Rabu, 22 Januari 2014

Berpetualang di Pulau Semau, Nusa Tenggara Timur


Reranting menatap matahari tenggelam di Pulau Semau

Biasanya, saya melihat Pulau  Semau, salah satu pulau di Kepulauan Nusa Tenggara Timur ini dari jendela pesawat menuju Jakarta.   Pulau Semau juga,  selalu saya  tatap dari halaman kediaman kami bila saya sedang berada di Kupang.   Matahari  terbenam  tepat di balik pulau Semau setiap hari.  Tentu, ini menjadi pemandangan alam yang menakjubkan pada senja hari. Semburat cahaya dengan pendar-pendar warna di sini  menjadi penghiburan liris menjelang malam tiba.  Pemandangan suasana khas Nusa Tenggara adalah pemandangan langka  bagi saya yang sehari-hari berada di Bandung.


Matahari tenggelam di balik Pulau Semau. Memotret di halaman rumah.

Sebenarnya, beberapa kali saya mengajukan permohonan kepada suami  untuk mengizinkan saya mengunjungi pulau ini. Rupanya, ia masih berat hati. Alasannya sangat kuat, karena tak ada tranportasi di Pulau Semau, infrastrukturnya masih buruk.  Tempat   yang dihuni suku Helong ini masih terbelakang,  Untuk mencapai pulau ini,  dalam musim tertentu ombaknya cukup besar, dan arusnya kuat. Beberapa perahu bahkan pernah tenggelam di perairan Semau. 


Akhirnya, hati suami saya luluh juga, ketika saya mengajukan kembali keinginan untuk menjelajah tempat ini.  Saya  sangat maklum, suami saya bukan type  penikmat alam. Namun kali ini ia  berbeda. Ia mau mengikuti keinginan istrinya, sekaligus menemani.   


Sejak malam hari, saya sudah menyiapkan makanan, karena suami saya mendapat informasi bahwa di sana tak ada warung untuk kami makan. Saya tidak ingin merepotkan siapa pun di sana nanti.   Saya siapkan empat bungkus nasi, kue dan air minum. Kami akan pergi berempat, bersama  salah seorang  pegawai kantor suami berasal dari sana, Pak Paulus Pong dan keponakannya. Pak Pong adalah seorang tuan tanah di Pulau Semau. Sementara posisi di kantor suami  sebagai pelayan. Namun di kampungnya, ia orang yang sangat kaya raya untuk ukuran suku Helong. Hebat bukan? Dari beliaulah seluruh informasi tentang pulau ini di dapatkan.


Pagi hari, kami sudah berada di Pelabuhan Tenau.  Beberapa perahu motor berjajar menunggu penumpang  menuju Pulau Semau.  Kami Tidak segera  naik ke perahu, karena harus menunggu penumpang lain. Perahu motor menuju Pulau Semau selayak angkutan pedesaan, yang menunggu penuh dulu sebelum berangkat. Lebih dari tiga puluh menit kami menunggu, setelah itu kami naik dengan membawa serta   dua sepeda motor. Satu sepeda motor dikenakan biaya Rp. 40.000,00.  Sedangkan ongkos per orang, Rp. 20.000,00.   Lucunya, bila bawa satu sepeda motor dengan dua orang penumpang dikenakan ongkos Rp. 40.000,00. Jadi sepeda motor jadinya gratis.


Perahu yang saya tumpangi lumayan bersih, biasanya di dalamnya turut serta binatang-binatang ternak, dan lainnya. Saya satu perahu dengan Pendeta  Martha yang akan memimpin kebaktian di Gereja Imanuel, dan beberapa penumpang lain. Lautan begitu tenang. Burung-burung camar nampak melayang-layang di udara. Yang terasa mengganggu hanyalah deru suara perahu motor yang memekakan telinga.

