Minggu, 09 Februari 2014

Suatu Pagi di Padang Ilalang



Seandainya, ketika berjalan di padang ilalang ditemani  syair lagu Ebiet G. Ade, maka syair itu bagiku terlalu galau, “Biar kutembus padang ilalang..tak perlu kau berlari mengejar mimpi yang tak pasti, hari ini juga mimpi, maka biarkan ia datang dihatimu…dihatimu…”  Di padang ini, aku tak bermimpi. Karena, aku baru saja bangun tidur dan shalat subuh, lalu pamit kepada suamiku yang tidur lagi setelah shalat, mau pergi ke padang ilalang di tidak terlalu jauh dari  tempat tinggal kami di Kupang.


Aku segera melarikan  mobil. Kupang yang sepi. Di hari Minggu Kupang memang sepi, karena orang-orang sebagian besar bersiap kebaktian di gereja.  Kalau tidak, mereka sedang bersiap-siap ke gereja. Dan toko-toko umumnya tutup. Baru nanti sore mereka akan buka kembali.


Asli ini di Kupang, walau mobilnya plat Jakarta, he..he..he..
Hujan tadi malam masih menyisakan embun.  Aku segera memarkirkan mobil di tepi jalan. Berjalan sendiri di tengah padang ilalang pasti akan terasa ganjil. Untunglah, di Kupang kulihat terlalu banyak orang yang berjalan sendirian. Jadi  kalau aku berjalan sendirian ke mana pun di sini, bukan pemandangan yang aneh, karena Kupang aman. Orang-orang Timor pada umumnya ramah dan berhati lembut.


Melihat padang ilalang dari balik reranting

Pagi yang indah. Ceracau burung kecil di tengah padang seakan menemaniku. Apa yang lebih mewah bagiku selain kenikmatan memandang alam ini?  Aku hidup di kota besar di antara Jakarta dan Bandung, sulit bagiku menikmati wisata belanja dan berkelindan di antara mall dan cafĂ©.  Dan, inilah mall yang sesungguhnya bagiku. Mata lepas memandang, melihat perdu-perdu, pepohonan dan rerumputan juga serangga-serangga yang lucu. 


Aku segera menuruni lembah, lalu kembali melajukan mobilku, lalu berhenti tatkala aku melihat sosok yang lucu di hadapanku. Seorang kakek  rambutnya di cat merah bermain di depan rumahnya, rumah adat Timor. Anjing menggong-gong hampir meruntuhkan kepercayaan diriku. Untunglah lelaki yang tidak bisa  berbahasa Indonesia ini menenangkan peliharaannya.

 
Gaya juga, ya..si Kakek ini...:)

Aku terus berjalan, sampai menemukan hutan.

 
Hutan yang ganteng, he..he..he
Tidak jauh dari sini, aku melihat monyet beriringan.


Lucu, yaa..:)
Sepertinya, dia dan aku sama, deh..sama-sama belum mandi.  Sudah, ah..pulang dulu, cukup sampai di sini  dulu jelajah paginya.  Aku mau menyiapkan sarapan dan teh panas untuk suamiku.


Jumat, 07 Februari 2014

Aku Ingin Bercerita Tentang Pulau Kera


Sisi lain Pulau Kera
Aku telah lama mendengar tentang Pulau Kera, semenjak suamiku bertugas di Nusa Tenggara Timur semenjak tiga tahun yang lalu.  Yang terbayang olehku sebelumnya, di sana banyak binatang sejenis kera.  Pada saat ada kesempatan pergi ke Pulau Kera,  aku tak ingin menyia-nyiakannya. Dalam pikiranku yang  terbayang  keukeuh  banyak kera.


