2
Menyusun
Puzzle
Bis yang membawa kami melaju meninggalkan batas
kota. Jalan
yang berkelok-kelok, menikung, menanjak dan menurun menyambut perjalanan ini.
Bis jurusan Ciamis – Jakarta ini sarat muatan. Penumpang dengan hampir seluruh
usia ada di sini - mulai anak kecil hingga kakek-nenek, tak terkecuali. Kami duduk di bangku dekat pintu. Rambutku yang panjang dan lurus dikepang dua.
Aku memakai baju berwarna merah muda, bertali pinggang dengan sepatu berwarna hitam. Ibu memakai baju dengan motif bunga-bunga,
rambutnya yang panjang disanggulkan.
Begitu anggun. Ia duduk di
sampingku, terkadang ia mengelus-elus kepalaku penuh kasih ketika kusandarkan tubuhku padanya sambil
memerhatikan lalu lalang penumpang dihadapan, dan membaca suasana dengan
pikirannya.
“Kita akan
melihat dan menghadapi kehidupan yang sesungguhnya, Mira,” katanya sambil tersenyum
lembut tetapi tersirat kesedihan dari raut mukanya. Namun kalimatnya yang tercekat dan bergetar membuatku
tahu, sesungguhnya Ibu masih menyimpan
kepedihan di ruang jiwanya yang maha dalam. Ucapan yang terlontar untukku hanya kalimat peneguhan, juga menguatkan hatinya
sendiri. Aku sudah sangat mengenal Ibu.
Baris bangku
dekat pintu tengah bukan tempat yang
strategis, karena pintu sering terbuka untuk naik dan turun penumpang dan
angin telalu besar di sini. Tetapi kami
tak banyak pilihan, karena kami bukan penumpang yang pertama kali naik saat
kursi kosong masih begitu banyak tersedia. Ada beberapa bangku di belakang,
tetapi Ibu sudah memperhitungkan, pasti duduk di bangku baris belakang
guncangan bis akan terasa lebih kuat dan akan terasa lebih melelahkan untuk
perjalanan yang relatif cukup panjang.
Bis yang kutumpangi berwarna putih biru,
dengan tirai dari kain berwarna merah cabe mengkilat yang dapat ditutup dan dibuka kapan saja - ketika
penumpang mulai terganggu oleh sengatan cahaya matahari. Sebenarnya, tirai warna merah cabe mengkilat tak cocok
sebagai tirai dengan paparan cahaya matahari yang kuat nanti di siang
hari. Warna merah cabe mengkilat di
terik matahari yang menembus kaca akan menambah
ketajaman cahaya. Aura warna ini akan semakin meletihkan perjalanan.
Mungkin pemilik bis ini tidak sempat menimbang psikologi warna, dan pengaruhnya untuk penumpang.
Aku membuka
tirai itu sepanjang perjalanan. Aku tak suka tirai tertutup, kecuali malam hari. Aku senang
melihat aneka pemandangan dari balik jendela, karena aku senang melihat kehidupan. Di sepanjang perjalanan, pohon-pohon di kiri
dan kanan seakan berlarian. Seakan berkejaran. Sementara matahari pagi tak henti
terus mengikuti dari balik kaca jendela, cahayanya berkelebat membentuk
bentuk-bentuk siluet abstrak yang berubah-rubah, tergantung kepada benda yang
menghalangi di sepanjang perjalanan diantara aku dan matahari.
Kondektur yang berbadan ceking, berambut lurus dan
berumur sekitar tiga puluhan, berdiri di
pintu dan mengacung-acungkan tangannya di jalanan ketika bis sedang melaju. Kadang ia turun di
pertigaan atau perempatan jalan untuk menyelidik situasi, barangkali ada calon
penumpang yang akan pergi.
“Jakarta…Jakarta…Bandung…Cianjur…Bogor…”
Ya, bis ini
memang menuju Jakarta via Puncak.
