Reranting menatap matahari tenggelam di Pulau Semau |
Biasanya,
saya melihat Pulau Semau, salah satu
pulau di Kepulauan Nusa Tenggara Timur ini dari jendela pesawat menuju Jakarta.
Pulau Semau juga, selalu saya tatap dari halaman kediaman kami bila saya
sedang berada di Kupang. Matahari terbenam
tepat di balik pulau Semau setiap hari.
Tentu, ini menjadi pemandangan alam yang menakjubkan pada senja hari.
Semburat cahaya dengan pendar-pendar warna di sini menjadi penghiburan liris menjelang malam
tiba. Pemandangan suasana khas Nusa
Tenggara adalah pemandangan langka bagi
saya yang sehari-hari berada di Bandung.
Matahari tenggelam di balik Pulau Semau. Memotret di halaman rumah. |
Sebenarnya,
beberapa kali saya mengajukan permohonan kepada suami untuk mengizinkan saya mengunjungi pulau ini.
Rupanya, ia masih berat hati. Alasannya sangat kuat, karena tak ada tranportasi
di Pulau Semau, infrastrukturnya masih buruk.
Tempat yang dihuni suku Helong ini masih terbelakang, Untuk mencapai pulau ini, dalam musim tertentu ombaknya cukup besar, dan
arusnya kuat. Beberapa perahu bahkan pernah tenggelam di perairan Semau.
Akhirnya,
hati suami saya luluh juga, ketika saya mengajukan kembali keinginan untuk
menjelajah tempat ini. Saya sangat maklum, suami saya bukan type penikmat alam. Namun kali ini ia berbeda. Ia mau mengikuti keinginan istrinya,
sekaligus menemani.
Sejak
malam hari, saya sudah menyiapkan makanan, karena suami saya mendapat informasi
bahwa di sana tak ada warung untuk kami makan. Saya tidak ingin merepotkan
siapa pun di sana nanti. Saya siapkan empat bungkus nasi, kue dan air
minum. Kami akan pergi berempat, bersama salah seorang
pegawai kantor suami berasal dari sana, Pak Paulus Pong dan keponakannya.
Pak Pong adalah seorang tuan tanah di Pulau Semau. Sementara posisi di kantor suami
sebagai pelayan. Namun di kampungnya, ia
orang yang sangat kaya raya untuk ukuran suku Helong. Hebat bukan? Dari
beliaulah seluruh informasi tentang pulau ini di dapatkan.
Pagi hari,
kami sudah berada di Pelabuhan Tenau. Beberapa perahu motor berjajar menunggu
penumpang menuju Pulau Semau. Kami Tidak segera naik ke perahu, karena harus menunggu
penumpang lain. Perahu motor menuju Pulau Semau selayak angkutan pedesaan, yang
menunggu penuh dulu sebelum berangkat. Lebih dari tiga puluh menit kami
menunggu, setelah itu kami naik dengan membawa serta dua
sepeda motor. Satu sepeda motor dikenakan biaya Rp. 40.000,00. Sedangkan ongkos per orang, Rp.
20.000,00. Lucunya, bila bawa satu
sepeda motor dengan dua orang penumpang dikenakan ongkos Rp. 40.000,00. Jadi
sepeda motor jadinya gratis.
Perahu
yang saya tumpangi lumayan bersih, biasanya di dalamnya turut serta
binatang-binatang ternak, dan lainnya. Saya satu perahu dengan Pendeta Martha yang akan memimpin kebaktian di Gereja
Imanuel, dan beberapa penumpang lain. Lautan begitu tenang. Burung-burung camar
nampak melayang-layang di udara. Yang terasa mengganggu hanyalah deru suara
perahu motor yang memekakan telinga.
Dermaga kecil di Pulau Semau. Perahu yang kutumpangi merapat di sini |
Akhirnya,
sekitar 50 menit kemudian, kami sampai
di dermaga Pulau Semau. Dermaga yang sangat sederhana. Motor-motor digotong satu
persatu ke atas. Sungguh mengenaskan
melihat awak kapal begitu susah payah mengangkatnya. Ini bukan pekerjaan yang
ringan. Saya pun turun dari perahu, dan
memandang sekeliling, yang ada hanya hutan ilalang yang gersang. Jalanan kecil terbuat dari tanah berbatu.
Kami menyusurinya. Saya merasa terlempar pada beberapa abad ke
belakang.