Langit begitu cerah.  Aku  membawa serta  ayahku dan adikku, Rini. Agak khawatir juga membawa ayah yang sudah sepuh  menaiki perahu. Wajahnya terlihat tegang dan pucat. Demikian pula suamiku. Ia memang agak nervous dengan laut, karena tidak bisa berenang.  Syukurlah ada baju pelampung, ini sedikit meredakan ketakutan mereka. Apalagi, ini perjalanan dengan waktu tempuh yang tidak sebentar, sekitar satu jam-an.  Semoga tak terjadi apa-apa.


Perahu sewaan yang membawa kami dari Namosain berayun-ayun. Terkadang serasa akan terbalik. Ayahku, suamiku dan adikku berjongkok dan berpegang erat-erat. Nampak mereka begitu tegang. Mungkin, aku lebih tenang dibanding mereka. Entahlah, aku bahkan sempat memotret suasana semuanya.  Aku menyukai alam. Kuikuti seluruh gerakan dan tariannya. Begitu pun dengan tarian ombak. Bagiku ini nyanyian alam.
 
Pulau Kera sudah terlihat di depan mata

Di tengah laut, kami berganti tumpangan memakai kapal pukat. Dan ketegangan semakin menggila. Yang membuat aku takut, bukan menakutkan diriku sendiri. Tetapi, ayahku, suamiku dan adikku. Ombak pun besar. Kapal berayun-ayun tak  menentu. Gelombang laut naik turun  membuat  mereka duduk terdiam menghayati ketakutan. Sementara, aku berjalan-jalan ke mana pun yang aku suka. Aku melihat burung-burung camar dan juga rajawali. Ini sangat indah. Aku menaiki geladak kapal bagian atas, dan duduk dengan tenang. Wah! Aku melihat pemandangan indah daratan Pulau Timor dan juga Pulau Semau. Sampai akhirnya, suamiku memiliki keberanian untuk mengikutiku.


Tidakkah engkau bisa bercanda dengan ombak, suamiku…?  Ini  indah…”


Lautnya jernih dan bening, pasirnya putih.

Dari kejauhan nampak Pulau Kera. Sungguh aku takjub melihatnya. Pulau Kera ternyata sebuah  pulau mungil, pasirnya putih menyilaukan mata. Di sana ada penghuninya,  suku  Bajo.  Penduduk Pulau Kera tak lebih dari 300 orang. Semua  penduduknya bekerja menjadi nelayan. Mereka adalah nelayan-nelayan yang tangguh. Mereka penakluk gelombang. Aku melihat anak-anak yang masih sangat kecil sudah diajarkan ayahnya berenang di laut.

Horor yaa...

Perempuan-perempuan Bajo juga adalah perempuan yang hebat.  Mereka membantu suaminya  dan pantang bagi mereka berleha-leha.  Dan masyarakat Bajo juga adalah masyarakat yang religius. Ketika aku  memasuki mesjid yang sangat sederhana, pas adzan dzuhur  tiba, anak-anak, lelaki dan perempuan shalat berjama’ah bersama.

Trenyuh melihat kondisi sekolah anak-anak Pulau Kera..

Ada sekolah yang sangat sederhana., hanya ada 3 ruang kelas. Entah siapa yang mengajar. Setahuku, masyarakat di sini tak memiliki KTP, entahlah bagaimana pemerintah NTT bisa memperlakukan mereka seperti itu.

Rumah suku Bajo, ini sangat manis...
Tak ada yang bisa ditanami apa pun di Pulau Kera, kecuali kelapa. Pulau ini seluruhnya hanya pasir dan pasir serta tanaman-tanaman khas pantai. Untuk mencukupi kebutuhannya, masyarakat Pulau Kera berbelanja di pasar Oeba sambil menjual ikan-ikan yang mereka tangkap. Konon tidak sulit menangkap ikan di sekitar Pulau Kera.  Aku  percaya.  NTT lautnya luas, dan nelayan pun tidak sebanyak di Pulau Jawa. Pasti tangkapannya akan banyak.