Dermaga kecil di Pulau Semau. Perahu yang kutumpangi merapat di sini

Akhirnya, sekitar 50 menit kemudian,  kami sampai di dermaga Pulau Semau. Dermaga yang sangat sederhana. Motor-motor digotong satu persatu ke atas.  Sungguh mengenaskan melihat awak kapal begitu susah payah mengangkatnya. Ini bukan pekerjaan yang ringan.  Saya pun turun dari perahu, dan memandang sekeliling, yang ada hanya hutan ilalang yang gersang.  Jalanan kecil terbuat dari tanah berbatu. Kami  menyusurinya.  Saya merasa terlempar pada beberapa abad ke belakang.


Sebuah rumah suku Helong di atas bukit yang gersang

Rumah-rumah sederhana suku Helong dilalu.  Saya menatapnya dengan  takjub. Bagaimana bisa mereka bertahan di Pulau yang seakan jauh dari peradaban ini?  Semakin masuk ke pedalaman, yang ada hanyalah gersang.

Hampir semua jalanan seperti ini

Jalanan berdebu dan panas memanggang, padahal ini masih jam 08-an pagi.  Suami saya tak bisa melajukan motor cepat-cepat. Semakin cepat laju motor, hanya membuat debu-debu jalanan tumpah ruah ke udara.  Sempat berpikir, bagaimana suku Helong ini mencari rezeki. Ini pulau yang teramat tandus.  Apa yang mereka makan?


Pantai Otan. Bersih dan sepi...

Oh, ternyata, di ujung pantai Otan, Pulau Semau, ada budi daya mutiara milik sebuah perusahaan swasta, di sana sebagian penduduk bekerja. Sebagian lainnya, mereka bekerja sebagai petani rumput laut. Yang lainnya, entah apa. Tetapi saya melihat ada pohon asem tumbuh dengan baik, juga pohon mangga.


Pantai Otan. Pantai yang sangat menawan. Lautnya biru bening.  Pasirnya putih bersih, dan tiupan anginnya bagai nyanyian.  Area pantainya  juga lumayan luas. Bisa bermain dan berenang di sini dalam jarak tertentu. Sepi, lagi..


Danau Otan yang mungil

Tak jauh dari pantai Otan, ada danau kecil yang dihuni oleh empat ekor penyu dan ikan-ikan semacam nila yang dikeramatkan.  Ini danau air asin yang terletak di dalam hutan. Jangan berpikir tentang hutan belantara di Pulau Semau. Hutan di sini hanyalah ilalang dan pepohonan yang kebanyakan telah lelah dibakar terik mentari kemarau yang panjang. Namun,  ketika berada di danau Otan,  suasana berubah menjadi sejuk.


Salah satu dari empat ekor penyu di Danau Otan

Kami diajak Pak  Pong mengunjungi keluarganya. Keluarganya amat ramah. Karena waktu itu sedang musim mangga, kami disuguhi mangga yang sangat enak dan manis. Namanya mangga udang. Mungkin karena daging mangganya berwarna kemerahan. Mangga udang menjadi salah satu ciri khas tanaman di Pulau Semau. Saya tak pernah menemukan mangga seperti ini di Pulau Jawa.

"Pucuk jambu mete ini bisa dimakan." kataku ke dua perempuan Helong

Saya  tidak kesulitan berkomunikasi dengan suku Helong, karena banyak yang sudah bicara dalam bahasa Indonesia. Gereja-gereja juga mudah di temui, karena hampir seluruh penduduk di sini menganut ajaran Kristiani.  Hanya saja, adat jauh lebih dijunjung tinggi. Suku Helong terkenal karena kepercayaan pada mistiknya yang amat kental. Mereka masih mempercayai  dan menghormati arwah-arwah yang mungkin bagi orang seperti saya terasa janggal  dan tak masuk akal.

Ini bangunan yang terbagus di Pulau Semau, gereja...