Terkadang
kondektur berlari-lari kecil ketika sopir bis menekan gas mobil
pelan-pelan,
“Hayuuu..tariik
Piir…!” sambil meloncat. Maksudnya,
jalan lagi Sopir..
Wajah kondektur itu menyemu menghitam karena terlalu sering
ditabrak angin kencang jalanan dari laju bis yang menyeruak menghantam
udara, dan panas matahari karena
acapkali berdiri di pintu bis. Bayangkan, dari Ciamis sampai Jakarta
pulang-pergi. Hampir begitu setiap hari. Seandainya wajah itu dioles susu pembersih
wajah dan diusap kapas putih, mungkin akan terlihat dikapas wajahnya ternyata penuh dengan debu-debu
hitam selayak jelaga. Entah seberapa banyak dan seberapa dalam komedo yang membenam di
wajahnya. Untunglah, ia bukan lelaki
metroseksual. Lelaki-lelaki metroseksual tak akan ada yang sanggup melakukan
pekerjaan semacam kondektur atau sopir bis.
Penghasilan sopir bis dan kondektur dan jenis pekerjaan ini tak akan
cukup untuk membiayai gaya hidup lelaki tukang gaya.
Perjalanan terasa
begitu lambat karena bis sering berhenti menaik dan menurunkan penumpang.
Terkadang sesekali sopir yang tak begitu kuperhatikan dengan cermat raut
wajahnya menghentikan laju mobil, menyuruh kondektur membelikan rokok ke warung
pinggir jalan.
Beberapa
penumpang mulai menggerutu dan mengutuki kerakusan kondektur bis memasukkan muatan. Sebagian pasrah saja, dan
membiarkannya seolah semua hal yang wajar adanya. Di sisi lain, bolehkah aku
memuji? Ia sungguh kondektur yang gigih. Sejatinya seperti
itulah seorang lelaki sejati - pekerja
keras dan memosisikan diri untuk menjadi
pejuang-pejuang dalam kehidupan.
Sayangnya, ia terlalu mementingkan diri sendiri.
Tak lama, bis pun mulai penuh – orang berdiri - sampai
ke lorong-lorong. Penumpang berjejal seperti
ikan pindang dalam dandang. Bau parfum murahan menyeruak tertiup angin bersatu
dengan bau ketek orang yang jarang mandi, asap rokok, serta bau minyak angin PPO terhisap di hidung.
Bis ini sungguh berjuta rasanya.
Kondektur pun
tersenyum. Ia sudah menghitung keuntungan di depan mata.
Semua kepala dikali
dengan rupiah. Oh, ya..soal nyawa, sopir dan kondektur sudah lupa masuk dalam
daftar perjalanan. Kenyamanan? Persetan dengan kenyamanan. Ini masyarakat kelas tiga, Bung! Jangan
belagu sok orang kaya. Nyaman dan tidak
nyaman itu soal perasaan. Siapa yang
memuja kenyamanan dan tenggelam di dalam kemewahan dikehidupan, ketika menghadapi kesulitan
ia tak akan mampu bertahan. Menumpang
bis ini salah satu latihannya. O lala…!
Sopir bis dan
kondektur ini mirip sekali dengan oknum
politikus dan pemimpin negeri yang menghitung kepala manusia sebagai
jembatan yang memuluskannya mencapai kekuasaan dan keuntungan pribadi. Mereka
adalah para pengemudi dan pengawal yang memberi arah pada negara. Dan penumpang
yang ada di dalam bis ini adalah rakyat kebanyakan, yang biasanya dijadikan
sasaran pencarian suara dukungan. Tokh, di negeri ini harga suara yang tidak berpikir
dan berpikir itu sama saja. Membeli suara juga hal yang sangat biasa. Kata Machiavelli, politik itu kotor. Dan untuk
mencapai tujuan politik dihalalkan menggunakan cara apa pun. Boleh jadi, banyak
calon politisi dan politisi yang mengadopsi paham Machiavelli – termasuk
diantaranya sang kondektur. Tetapi, apakah dia pernah mengenal Machiavelli?