Aku  berjalan menyusuri  Pulau Kera.  Sampai aku akhirnya menggugurkan bayanganku sendiri. Tak ada kera di sini. Yang ada adalah Pulau Kera  dengan pasir putih yang menghampar  indah.

Kamis, 06 Februari 2014

Aku, Pulau Sumba dan Anak-Anak


 
Aku dan suamiku

Rencana Tuhan seperti apa yang diberikan Tuhan padaku? Atau bahkan sebenarnya aku sendiri yang merancang hidupku? Sungguh ini teka-teki hidup yang tak pernah aku ingin pertanyakan dan  aku tak ingin menjelajah sebuah misteri besar tentang masa depan.  Tetapi, kenyataannya, aku saat ini telah berada di Pulau Sumba. Bagiku, Sumba bukan cerita tentang masa depan. Aku terlempar jauh pada abad-abad terbelakang.


Jauh, sebelum pesawat mendarat dalam penerbangan dari Kupang, suamiku  menunjukkan sesuatu padaku di atas langit setelah pesawat kecil yang kami tumpangi hampir mendekat  Sumba. “Itu padang-pada savanna..”  Aku tersentak. Aku membayangkan di sana ada kambing, sapi dan kuda bergerombol meikmati rumput dan desau angin yang menyentuh reranting serta dedaunan. Atau mungkin derak-derak bebatang pohon kecil  yang melenguh dipaksa menari sang bayu. Entahlah. Aku selalu merindukan kedamaian-kedamaian yang bersahaja itu.


“Jenis pesawat seperti ini kalau mendarat akan  terasa menakutkan untuk Mama..” ujar suamiku  sedikit menakuti. Aku paham, suamiku sempat menjadi seorang aircraft engineer  selama  belasan tahun, ia sangat hafal dengan berbagai tipe jenis pesawat dan karakter masing-masing. Aku sudah bersiap-siap dengan memegang tangan suamiku erat-erat, untuk menenangkan perasaanku.  Benar saja,  pesawat ini mendarat dengan cara yang membuat aku dag dig dug. Suamiku tertawa kecil  demi melihat kegugupanku.


Bandara Tambolaka. Ya, dari sini petualangan akan dimulai.  Begitu keluar dari Bandara yang mungil ini, hawa eksotis sudah mulai terasa. Rumah-rumah sederhana penduduk di antara pohon-pohon jambu mete. Jambu mete adalah buah lokal yang menjadi andalan penduduk pulau ini. Sayangnya, tanah –tanah pertanian di Sumba banyak yang terlantar. 


Dari balik jendela mobil yang menjemput kami, aku melihat lelaki di sini semuanya menyisipkan golok di pinggangnya. Pemandangan yang membuatku takut. Dan, di Sumba,  kematian dan kehidupan seolah tak berjarak, karena semua penduduk di sini menguburkan anggota keluarganya di halaman rumah.

Anak-anak suku Kodi

Ketika mobil semakin masuk ke pedalaman, hawa kesedihan semakin menusuk perasaan. Aku tak tahan melihat anak-anak kecil telanjang, kudisan, kurus dan nyaris tak terurus. Mereka berlari-lari di halaman rumah-rumah yang sederhana. Tak ada sekat yang berarti untuk melindungi diri dari panas dan hujan. Anak-anak itu cukup mengaduk-aduk perasaan. Para orang tua nampak banyak yang duduk-duduk berleha-leha, tak banyak yang dikerjakan. Entahlah, atau karena aku datang ke sana setelah mereka pulang berladang? Mereka hidup begitu sederhana, jauh dari kelayakan. Teman suamiku mengingatkan,
“Jangan-jangan kitalah yang harus menyedihkan diri sendiri, karena terlalu banyak dijajah oleh keinginan. Mungkin mereka jauh lebih bahagia dibanding kita.”

Pemandangan seperti ini amat lazim di Sumba

 Yang paling mengasyikanku tatkala melihat anak-anak kecil sudah pandai menunggang kuda, dan juga aku melihat di Sumba, seolah peradaban baru saja dimulai. Sekalipun golok-golok ada di pinggang mereka, mereka begitu ramah. Mereka masyarakat yang berhati lembut.

