘telanjang’
dan apa adanya, tak memanipulasi karakter. Ini membuat
sang tokoh dalam alur cerita dan karakter
penulis, entah di tokoh mana yang ia munculkan, menjadi dirinya sendiri. Mungkin di sisi itu yang akan membuatnya menarik. Ketika buku-buku sampai di tangan pembaca, kekuasaan dan
kekuatan pikiran pembaca yang membingkai serta memaknainya.