Kalau dia mendalami Machiavelli ia akan jadi politisi, bukan jadi kondektur.
“Nu alit dipangkon..nu alit dipangkon..!” kata kondektur sambil mendelik ke arah Ibu.
Ibu paham, itu artinya sama dengan – agar aku digendong, dan berbagi tempat
duduk untuk penumpang lain.
“Di hitung
dua..” tegas Ibu.
Maaf, kami bukan ikan pindang..!
Seorang perempuan
muda dengan gincu merah dan baju merah menyala yang berdiri di lorong tepat di samping duduk
kami berkata pada Ibu,
“ Saya yang
gendong putri Ibu, agar saya bisa duduk. Ibu juga akan untung bisa bayar satu,”
rajuknya. Ia sudah melihat kemungkinan –
tak akan tahan akan berdiri begitu lama.
Ia akan pergi ke Bandung
Ibu
tersenyum.
“Terima
kasih. Mohon maaf, Dik..anak saya sering mabuk dalam perjalanan. Ini akan
sangat merepotkan,” jawab Ibu sopan. Ibu
nampak benar-benar ingin melindungiku, seperti induk ayam yang akan marah jika
anak-anaknya diganggu.
Sontak
perempuan itu segera bermuka kecut. Ia tak akan mengambil resiko sebesar itu,
mengambil tanggung jawab pada anak perempuan pemabuk. Eh..! maksudku suka
muntah dalam perjalanan.
Untuk sementara,
aku masih baik-baik saja. Sebagian penumpang mulai membuka perbekalannya dari
rumah, leupeut, rempeyek dan telor rebus. Ada di antaranya
yang berbekal ayam goreng. Mungkin
menyembelih ayam dari kandang di rumahnya kemarin sebagai bekal perjalanan pergi
ke tempat yang jauh untuk menghemat uang, agar tidak jajan. Maklum, di setiap perhentian, bis ini akan
diserbu oleh pedagang asongan. Atau, ketika awak bis ini berhenti untuk makan,
jika tidak membawa bekal dari rumah akan tergoda untuk ikut makan di rumah
makan tersebut. Mereka orang-orang yang
hemat, teteh, akang..!
Sebenarnya,
Tasikmalaya-Jakarta tidak terlalu jauh, apalagi ke Cianjur, tidak sampai dua
ratus kilometer. Hanya medan jalannya
saja diantara Tasikmalaya- batas Bandung menanjak, berkelok-kelok dengan lebar jalan yang sempit dan cukup
sulit mengendarai mobil di sini. Mereka yang mengendarai mobil di sini haruslah
orang yang sudah sangat pengalaman dan trampil.
Aku mulai
oleng, ketika bis mencapai tanjakan Gentong. Beberapa penumpang mabuk. Aku tak
tahan. Aku muntah. Boleh jadi, muntah
adalah semacam sugesti menular akibat menghirup udara yang bersenyawa
dengan keluarnya isi perut juga asap dari rokok kretek dan bau berjuta rasa
itu. Lelaki-lelaki semakin banyak yang
merokok tanpa belas kasihan kepada penumpang lainnya. Sungguh mereka adalah
lelaki-lelaki penyembah egonya sendiri yang tega mendzalimi orang-orang dengan
asapnya yang menyesakkan dada. Beberapa orang terbatuk-batuk mengisap asap,
tetapi para perokok itu tak peduli. Jendela
bis dan pintu yang terbuka menyediakan
jalan untuk angin dan membantuku untuk
menepis asap rokok. Tetapi itu membuatku
masuk angin dan menyumbang penderitaan yang lainnya. Aku
benci rokok. Aku benci asap rokok. Tetapi aku harus bertahan.