Suku Kodi yang sedang duduk-duduk di depan rumahnya

Aku  cepat akrab dengan anak-anak. Di mana-mana, anak-anak mengelilingiku.  Mereka anak-anak yang lucu, walaupun aku agak tak tahan dengan tubuhnya yang bau karena jarang mandi. Tetapi tawanya itu sudah membuatku melupakan bahwa mereka bau.   Begitu banyak anak-anak kecil di sini, di Kodi Utara. Konon menurut sopir yang sekaligus menjadi guide kami, anak-anak itu bisa dari satu bapak. Karena di Sumba, orang poligami sudah biasa. Bahkan ada yang istrinya sampai 12 orang. Tetapi, mahar untuk perempuan di sini sangat mahal sekali, bisa sampai 100 ekor hewan, antara lain kuda, babi dan sapi. Tergantung kemampuan menawar juga, sih. Tetapi perlahan-lahan adat yang memberatkan ini sudah mulai ditinggalkan.


O’ya..sebagian penduduk Sumba beragama Marapu. Sekalipun agama Kristen sudah masuk dan banyak orang Sumba masuk Kristen, tetapi bukan berarti budayanya ditinggalkan. Budaya bahkan lebih kuat dibanding dengan agama itu sendiri. Karena itu kuburan-kuburan itu masih mengadopsi kuburan adat seperti bangunan  zaman megalitikum, namun sekarang  bangunan makam itu bukan dari batu, melainkan sudah di semen.


Sebuah muara sungai di Kodi Utara

Aku sempat pergi ke makam raja di Kodi Utara, di pinggir pantai yang sangat indah. Sumba memang indah. Sangat indah. Tetapi, berbanding terbalik dengan kehidupan masyarakatnya.

Anak-anak bermain di dekat perkampungan mereka

Aku sempat berkeliling di perkampungan suku Loli dan suku Kodi. Kedua suku ini memiliki kemiripan  budaya. Tetapi, konon bahasa mereka sedikit berbeda.

  
Untuk memasuki perkampungan ini, kita harus mengisi buku tamu, dan memberikan uang  yang ditentukan. Ketika aku dan suamiku ke sana, kami membayarnya Rp. 50.000,00. O’ya di sini juga terkenal dengan kain tenun. Tenun Sumba.  Harganya variatif, mulai dari puluhan ribu hingga jutaan. Dan, kita pun harus pandai menawar. Menawar adalah pekerjaan yang paling tidak aku sukai, walaupun harus melakukan itu. Menawar harga bagiku teramat melelahkan, terutama jika yang dihadapi adalah pedagang  kecil  seperti di Sumba. Antara kasihan dan tidak membutuhkan barang tersebut, sungguh mengaduk-aduk perasaanku. Dan membeli karena kasihan ternyata tidaklah sehat. Sama seperti membeli barang yang tidak dibutuhkan, adalah pemubaziran. Tetapi, bagaimana jika tidak membeli, tak ada simpati sama sekali terhadap kehidupan mereka? Sebuah pilihan yang membingungkan. Akhirnya, kuputuskan saja membeli, untuk membeli  harapan pada masa depan mereka.

Aku dan anak-anak suku Loli, lucu-lucu, yaa..:)

Ketika esoknya  aku kembali untuk  terbang menuju  Denpasar, Bali. Bayangan anak-anak Sumba begitu menghentak-hentak jiwa, dan melukai seluruh perasaanku. Sementara aku tak sanggup berbuat apa-apa.