Sebuah rumah suku Helong di atas bukit yang gersang |
Rumah-rumah
sederhana suku Helong dilalu. Saya
menatapnya dengan takjub. Bagaimana bisa
mereka bertahan di Pulau yang seakan jauh dari peradaban ini? Semakin masuk ke pedalaman, yang ada hanyalah
gersang.
Hampir semua jalanan seperti ini |
Jalanan
berdebu dan panas memanggang, padahal ini masih jam 08-an pagi. Suami saya tak bisa melajukan motor
cepat-cepat. Semakin cepat laju motor, hanya membuat debu-debu jalanan tumpah
ruah ke udara. Sempat berpikir,
bagaimana suku Helong ini mencari rezeki. Ini pulau yang teramat tandus. Apa yang mereka makan?
Pantai Otan. Bersih dan sepi... |
Oh,
ternyata, di ujung pantai Otan, Pulau Semau, ada budi daya mutiara milik sebuah
perusahaan swasta, di sana sebagian penduduk bekerja. Sebagian lainnya, mereka
bekerja sebagai petani rumput laut. Yang lainnya, entah apa. Tetapi saya
melihat ada pohon asem tumbuh dengan baik, juga pohon mangga.
Pantai
Otan. Pantai yang sangat menawan. Lautnya biru bening. Pasirnya putih bersih, dan tiupan anginnya
bagai nyanyian. Area pantainya juga lumayan luas. Bisa bermain dan berenang
di sini dalam jarak tertentu. Sepi, lagi..
Danau Otan yang mungil |
Tak jauh
dari pantai Otan, ada danau kecil yang dihuni oleh empat ekor penyu dan
ikan-ikan semacam nila yang dikeramatkan.
Ini danau air asin yang terletak di dalam hutan. Jangan berpikir tentang
hutan belantara di Pulau Semau. Hutan di sini hanyalah ilalang dan pepohonan
yang kebanyakan telah lelah dibakar terik mentari kemarau yang panjang. Namun, ketika berada di danau Otan, suasana berubah menjadi sejuk.
Salah satu dari empat ekor penyu di Danau Otan |
Kami
diajak Pak Pong mengunjungi keluarganya.
Keluarganya amat ramah. Karena waktu itu sedang musim mangga, kami disuguhi
mangga yang sangat enak dan manis. Namanya mangga udang. Mungkin karena daging
mangganya berwarna kemerahan. Mangga udang menjadi salah satu ciri khas tanaman
di Pulau Semau. Saya tak pernah menemukan mangga seperti ini di Pulau Jawa.
"Pucuk jambu mete ini bisa dimakan." kataku ke dua perempuan Helong |
Saya tidak kesulitan berkomunikasi dengan suku
Helong, karena banyak yang sudah bicara dalam bahasa Indonesia. Gereja-gereja
juga mudah di temui, karena hampir seluruh penduduk di sini menganut ajaran
Kristiani. Hanya saja, adat jauh lebih
dijunjung tinggi. Suku Helong terkenal karena kepercayaan pada mistiknya yang
amat kental. Mereka masih mempercayai
dan menghormati arwah-arwah yang mungkin bagi orang seperti saya terasa
janggal dan tak masuk akal.
Ini bangunan yang terbagus di Pulau Semau, gereja... |
Tak heran,
sekalipun ajaran Kristiani memasuki kehidupan mereka, namun bukan berarti serta
merta meninggalkan keyakinan lama. Misalnya dalam pernikahan ; tak menikah di gereja juga sudah sah.
Pernikahan itu sangat simpel sekali, kedua orang tua bertemu dan diketahui oleh
kepala suku, selesai. Ada mahar yang dinamakan belis, semampu pihak lelaki.
Jika mereka berpisah, ya, tak apa-apa, katanya. Itu sudah menjadi resiko
kehidupan. Santai sekali. Karena itu,
menikah resmi bisa kapan-kapan saja, bahkan setelah memiliki beberapa anak.
Sisi lain Pulau Semau |
Tidak
banyak yang bisa saya telusuri dengan kunjungan waktu yang sangat pendek. Karena
siang hari ombak di lautan sangat besar, membuat Pak Pong tidak tenang. Ia
khawatir akan keselamatan kami semua. Kami harus segera pulang kembali ke
Kupang. Sebenarnya, saya masih asyik di sini. Apalagi, keluarga Pak Pong
mengajari saya bahasa Helong, Mereka
bilang, ‘Ibu, seandainya sebulan saja bersama kami, Ibu akan bisa berbicara
bahasa kami.’
Semoga suatu hari saya akan kembali, ke pulau kecil ini.