Tak heran, sekalipun ajaran Kristiani memasuki kehidupan mereka, namun bukan berarti serta merta meninggalkan keyakinan lama. Misalnya dalam pernikahan ;  tak menikah di gereja juga sudah sah. Pernikahan itu sangat simpel sekali, kedua orang tua bertemu dan diketahui oleh kepala suku, selesai. Ada mahar yang dinamakan belis, semampu pihak lelaki. Jika mereka berpisah, ya, tak apa-apa, katanya. Itu sudah menjadi resiko kehidupan. Santai sekali.  Karena itu, menikah resmi bisa kapan-kapan saja, bahkan setelah memiliki beberapa anak.


Sisi lain Pulau Semau

Tidak banyak yang bisa saya telusuri dengan kunjungan waktu yang sangat pendek. Karena siang hari ombak di lautan sangat besar, membuat Pak Pong tidak tenang. Ia khawatir akan keselamatan kami semua. Kami harus segera pulang kembali ke Kupang. Sebenarnya, saya masih asyik di sini. Apalagi, keluarga Pak Pong mengajari saya bahasa Helong,  Mereka bilang, ‘Ibu, seandainya sebulan saja bersama kami, Ibu akan bisa berbicara bahasa kami.’ 

Dari jauh terlihat Pulau Timor...

Semoga  suatu hari saya akan kembali, ke  pulau kecil ini.




Selasa, 21 Januari 2014

Kisah Tentang Kopi



Kopi memang nikmat. Sekalipun saya bukan pecandunya. Saya mulai sedikit tergoda meminumnya ketika mulai sering menyetir mobil sendiri  ke luar kota, untuk menghilangkan kantuk.  Ternyata, sopir dan kopi memang pasangan serasi. Pantas saja jika sopir truk suka sekali duduk-duduk di warung kopi dalam jeda perjalanan ke tempat yang ingin mereka tuju. Sayangnya, saya sulit menikmati duduk-duduk di warung kopi, tentu karena saya seorang perempuan. Ini akan menjadi pemandangan yang terlihat aneh.  Dengan tidak bermaksud menaikan citra diri dan status sosial, demi keamanan dan etika ‘keperempuanan’ untuk menjaga diri, diperjalanan, saya  akan memilih minum kopi di tempat yang lebih nyaman dan aman.


credit image : http://www.fanpop.com


Saya pernah minum kopi Vietnam, yang dibawa oleh suami sebagai oleh-oleh dari Vietnam. Kopi Vietnam sangat enak. Sayangnya, lambung saya tidak kuat meminumnya. Beberapa teman yang pernah datang menyambangi rumah dan diajak minum kopi Vietnam, mereka mengatakan, kopi Vietnam adalah salah satu enak yang pernah mereka minum. Tentu karena mereka adalah pecandu-pecandu kopi.



Salah satu teman saya, Dimas Nur, pemilik sekolah film Bandung dan menggeluti bidang perfilm-an  sekaligus pecandu kopi level tinggi, mengatakan, “Mbak Erna, kalau menyeduh kopi agar cita rasanya keluar, pertama-tama seduh kopinya dulu, dengan air yang mendidih. Setelah itu, baru dikasih gula.  Tetapi, kopi mutu kopi yang bagus, tak lagi memerlukan gula  lagi, karena sudah enak. Contohnya, kopi Vietnam ini..” katanya sambil menyeruput kopi Vietnam. Saya mangut-mangut.

Warung kopi di Banda Aceh. credit image dari Google, lupa link-nya..



Setelah itu, saya mengenal kopi yang diproduksi pabrik kopi tertua di Bandung, kopi ‘Aroma’. Saya mulai mengenal jenis-jenis kopi. Wah..! ternyata ada kopi yang tahan melek.  Ini akan jadi jenis kopi yang saya hindari. Saya  akan ‘mengimani’  syair lagu Bang Haji, ‘Begadang jangan begadang..” Saya mengenal kopi Flores, ketika saya berbelanja di Kupang, Nusa Tenggara Timur.  Dan, kemudian, saya mengenal kopi-kopi lainnya, termasuk di dalamnya adalah kopi dari Aceh, waktu ke Banda Aceh, bulan Oktober 2013 yang lalu.  Ternyata, di Banda Aceh ada kopi dengan ramuan ganja.  Wah, pasti ini akan jadi sensasi tersendiri.  Saya sempat minum kopi di warung kopi di  Banda Aceh, hanya sekedar icip-icip saja. Takut tidak bisa tidur.