Mabuk, itulah
yang paling aku malas melakukan perjalanan. Karenanya, sekalipun Ibu terkadang
pulang ke kampung halamannya di Cianjur – aku hampir tidak ingin ikut serta,
kalau tidak terpaksa. Sepanjang hidup, sampai usiaku sekarang dua belas – aku
baru empat kali datang ke rumah mendiang kakek dan nenekku, semasa mereka
hidup. Itu pun dengan biaya cukup tinggi jika harus menyertakan aku, karena
Ayah harus menyewa mobil. Sekarang, kami harus berhemat. Tak boleh ada
pengeluaran besar, kecuali mendesak. Kehidupan kami telah jauh berubah.
Sebenarnya, sebelum naik bis, Ibu telah memberiku obat
anti mabuk. Pemandangan bukit dan
sawah-sawah di sisi kanan-kiri jalan sudah tak lagi memberiku hiburan untuk
mengalihkan perhatian agar aku lupa dari rasa mual yang menyergap dan keinginan
muntah. Hanya minyak kayu putih yang diusap-usapkan Ibu ke tubuhku yang cukup
meredakan penderitaan.
Beberapa kali
sopir mengucapkan sumpah serapah mengabsen nama-nama binatang yang amat dikenal
karena motor nyalip seenaknya, atau
tiba-tiba diperempatan jalan mobil
nyelonong tanpa lihat kiri-kanan. Belok
tanpa lampu signs. Kadang keluar juga umpatan khas orang Ciamis
atau Tasikmalaya,
“Kehed siah..bebel..!”
“Sabar,
ya, nanti sebentar lagi sampai..,” kata Ibu menyemangati.
Yang
disebut sebentar lagi itu begitu lama. Ibu hanya memberiku penghiburan serta
harapan yang sebenarnya masih jauh akan sampai. Bis tua itu terseok dan seakan tanpa tenaga menanjak di tanjakan Nagreg yang tanjakannya ekstrim dan turunnya
curam. Ini tanjakan yang paling
berbahaya di jalur selatan, jalan protokol
Jawa Barat yang menghubungkan Bandung dengan daerah Priangan Timur.
Hari itu kendaraan cukup padat. Mungkin karena
musim libur. Kami memang sengaja menunda ke Cianjur sampai ijazah sekolah dasar
terbit. Segerombolan anak-anak terlihat membawa kayu pengganjal di tanjakan
Nagreg. Terdengar aneh, bukan? Tetapi, untuk mobil yang rem tangannya tidak bekerja
optimal, dan muatan berat di tanjakan ini mobil bisa-bisa meluncur mundur tak terkendali dan menabrak
kendaraan lain di belakangnya.
Kondektur bis
berteriak-teriak memanggil anak-anak.
Dengan sigap anak-anak itu mengganjal ban saat bis tiba-tiba harus
berhenti di tengah tanjakan. Mereka benar-benar piawai membaca gerakan bis,
kapan harus diganjal dan kapan harus dilepas, sampai bis nanti mencapai ujung
tanjakan dan meluncur bebas tanpa kendala yang berarti. Setelah aman,
kondektur memberikan sejumlah uang
kepada para anak-anak itu.
Mobil
berhenti sejenak seusai tanjakan Nagreg. Mesin mobil sepertinya sudah panas,
sepanas suhu udara yang ada di dalam mobil. Kami seperti ikan dalam akuarium
yang kehabisan oksigen dan air yang sudah mengeruh. Sejumlah penumpang membuka
jendelanya lebar-lebar dan melongokkan kepala keluar jendela mencari udara. Ada yang mengipasi tubuhnya dengan kipas
kertas kerajinan Rajapolah, Tasikmalaya.
Sejumlah penumpang tak henti menyusut keringatnya dengan sapu tangan
atau handuk yang sudah tak terlihat kekuningan.
“Borondong..borondong…dodol…dodol…!”