Pasti ini seru dan menyenangkan...:)







Minggu, 02 Februari 2014

Wisata di Sekeliling Kediamanku



Padang rumput di Tenau, Kupang, Nusa Tenggara Timur

Jika saya sedang berada di  kediaman kami di Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang ada setiap hari adalah wisata alam. Bagaimana tidak, tempat yang kami tinggali terletak di atas bukit bersisian dengan padang rumput, di mana sapi, babi dan kambing biasa berkeliaran dan merumput. Burung-burung beterbangan di halaman rumah yang menghadap ke laut Timor. Terkadang, saya melihat migrasi kupu-kupu, juga mendengar suara jangkrik yang terdengar merdu.  Banyak "tamu" ke dalam rumah di samping lalat, jika jendela terbuka, yaitu belalang sembah, jangkring, lipan sampai kaki seribu. Di rumah juga ada tokek yang  suaranya lucu di telinga saya. Karenanya, rumah harus selalu bersih dan tertutup celah-celahnya, agar "para tamu" ini tidak rajin menyambangi.

Senja dari halaman rumah
Ketika tirai tersibak, jendela terbuka, saya melihat langit luas yang tak berbatas. Saya menikmati seluruh keindahannya, juga bulan serta bintang gemintang di malam hari.  Perahu nelayan dan kapal-kapal laut melintas dengan kerlip cahaya di malam hari, atau beriringan di siang hari. Saya melihat kehidupan sederhana  dengan kegembiraan, dan juga pengharapan di sini.

Rindang dedaunannya cantik, ya...

Tidak jauh dari kediaman kami  ada Gua Kera. Di sini kera-kera bebas berkeliaran. Kera-kera yang jinak dan lucu. Di bawah  Gua kera ada laut yang sangat jernih.  Saya biasa melihat ikan-ikan berenang dengan mata telanjang. Bahkan di Pelabuhan Tenau sekalipun, laut lumayan jernih. Tidak sulit melihat ikan-ikan berenang beriringan membentuk koloni-koloni.

Memotret di pagi hari, cahayanya kemilau keemasan.

Di dekat tempat saya tinggal juga ada padang ilalang. Ilalang-ilalang  yang tumbuh di musim hujan ini tidak berduri tajam. Ilalang yang halus. Dari kejauhan seperti permadani. Saya selalu mewajibkan diri untuk menngunjungi. Seperti ritual yang harus ditunaikan berulang kali. Tentu saja, saya mewajibkan ke diri sendiri, karena ini menjadi salah satu pusat-pusat keindahan yang membuat bathin saya merasa tenang.  Pada alam raya, saya selalu mendapatkan pelajaran untuk memaknai segala sesuatu. Alam adalah teman saya ‘meditasi’ yang menyelami  ‘hukum-hukumnya’ untuk dicerap ke dalam diri. Dari alam, saya belajar tentang keseimbangan, kelapangan juga keindahan. Alam bagi saya,  dialah guru sejati.
Padang ilalang dengan bunganya yang lembut dan menawan

Di samping padang ilalang, kediaman saya dekat dengan padang rumput yang berbatas langsung dengan laut.  Di sini saya mampu menghabiskan waktu berjam-jam. Rasanya,  waktu terlalu cepat untuk berlalu.  Saya menikmati serangga dan bunga-bunga mungil. Karenanya, sekalipun sering pergi sendiri ke tempat ini, saya tidak pernah merasa sendiri. Bagi saya, alam berbicara. Mereka berbicara selayak sahabat akrab, di dalam jiwa saya sendiri.

 
Indah bukan...?
Mungkin yang paling tidak begitu nyaman jika musim kemarau tiba. Padang-padang ini berubah menjadi padang yang teramat panas dan gersang. Tetapi, sudahlah, lupakan saja. Karena saya sedang ingin menikmati Tenau di pagi hari, ditemani gerimis tipis.  Gerimis tipis sering terasa begitu liris, juga melankolis. Tetapi, di padang-padang  ini, maafkan saya, sungguh saya sulit melankolis. Bahkan saya sudah lupa jika  saya  sedang berduka. Di sini duka   menjadi ilusi.  Karena di tempat ini  keindahan terasa lebih  nyata.