Pabrik Kopi Banaran yang asri

Dan yang terakhir kali saya nikmati adalah Kopi Banaran. Beberapa kali lewat pabrik yang berada  di antara kota  Semarang dan kota Yogyakarta. Baru kali ini berkesempatan menikmati kopi  di depan pabrik kopi.  Saya tertawa membaca  tentang, Siapakah Anda? Jika  anda minum kopi hitam, anda sedikit nakal.. hahahaha..!


Taman di belakang cafe Banaran


Ada suasana lain ketika minum kopi di Café Banaran. Di samping suasananya enak dan nyaman, karena ditelikung oleh taman-taman yang asri dan café yang rapi  dan bersih. Bagi saya, ada sensasi lainnya, minum kopi dengan wewangian  kopi yang di bawa oleh angin semilir yang menyeruak  ke seluruh ruangan.  Ini menjadi bagian dari minum kopi yang paling mengesankan.



Tetapi, apa pun kisah di balik kopi, di sana ada aroma kehidupan yang jalin menjalin hingga kopi itu diseduh dan ada dihadapan kita. Mungkin tangan-tangan lincah pemetik kopi,mungkin dengan raut bahagia atau juga derita.  Mungkin  di sana ada  irama jiwa buruh-buruh pabrik kopi yang kelelahan, yang tak lagi sanggup berdemo untuk menyuarakan hatinya. Mereka memilih, mengikuti saja hari-hari yang digulirkan, entah di mana tepinya.




Ah, mungkin saya terlalu mendalam hanya untuk meminum secangkir kopi di Café Banaran, dan sepiring gado-gado  dengan gepuk sapi yang sangat nikmat.  Saya segera menghentikan  berpikir filosofis soal secangkir kopi.  Saya ingin menikmati tetes demi tetes, sambil  memagut kebersamaan mengelilingi meja, bersama suami dan anakku.  Terkadang, kami saling berpandangan dan melempar senyum.  Kali ini, saya akan membiarkan kopi menerjemahkan perasaan kami…..






Sisi Gelap dan Perkosaan Sitok Srengenge






Ini pertama kalinya saya menulis tentang perkosaan. Saya hampir selalu menghindari membaca maupun mendengar berita perkosaan, terlalu perih membayangkannya.Sebagai perempuan, saya tahu, bagaimana rasanya mendapat pelecehan. Bukankah perempuan selalu tertafsir sebagai ‘the second sex’. Perkosaan bagaimana pun akan menjadi perjalanan luka, trauma dan derita sang korban, di sepanjang hayat. Dan, mereka adalah perempuan. Sama seperti saya. Saya selalu memposisikan diri, seandainya korban itu adalah saya, adik, anak, ibu, keponakan atau anak-anak sahabat saya yang menjadi korban. Perkosaan adalah kejahatan besar, yang sangat menghinakan ras manusia. Sangat biadab..



Dalam banyak kasus, sebenarnya, perkosaan itu jarang yang terungkap. Bagaimana pun secara psikologis, perempuan menanggung rasa malu yang luar biasa ketika diketahui bahwa dirinya sudah bukan perawan lagi. Ia merasa dirinya cacat. Karena itu, dalam banyak kasus ketika mereka sadar diri tidak ‘suci’ lagi, mereka menjadi tertutup dan mengurung diri. Dalam beberapa kasus lainnya mereka menjadi pelacur, karena ‘kadung basah’. Perempuan yang telah diperkosa sudah tak dapat ‘gagah’ lagi menatap dunia. Perempuan yang telah diperkosa merasa orang yang sangat hina. Karena itu, saya dapat membayangkan, bagaimana seorang RW diam membungkam berbulan-bulan untuk mengumpulkan kekuatan perasaan. Terkuak kasusnya ke luar pun sudah menjadi hukuman sosial yang kedua kalinya setelah perkosaan itu sendiri. Ini tidak mudah dihadapi.