Sejumlah pedagang asong menawarkan dagangannya dari balik jendela. Beberapa
diantaranya mencoba masuk, tepatnya memaksa masuk. Oh, masih di Garut. Aku hafal, karena borondong dan dodol adalah
makanan khas kabupaten Garut. Aku tak
memerhatikan situasinya. Aku pusing…
Kepalaku terasa semakin berat, perutku mual kembali. Sepertinya, aku akan
mengeluarkan isi perut lagi. Tiba-tiba,
aku teringat sesuatu – batu pusaka dari Truna.Lalu aku
mencari-cari batu itu di tasku. Batu hitam sebesar kelereng berbentuk bulat kugenggam
erat-erat. Sambil tetap menggenggam
batu, kubayangkan ikan-ikan kecil di
sungai yang berenang-renang mengikuti aliran air. Ketika aku mual, aku
membayangkan sekuntum bunga yang hanyut, sambil mencoba membayangkan, di mana
dia akan tersangkut. Aku seraya berdo’a,
semoga ia dapat melalui muara, agar kelak bunga itu mencapai samudera. Setelah itu, ternyata berhasil.
Dimulai dari batu kecil hitam itu aku belajar, ketika sedang menderita dan menyedihkan,
kenanglah yang indah-indah, atau yang membuat tersenyum…
When you change your thoughts, you change your world…
Cicalengka,
Rancaekek, dan Bandung telah di lewati. Perjalanan telah sampai ke Tagog Apu.
Asap- asap dari pabrik batu kapur memuntahkan jelaga ke udara di antara bukit-bukit kapur yang berdiri tegak menatap langit. Inilah artefak-artefak geologi peninggalan danau Bandung purba. Bukit-bukit kapur dan marmer ini membuktikan sebuah perjalanan panjang geologis selama ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu.
Kecepatan bis
melambat ketika akan mencapai terminal Muka. Matahari jam dua belas memantul di kaca menyilaukan mata. Pedagang-pedagang
asongan berlompatan naik ke pintu bis seperti belalang, lalu berteriak-teriak keras menjajakan dagangan memanfaatkan perjalanan
para penumpang. Mesti orang pergi membawa uang. Mungkin ada di antara mereka
yang akan membawa oleh-oleh atau sekedar membeli camilan untuk membunuh
kebosanan dalam perjalanan. Ya, barangkali saja. Semoga para penumpang yang super hemat
setengah mati sudah turun semua, dan berganti penumpang-penumpang yang merelakan
uangnya agar bisa memutar roda ekonomi.
“Tauco..tauco..!Moci kacang.. moci kacang..! rarokona..rokok..rokooooookkkkk..!!”
Kerumunan
pedagang tak tahu sopan santun mendesak-desak penumpang-penumpang yang akan
turun dan yang sedang menyiapkan barang bawaannya. Pedagang-pedagang itu
berjuang dengan kegigihan yang luar
biasa. Pengemis perempuan setengah baya tak ketinggalan masuk ke bis
memasang wajah memelas,
“Kasihan..Neng,
Bapak, Ibu…sedekahnya…sedekahnyaa…”
Dan ini, apa lagi..! Seorang lelaki muda
memakai topi haji dan bersarung pengedar kotak amal,
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Innalhamdulillah,
nahmaduhuu wa nasta’iinuhuu wa nastaghfiruhu wa na’udzubillahaahi min syuruuri ‘anfusinaa
wa min syayyi-aati a’maalinaa man yahdillaahu falaa mudhillalahu wa man
yudhlilhu falaa haadiyalahu.”
Setelah itu ia mengucapkan dua
kalimat syahadat, dan melanjutkan kalimatnya :
“Kami dari panitia pembangunan mesjid
Al Ittihad, yang beralamat di Rangkasbitung, datang mengetuk hati para
penumpang bis yang budiman, untuk
menyisihkan infaq dan shadaqohnya, ber-amal jariah. Barangsiapa yang membangun
mesjid-mesjid Allah, maka kelak Allah akan memberi pahala dengan membangunkan
istana di Surga.!”
Entahlah,
pengedar kotak amal benar-benar panitia pembangunan mesjid atau bukan? Terlalu
banyak pedagang agama di negeri ini.