Menyusuri Sunyi di Sumlili, Kupang Barat

 Rumah adat Timor di Sumlili

Sebenarnya, ini kali ke dua saya menyambangi Sumlili, yang terletak di daerah Kupang Barat, Nusa Tenggara Timur.  Menyusuri daerah ini, yang nampak hanya akan disuguhi suasana khas Pulau Timor. Rumah-rumah asli penduduk dan kegiatan memecah batu, yang merupakan mata pencaharian sebagian penduduknya.

Sebuah pemandangan menuju Pantai Sumlili

Kehidupan yang sederhana dilakoni penduduknya, seperti tak ada ujung. Apakah ada perubahan dalam status sosial ekonomi, ataukah tidak?  Potret-potret nyeri  ini sepertinya sudah tak diselami lagi di kedalaman hati mereka. Karena hidup harus berjalan, tanpa banyak keluhan.

Untuk memasuki Pantai Sumlili mobil harus melintas sungai ini.

Truk-truk pengangkut batu lalu lalang di jalanan terjal. Bila musim kemarau, jalanan berdebu itu melesatkan debu-debu ke udara. Tetapi jika jalanan hujan, jalan tersebut menjadi becek berlumpur.  Untuk sampai di pantai Sumlili, bahkan saya harus mewati sebuah jalan yang telah berubah menjadi sungai.  Beberapa orang nampak mencuci  sepeda motornya di sini.

Saya dan suami di padang rumput di Sumlili, difoto oleh Mumu

Saya membayangkan, seandainya Sumlili ada di Pulau Jawa, kemungkinan besar sudah menjadi salah satu tempat wisata favorit. Hotel dan villa akan bertebaran di sini, juga kedai-kedai, restaurant dan toko-toko yang menjual aneka kerajinan. Sepanjang jalan yang dilalui disuguhi padang-padang rumput tumbuhan khas NTT, dengan sembulan bebatuan yang menghitam. Padang-padang rumput ini membaluti bukit-bukit, di mana sapi-sapi asyik merumput dengan tenang.

Saya dan Mumu di padang rumput  dengan pemandangan laut Sumlili.
difoto oleh suamiku
Tetapi, dalam perjalanan  semakin mendekat ke pantai  Sumlili yang ada hanyalah sunyi.  Desir angin terdengar berderak-derak dalam sibak dedaunan dan reranting.  Hanya itu. Sesekali diselingi deru suara sepeda motor dan truk-truk . Itu pun tidak banyak.Dari perbukitan di kejauhan nampak telihat jelas, laut Sumlili yang berwarna biru dan biru tosca di pagi hari menawarkan kesejukan mata memandang.  Begitu harmoni dengan warna-warna alam di pebukitan.

Berjalan di Pantai Sumlili. Pasir halus bercampur aneka warna-warni bebatuan.
Saya difoto oleh Mumu

Namun begitu senja menjelang, jika matahari akan tenggelam, pantai  dan laut ini seperti lukisan yang memantulkan warna langit dengan pendar-pendar warna yang indah dan cemerlang. Sungguh, senja yang sangat mengagumkan.

Sumlili di senja hari. (difoto: suamiku)

Area pantainya  cukup luas. Entah di pagi hari atau pun sore hari, pantai Sumlili begitu nyaman ditelusuri dengan berjalan kaki.  Ada sebuah sungai yang  dangkal, sekalipun di waktu hujan. Jika kemarau tiba, sungai ini terkadang mongering. Di sinilah para penambang-penambang batu dan pasir mendapatkan penghidupan. Semua sudah disediakan alam. Di Sumlili yang perlu dihujamkan ke dalam diri penduduknya adalah kemauan.

Lembayung senja di Sumlili

Negeri ini sungguh indah. Sayang, kita bukan orang-orang yang pandai mensyukurinya dengan cara memaksimalkan seluruh potensinya.