Saya bukan lelaki. Saya tidak mengerti bagaimana perasaan Sitok ketika menggauli RW yang diakui oleh Sitok, suka sama suka, sekali pun RW menyangkalnya. Hanya, saya membayangkan, bagaimana putrinya jika diperlakukan seperti RW? Apa yang Sitok rasakan ? Untuk seorang budayawan yang menyandang nama besar, bagaimana bisa melacurkan moralnya sendiri.



Saya membaca tulisan-tulisan Sitok. Ia memang pantas mendapatkan predikat sebagai penyair besar, bahkan budayawan. Sekalipun pada akhirnya Sitok harus menjalani episode hidup yang jauh dari berbudaya secara moral. Mungkin di sana Sitok harus mendapat pelajaran yang besar dalam hidupnya. Selama ini, ia menikmati banyak penghargaan dan rasa silau dari banyak orang. Ia harus menjalani, bagaimana merasakan jatuh dan dihujat banyak orang dengan tindakannya yang memalukan. Ini sangat jauh dari tulisan-tulisannya yang mengalirkan jiwa yang hangat dan lembut.



Sisi Gelap Manusia

Pada dasarnya, semua manusia memiliki sisi gelap. Bukan hanya Sitok, tetapi kita juga. Apa yang terlihat, bungkus-bungkus keshalehan seringkali hanya untuk menyamarkan sisi gelap yang lainnya. Tidak ada satu pun manusia yang lepas dari sisi gelap, apakah ia kyai, pendeta, pastor atau bhikku. Artinya, semua manusia itu berwajah loreng. Kuncinya, semua ada pada pengendalian diri, dan membimbing sisi gelap dirinya agar tidak liar.  Siapa yang kuasa melawan keindahan dan kenikmatan dunia di depan mata? Orang yang biasa menuruti kata hati dan perasaan-perasaannya, ia akan menderita. Bagaimana pun daya nalar tetap penting untuk memperhitungkan akibat dari tindakan. Pada kenyataannya, bukan hanya Sitok yang menanggung malu akibat perbuatannya, tetapi juga istri dan anaknya, dan tentunya keluarganya. Sitok telah menggali jurang kehidupannya sendiri, dan menelusuri lorong kelam, yang disusurinya sendiri.



Hasrat seksual adalah kehendak buta dan membutakan. Sitok hanya salah satu kasus dari banyak kasus, bagaimana manusia demikian tak berdaya ketika dihadapkan pada kenikmatan seks. Dengan tidak bermaksud untuk menyamaratakan para sastrawan dan pekerja seni lainnya, jatuh cinta berulang-ulang serta berpetualang dalam cinta, seakan telah menjadi kecurigaan yang dilekatkan kepada mereka. Saya teringat kalimat seorang teman yang mengatakan, “Sastrawan yang hebat itu adalah orang yang dapat memunculkan sisi liar dalam dirinya. Dengan demikian, tulisannya akan lebih ‘bernyawa’.” Belajar dari sejarah, ternyata para penulis yang meledak-ledakkan gairah nafsu keduniawian dikenang hanya dengan sedikit rasa hormat, selebihnya yang terbayang hanya sensasi dalam hidupnya saja.