Seekor ayam
jantan yang kedua kakinya yang diikat
tali rafia kepalanya terkulai lemas di ketiak seorang lelaki tua berbaju putih kusam dengan jenggot dan
kumis yang tak terurus, dan hampir menutup seluruh bibirnya. Rambutnya sudah
keriting, acak-acakkan pula. Entah berapa lama rambut itu tak bersentuhan
dengan sisir. Sepertinya, lelaki tua itu menduga, ayam jagonya lemas tersiksa karena kakinya diikat. Lelaki itu duduk kembali sejenak di kursi,
dan membuka ikatan di kaki ayam.
Benar saja,
sontak ketika ikatan itu terbuka, ayam jago seolah memiliki kekuatan hebat. Ia
lepas dari tangan si lelaki tua itu, melompat-lompat di antara kursi dan kepala
para penumpang, masuk dan berlari-lari di kolong-kolong kursi. Semua orang di bis itu
menjadi gaduh dan ribut lalu mengumpat-umpat ayam. Ketika lelaki tua itu
mencoba mengejar ayam, beberapa orang
terjatuh. Anak kecil menangis karena kakinya terinjak. Lelaki tua itu rubuh
ketika kepalanya membentur keranjang pedagang asongan.
“Bruuuk…!”
Ia lalu terjatuh.
Sesungguhnya,
hiruk pikuk di dalam bis, dan lalu lintas di jalanan, menyembulkan realitas
kehidupan masyarakat di negeri ini. Inilah
potret perangai mental dan kehidupan
orang Indonesia yang asli. Konon, jika ingin menatap budaya sebuah negeri, cukuplah, lihat bagaimana
tingkah laku para pengguna jalan raya. Jika ingin melihat salah satu gambaran salah urus negeri ini, cukuplah melihat
infrastruktur jalan dan angkutan umum. Di sanalah wajah Indonesia. Ibu benar, aku sekarang telah
melihat salah satu serpihan refleksi
kehidupan di tanah air kita.
Aku tak
tahu, bagaimana kejadian selanjutnya. Ayam pergi ke mana? Sudah tertangkap atau
belum? Dan bagaimana nasib lelaki tua itu?
Kami telah turun. Tentu saja, kami lekas turun, karena duduk dekat
pintu, dan tak membawa banyak barang. Hanya baju yang lekat di badan dan tas saja. Itulah sebabnya, kami tak
terlalu berpayah-payah keluar dari himpitan penumpang yang akan turun dan naik , yang berebut keluar-masuk di pintu,
kalau perlu saling menyikut. Kami agak melenggang, karena barang-barang dari rumah di Tasikmalaya akan
datang minggu depan, diangkut dengan
menggunakan truk.
Tangan ibu
menggenggamku keluar dari terminal. Kami berjalan berdua menyeruak di antara
lalu lalang orang. Aku tertabrak seorang pedagang asongan. Batu hitam kecilku
jatuh, lalu ketendang seseorang. Aku menghentikan langkah dengan perasaan
gelisah.
“Ada apa?”
tanya Ibu.
“Batu yang
dibawa dari sungai jatuh..”
“Lupakan
saja, di sini pasti ada batu lainnya yang serupa,” hibur Ibu enteng.
Ringannya
kalimat Ibu yang menggampangkan keterkaitan emosiku pada batu itu
membuatku marah. Mungkin aku capek,
membuatku mudah meletup emosi.
“Aku mau batu dari sungai itu, bukan batu yang ada di sini..!” mataku
mulai memerah.
Ibu
menghentikan langkahnya, dan melepaskan pegangan tangannya di jemariku.
“Mira, please jangan mengada-ada. Jangan membiasakan dirimu terikat pada
benda.”
Aku tak mau mendengar kata-kata
Ibu. Aku melepaskan diriku dan menjauh dari Ibu sambil mataku mencari, dan
terus mencari batu itu. Ibu berdiri mematung sambil geleng-geleng kepala. Ibu
yang kelelahan dalam perjalanan dan terik matahari Cianjur yang mulai membakar kepala bisa saja membuat kemarahannya meledak.
Tetapi, ia tidak melakukannya. Ia hanya berdiri dan melihatku dari kejauhan. Ibu
selalu berkata lembut dan memaparkan alasan yang mungkin bagi kebanyakan orang
yang sudah dewasa terasa bijak, matang dan dalam, tetapi ditelingaku terdengar kurang berani, dan kurang gigih
meraih kemungkinan menang dan mendapatkan sesuatu. Termasuk ketika sekarang aku
kehilangan batu itu. Aku harus
menemukannya…!
Kusikapkan sampah plastik, koran bekas
bungkusan makanan yang berceceran di
pelataran terminal tempat aku mengira-ngira jatuh. Terminal ini memang kotor,
banyak sampah berserakan. Aku melihat langkah-langkah kaki orang, barangkali
saja ada terinjak atau tertutupi oleh kakinya.
Aku mencari dan terus mencari berkeliling, diantara orang-orang yang
tidak peduli. Lima menit, sepuluh menit,
lima belas menit. Aku tak akan menyerah. Ibu menatapku dan mulai gelisah. Ia
menghampiriku dan aku sudah tahu apa yang akan dikatakannya, pasti kembali pada
kalimat pertama tadi yang telah diucapkannya, “Lupakan saja, di sini pasti ada
batu yang lainnya yang serupa.”
“Apa yang kau cari, Nak?” tanya
seorang lelaki menjelang setengah baya berbaju batik cokelat dengan lembut. Aku
mendongakkan kepala. Lelaki itu berperawakan sedang, berkulit sawo matang
dengan rambut lurus yang disisir rapi. Tatapan matanya teduh, raut wajah yang
sabar.
Orang Amerika selalu mengajarkan
dan mengingatkan anak-anaknya, “Jangan berbicara dengan orang asing.” Tetapi
Ibuku selalu berkata, bersikap sopanlah pada orang asing dan banyaklah mendengarkan. Biarkan orang asing lebih banyak berbicara,
dengan begitu kita akan mengetahui maksud dan siapa mereka. Keterampilan mendengarkan jauh lebih penting
daripada kepandaian berbicara. Berbicaralah seperlunya, dan jawablah
secukupnya. Banyaklah tersenyum.
Tapi aku tak bisa tersenyum kali
ini, aku terlalu cemas tak menemukan
batu hitam kecilku. Mataku berlinang. Aku hanya bisa menjawab secukupnya,
“Aku mencari batu hitam yang jatuh
tadi.”
“Di mana tadi jatuhnya?”
“ Di sekitar sini.”
“Sebesar apa batunya?”
“Sebesar kelereng, berbentuk
bulat.”
Lelaki itu tak banyak bertanya
lagi. Ia sibuk membantuku mencari batu.
Ibuku yang sudah mendekat menampakkan wajah yang rikuh dan malu atas bantuan
bapak itu. Ibuku malu, karena lelaki itu menunjukkan empatinya yang penuh
kepada anaknya.
“Mohon maaf, jadi ikut repot..” kata Ibuku sopan sambil mendekat.
Lelaki itu
tersenyum,
“Tak apa…”
Lelaki itu
mencari dengan mata setajam elang, dan gerakan tubuh yang tenang, setenang
aliran sungai yang dalam. Ia melangkah perlahan di sekeliling, terkadang
tubuhnya membungkuk dan menyibakkan sampah dengan perlahan. Sampah yang
tersibak di sekitar dirinya ia pungut,
lalu dikumpulkan dan kemudian dibuang ke
tempat sampah.
Ibu
jadi ikut mencari. Mungkin malu kepada
lelaki itu yang lebih empati, padahal ini anaknya sendiri. Beberapa orang
bertanya pada Ibu, apa yang ia cari?