Mungkin, suatu hari, Sitok Srengenge akan berubah. Seorang satrawan mesti ia memiliki perasaan yang halus. Untuk menjadi rendah hati, mawas diri memang butuh bab pelajaran terjatuh dan terjerembab. Dalam kisah Abu Nawas, dulu, konon ia pun pencinta maksiat, lalu sampai pada suatu titik ketika ia masuk penjara membuatnyatersadar pada kesementaraan dunia. Setelah itu, Abu Nawas mendekat pada Tuhannya. Terjatuh seperti dialami sang budayawan besar ini pasti menyakitkan. Jangankan  RW dan keluarganya serta keluarga Sitok, saya pun merasa ngilu dan  begitu sakit membacanya.

Hujan dan Batas Kesenyapan





Beberapa waktu terakhir ini, aku  menempuh banyak perjalanan. Perjalanan di musim hujan. Mungkin ini bukan waktunya menikmati alam dengan nyaman. Tetapi, aku  dapat menikmati semuanya, kabutnya, dinginnya, hujannya.  Bukankah kita dapat menikmati dan melihat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda?




Menyusuri hujan bagiku tak ubahnya bagai menyusuri siklus kehidupan. Aku merasakan derap tetes-tetes air yang menciprat membasah, membilas bumi seperti menelusuri basah itu sendiri. Apakah memang basah harus selalu diseka? Ketika hujan menyusup ke pori-pori bumi, timpas sudah gersang menjadi nyanyian kehidupan. Seolah hidup baru saja dimulai.


Mungkin, hujan terlalu dingin untuk dinikmati. Tetapi, aku menyukainya. Aku menyukai segala sesuatu yang terjadi di semesta. Pada hujan, aku dapat memandang dunia dengan kacamata yang jauh lebih sederhana. Orang-orang menjadi lebih suka berdiam tanpa banyak berkata-kata. Orang menjadi lebih menyukai menelusuri batas-batas kesenyapan, berdiang di bawah nyala api, atau cahaya lampu. Entahlah, terserah mereka akan melenguh untuk mengutuki cuaca, ataukah akan menyusun rencana-rencana ketika hujan telah reda.  Tetapi, hey...! bukankah hujan telah meredakan banyak rencana?  Baguslah, ada hujan. Bagiku, aku begitu repot dengan penyusunan rencana. Aku ingin menjalani hidup, selayak  siklus cuaca.




Tahukah engkau? Aku tidak begitu menyukai banyak rencana. Bagiku, kehidupan ini sederhana saja adanya. Aku ingin menjalaninya, seperti halnya saat aku menembus kabut, ketika hujan, aku menikmati misterinya. Bagiku, gelap dan terang menjadi sesuatu yang niscaya.  Bagaimana mungkin, aku, hamba Tuhan yang lemah dapat mengendalikan jejaring semesta, termasuk cuaca, seperti yang aku inginkan. Biarkan saja, demikian adanya. Aku merasa, Tuhan tidak mengajariku banyak mengendalikan keadaan, tetapi, menyusuri setiap siklus kehidupan yang ada, bergerak dan terus bergerak menjelajahinya sekuat kedigjayaan kekuatan manusiawi. Setelah itu, aku diminta merunduk dan bersujud dalam kerendahatian.



Pada hujan, aku menelusuri batas kesenyapan dan menikmati misteri dalam kabut tanpa banyak ingin memikirkannya.  




Aku hanya ingin memandang segala sesuatu yang terjadi, tanpa banyak kata-kata. Seperti pada hujan, aku nikmati  dan resapi dinginnya, derasnya, tetes-tetesnya, anginnya, kabutnya. Segala siklus cuaca yang terjadi, bagaimana jika kita nikmati saja. Karena aku tahu,  melawan musim, juga cuaca adalah sia-sia.  Tetapi, aku memiliki hati yang dapat mengubah segala suasana menjadi gembira.



Selamat datang musim hujan..aku menikmatinya..