Ketika Ibu menjawab sebuah batu kecil hitam bulat, mereka tertawa. Ada
orang yang menyangka Ibu seorang dukun, dan jimatnya hilang. Ibu hanya tertawa, dan berkata bahwa itu batu
milik anaknya sambil menunjuk padaku.
Tetapi, ia melihat Ibu dengan tatap tak percaya. Bisa dimengerti,
bagaimana kita bisa mempercayai orang yang bertemu selewat saja. Moralitas
seseorang dapat diketahui setelah waktu yang panjang hidup bersama. Seperti
ketabahan seseorang dapat dilihat ketika kemalangan menimpanya. Juga,
kebijaksanaan seseorang dapat diketahui melalui rentang percakapan yang lama,
dan semua itu dibangun bertahun-tahun lamanya melalui interaksi langsung dan
mengamatinya dari dekat. Jadi kalau orang selewat mengembangkan prasangka, ya,
dimaklumi saja. Apa yang bisa dipercaya pada orang selewat, apalagi untuk
alasan pencarian batu pusaka.
“Ini bukan?”
Lelaki itu
memperlihatkan batu di tangannya. Aku terlonjak..! Mataku yang mulai membasah
segera kuseka. Ia lelaki yang hebat. Bagai seseorang yang bisa menemukan jarum
di tengah tumpukan jerami. Entah dengan mata dan kekuatan apa yang membuatnya
bisa menemukan batu yang tidak pernah dilihat sebelumnya.
“Benar..! Terima kasih.” Mataku berbinar. Aku bahagia. Aku merasa tak
penting lagi ia menemukan di mana? Yang paling penting bagiku batu itu sudah
ada di tanganku. Mungkin kelak batu itu akan menjadi penyelamatku saat-saat
berat di perjalanan selanjutnya seandainya aku mabuk. Kukira, mulai saat ini, ia memang telah berubah jadi jimat.
Ibuku membungkukkan badannya untuk menunjukkan rasa
terima kasih yang dalam, seraya memohon maaf telah merepotkannya. Perasaan, ini
sudah kedua kalinya Ibu mengucapkan kalimat yang sama pada lelaki itu. Inilah kalimat yang diajarkan Ibu sejak aku
balita sampai sekarang, mengucapkan dua kalimat sopan santun dan etika paling mendasar
dalam hubungan antar manusia,
menyegerakan menyampaikan ucapan terima kasih bila diberi kebaikan, dan segera
meminta maaf jika telah melakukan kesalahan. Orang yang lidahnya kelu mengatakan dua
kalimat ini, hatinya telah kotor dan membatu.
Lelaki itu menyambut kalimat Ibu
dengan senyuman dan berlalu. Ternyata
pria asing ini bahkan lebih hemat kata-katanya dibanding dengan Ibu. Ia bertindak untuk menyelesaikan – mencari dan
menemukan - soal batu itu, dan meredakan
kesedihanku dengan aksi dan kegigihan, bukan sekedar kata-kata penghiburan.
Mungkin kau pernah mendengar, barang
siapa yang mencari akan menemukan. Walaupun entah tangan siapa yang akan menemukan, belum tentu diri kita
sendiri. Jika kau tak dapat menemukannya juga setelah
keras upaya pencarian, setidaknya kau akan menemukan makna di ujung batas
kekuatan manusiawi.
Ibu menggamit lenganku dan
mengingatkan agar aku menyimpan batu itu di dalam tas agar tak hilang. Tak
ada gerutuan yang keluar dari mulutnya. Ibu memang jarang marah, juga jarang
menggerutu. Kami terus berjalan keluar terminal mencari
angkutan umum untuk mencapai rumah.
Ah, Ibu
memang selalu begitu. Menarik dan mengulurku dalam mengajari segala sesuatu
di kehidupan ini seperti bermain layang-layang. Kadang aku diproteksi sekuat hati, kadang aku
dilepas sambil diamati. Esok lusa, aku ingin menjelajah dalam kehidupan ini, bukan sebagai layang-layang
Ibu, aku ingin menjadi burung elang..!