___
Bandung, 21 Januari 2014
Catatan : Seluruh foto yang diunggah di atas adalah dokumen pribadi. 







Kamis, 09 Januari 2014

Seperti Pertemuan yang Terakhir



Lelaki setengah baya itu meraung-raung menangis ketika istrinya tengah sekarat. Tak ada yang dilakukannya, kecuali menangis lebih keras lagi. Ini pertama kalinya saya melihat seorang lelaki demikian ekspresif ketika dilanda kesedihan yang teramat dalam. Ia merasa menyesal tidak memberi yang terbaik kepada istrinya selagi mereka bersama.  Satu per satu para tetangga berdatangan, berdzikir dan membaca Qur’an di rumah itu. Perempuan yang tengah menanti ajalnya  terbaring lemah dengan tubuh selayak tulang dibungkus kulit. Ia menderita kanker semenjak setahun lalu.  Penyebaran kanker itu demikian cepat menggerogoti tubuhnya. Para perempuan yang kadang menggunjingkan keburukannya, tiba-tiba bercerita tentang yang baik-baik saja tentangnya. Orang yang sempat memusuhinya menjadi sangat lembut. Beberapa di antaranya meraih tangannya dan meminta maaf.  Saya tahu, mereka orang termasuk yang  getol membincang kekurangannya.  Saya terpana melihat ke sekeliling. Tak percaya. Ternyata semua orang sesungguhnya berhati bening, hanya ego saja yang seringkali membuat mereka demikian angkuh. Sang nafsu yang membuat mereka menjadi tinggi hati, dan merasa benar sendiri.



Ketika manusia  sehat dan kuat, memiliki kedudukan dan harta yang banyak, seringkali terjebak seolah dunia ada di dalam genggamannya. Kesewenang-wenangan  seorang atasan bukan karena jiwa murninya berkehendak melakukan tindakan tersebut. Ia hanya sedang khilaf, bahwa jabatan itu hanya sesuatu yang melekat.  Ia masih saru membedakan dirinya dengan jabatan.  Seorang yang marah karena orang lain melakukan kesalahan yang tidak membuatnya berkenan, sesungguhnya ia sedang marah pada dirinya sendiri. Ada sisi lemah di dalam dirinya yang tersulut untuk menjadi marah.  Energi baik  di dalam dirinya, yakni   memaklumi dan keinginan membimbing  dengan sabar,  dilampaui oleh energi  kemarahan yang lebih cepat datangnya.



Waktu Begitu Cepat Berlalu

Betapa banyak  perempuan-perempuan yang begitu ketakutan menjadi tua, karena akan kehilangan daya tarik. Klinik-klinik kecantikan dipenuhi oleh ibu-ibu yang menjelang paruh baya. Pabrik kosmetik, salon dan klinik-klinik kecantikan tahu bagaimana caranya mempermainkan pikiran perempuan-perempuan yang panik.  Para lelaki  paruh baya mulai ketakutan pada masa depannya, ketika mereka menyadari diri usia pensiun tak lama lagi, ia mulai gelisah,  tentang penghormatan orang ke depan  dan ia tidak siap ketika menjadi bukan siapa-siapa, juga, bagaimana cara menghidupi keluarga.  Di masa-masa ini, waktu seakan kalender yang terlipat, yang tak sempat memertanyakan apa yang telah diperbuat, dan jejak apa yang telah ditinggalkan. Waktu hidup seakan menguap. Begitu cepat berlalu dan begitu lekas  kehadiran masa tua itu.


Seringkali kita berada di tempat yang sama, dan menyambangi beberapa tempat di masa lalu, misalnya kampus. Gedungnya masih berdiri di situ, tetapi sudah tak ada yang mengenali kita.  Kita menjadi orang yang begitu tua di antara anak-anak muda.  Seganteng apa pun di masa lalu, di mana daya pikat kita begitu kuat. Sekarang, mahasiswi-mahasiswi yang kurang menarik  di sana  jangankan untuk dinikahi, sekedar digoda pun  mereka akan mecibir untuk mengatakan, lelaki tua yang tidak tahu diri.  Ketika berkumpul reuni, semua wajah telah berubah keriput, kepala menjadi botak, perut gendut.  Bahkan  ketika kita bertanya tentang seseorang, ternyata dia sudah almarhum.  Tiga puluh, empat puluh tahun  yang lalu itu ternyata demikian singkat. Hidup itu ternyata hanya sesaat.


Seandainya dunia ini di ibaratkan panggung. Semua manusia memiliki naskahnya sendiri-sendiri. Pertunjukkan ini silih berganti, dari sejak nabi Adam hingga saat ini. Masing-masing masa memiliki lawan mainnya sendiri-sendiri dengan latar warna peradaban yang berganti-ganti. Namun panggungnya tetap dunia.  Dari atas sana, Tuhan menyaksikan dengan jeli setiap permainan ini, dan memberi applaus  untuk setiap  peran yang paling yang paling mewakili diri-Nya sebagai bayang-bayang di muka bumi.  Barangkali kurang bijaksana bila kita mengatur dan menghina orang-orang  atas alur naskah drama yang diperankannya. Bukankah kita sama-sama aktor di dunia, dan ingin menjadi artis pujaan-Nya?  Bukankah semua orang, sekalipun hidupnya hancur-hancuran, dengan tingkah laku yang paling menyebalka,  selalu ingin dipandang baik?  Mengapa manusia tidak saling menyemangati saja untuk  berbuat baik.?   Di panggung ini, boleh jadi  layar kita akan segera ditutup.


Ketika anak-anak masih bayi, waktu bergerak terasa begitu lambat. Namun ketika anak-anak sudah mulai sekolah, waktu menjadi begitu cepat. Ketika anak-anak  satu persatu meninggalkan rumah, betapa banyak yang disesali, tak sempat mendidik dan memberi perhatian yang lebih daripada ini.  Mengapa kita tak bisa mengendalikan diri dari membentak mereka,  ketika mereka melakukan kesalahan yang tak mereka mengerti?  Mengapa kita tidak lebih  bersabar lagi  kala  mendidik mereka?  Mengapa tidak  memberikan waktu yang lebih banyak lagi kepada mereka, lebih banyak  mencium, memeluknya, dan mengajak mereka bermain lebih panjang, menikmati saat-saat bahagia kala bersama?  Demikian pula kepada pasangan hidup kita, ketika kehilangan rasa tertarik, dan rasa cinta sudah tiada, mengapa tidak  mengikatkan diri dengan saling menjaga kepercayaan dan komitmen?  Mengapa tidak saling bersabar, saling melayani dan ingin memberi yang terbaik?  Alangkah cepatnya waktu berlalu. Alangkah cepatnya pudar pesona.  Alangkah sulitnya kebaikan itu bertahan.


Ketika kita  bersahabat, mengapa kita tidak  belajar memaksimalkan memberi kebaikan ? Lalu kita tepiskan semua prasangka dan kesalahpahaman.  Lebih banyak mengingat kebaikan dan perhatiannya, sekecil apa pun. Mungkin ketika bayangan sahabat-sahabat kita menyelinap di pikiran, mereka akan  mengalirkan aliran gurat kebahagiaan di wajah kita.  Kesalahannya untuk dimaafkan. Kekurangannya menjadi seni hidup, dan kebaikannya menjadi hadiah kehidupan.


Ketika kita bersama, bagaimana jika kita nikmati yang bening-bening dan yang indahnya saja di antara kita? Dan kita belajar  menahan diri agar tidak saling menyakiti, saling menghakimi serta mau menang sendiri.  Perlakukan semua orang, bagai pertemuan yang terakhir, agar  mengurangi hal-hal yang akan disesali nanti.


Mari kita  belajar  tersenyum lebih  lembut lagi pada sesama dan juga pada kehidupan.

_______
Catatan : 
credit image : http://10.dtiblog.com/c/callio/file/goodbye.jpg