Kamis, 24 Juli 2014

Mozaik



4

Estetika Tailor


Ketika sang Raja mengetahui, bahwa putrinya telah dikutuk  oleh peri hutan yang jahat bahwa putrinya akan tidur selamanya   – maka ia meminta seluruh mesin-mesin pemintal dimusnahkan di seluruh negeri. Tepat di usia ke-16 nanti, seandainya sang putri terluka
oleh jarum mesin pemintal, ia akan tidur. Hanya ciuman sang pangeran – cinta sejati – yang akan mampu membangunkannya.

***

            Pada usia  remaja, aku  bukan dijauhkan dari jarum seperti Putri Tidur –  jarum pentul, jarum jahit, jarum mesin semua ada di sekelilingku. Jarum memiliki nomornya sendiri - semua ukuran jarum memiliki fungsinya masing-masing.   Nomor jarum dimulai dari nomor  8 sampai 19.  Nomor-nomor ini menunjukkan tingkat kecocokan untuk kain yang akan dijahit.  Semakin tebal kain, maka nomor jarum pun semakin besar, sebaliknya – kian tipis kain, nomornya kian kecil. Seperti untuk kain chiffon, kau harus menggunakan jarum nomor 8 atau 9. Sementara untuk kain yang  super tebal semacam  denim atau gordyn, kau sebaiknya menggunakan jarum nomor 18 atau 19.

           Setiap kali merapikan ruang jahit, kami harus memastikan agar jangan sampai jarum-jarum jatuh ke lantai.  Jarum-jarum yang tajam itu berkilat-kilat di bawah cahaya matahari yang menelusup melalui kaca jendela. Jarum-jarum tajam yang sanggup melukai jemari  Ibu, sekaligus menjadi jalannya pintu rezeki bagi kami.  Setiap hari aku melihat Ibu kakinya bergerak, berayun-ayun – seperti mengayuh sepeda, tetapi jalan di tempat, tak kemana-mana.  Andaikan pedal mesin jahit itu seumpama pedal  sepeda yang bisa menggerakan roda menggelinding ke mana saja, mungkin jarak yang ditempuh oleh Ibu setiap harinya sekitar enam puluh kilometer. Ibu memakai mesin jahit klasik. Ini sangat kuno, karena harus menggunakan tenaga kaki.  Jika setahun Ibu melakukan perjalanan mengayuh pedal mesin jahitnya, maka itu telah menempuh  dua ribu dua ratus sembilan puluh kilometer. Setara dengan perjalanan bolak balik Pulau Jawa. Ibu pun bukan seorang putri, ia hanya seorang janda yang  dicium  pahit dan getir kehidupan. Dia harus selalu terjaga – menjaga seluruh kesadarannya. Bahwa ia harus bertahan dalam kesendirian yang panjang, tanpa berharap lagi pada ciuman sang pangeran.

            Sebelum  menjahit, Ibu mengukur terlebih dahulu ukuran tubuh pelanggannya. Lingkar pinggang, Lingkar dada, lingkar lengan, panjang lengan dan lainnya. Setelah itu,   membuat pola di atas kertas, sesuai dengan model baju yang akan dijahit.  Pola dipakai agar tidak terjadi kesalahan pada saat menggunting bahan kain.  Pola itu kemudian Ibu tempelkan ke kain, lalu membuat garis dengan bantuan rader, karbon jahit dan kapur jahit. Kapur jahit dipakai untuk memberi tanda pada  bagian-bagian yang tak bisa menggunakan rader.

 Yang paling rumit tatkala membuat pola adalah saat membuat pecah model dari pola dasar. Namun kesulitan-kesulitan membuat pola baju untuk para penjahit yang ingin maju seperti Ibu dapat terpecahkan dengan berlangganan  Majalah Burda Moden. Majalah impor dari Jerman itu tersimpan rapi di rak pojok ruang kerja Ibu berikut majalah So-En terbitan Jepang. Beberapa majalah wanita dan remaja putri juga ada di sana.  Kelengkapan Ibu menyiapkan majalah-majalah mode disukai para pelanggan. Mereka tidak sulit mencari ide potongan baju. Hanya, terkadang pelanggan ingin model baju seperti artis di televisi – membuat Ibu harus menggambar sesuai dengan imajinasi pelanggan.

            Menjahit adalah pekerjaan yang membutuhkan kesabaran, ketelitian dan konsistensi  yang luar biasa. Jika kau adalah seorang pembosan dan grasa-grusu, jangan harap akan mampu menyelesaikan baju, sekalipun hanya satu potong. Boleh jadi, kau hanya akan semangat pada awalnya, tetapi di ujung pada saat kain untuk lengan mesti disambungkan, kau menundanya – terus menunda, sampai engkau lupa bahwa engkau harus menuntaskan pekerjaan  di mana kau telah bertransaksi dengan  niat dan waktu.

            Semula, yang menjahit kepada Ibu hanya satu dua orang, itu pun dari tetangga-tetangga kami yang sudah mengenal – semasa Ibu gadis memang sudah menjahit. Jahitan Ibu terkenal rapi.  Iklan dari mulut ke mulut akhirnya beredar juga.  Beberapa bulan kemudian, jahitan Ibu mulai banyak.  

             Ibu selalu memberi pelayanan jahitan yang rapi dan tepat janji. Konon, ada beberapa janji yang tak perlu  diseriusi : Yang pertama, janji politik. Kedua, janji sehidup semati orang yang tengah dimabuk cinta. Ketiga, janji tukang jahit. Karena tukang-tukang jahit umumnya adalah kumpulan orang yang suka mengingkari janji.

            Ibu tak ingin ingkar janji. Karena itu, aku membantu Ibu menuliskan nama konsumen,   jadwal kain datang dan kapan jahitan selesai dalam papan tulis yang digantungkan di ruang Ibu menjahit. Demikian, semua jahitan akan dijahit sesuai dengan jadwal antrian. Jika ada yang ingin cepat-cepat diselesaikan, walaupun dengan bayaran yang lebih mahal, Ibu akan menolaknya. Ibu bilang, nama baik  lebih mahal dari pada uang. Apa jadinya jika nanti Ibu dikenal sebagai seorang yang suka mengingkari janji. 

 Aku  ditugasi Ibu mengurusi administrasi keuangan jahitan.  Demikian, aku mulai belajar akuntansi sederhana, dan mengelola keuangan usaha kecil-kecilan Ibu.  Aku  belajar tentang aliran uang keluar dan pemasukkan. Ibu mengatakan, aliran uang masuk dan keluar itu dalam bahasa ekonominya adalah cash flow. Untuk setiap pengeluaran aku mencatatnya dengan seksama dari bon  pembelian, juga berapa pemasukan Ibu.  Sebagian pendapatan Ibu dipakai   untuk keperluan kami sehari-hari dan sebagian  ditabung.  Aku  pergi ke bank untuk menabung  seminggu sekali -  saat istirahat  sekolah.

            Penghasilan penjahit, apalagi tinggal di kota kecil seperti Cianjur tidaklah besar. Aku tahu benar, berapa penghasilan Ibu setiap harinya, apalagi menjahit dengan cara yang sangat manual. Tetapi, kami berhemat. Agar jangan sampai ada pemborosan.      

“Menjadi penjahit membuat kita akan terikat dan tak bisa pergi ke mana-mana. Tetapi, ini pekerjaan yang paling aman untuk Ibu untuk saat ini.”
            “Bu, apakah Ibu tidak pikirkan mencari yang membantu Ibu menjahit, bagaimana jika Ibu sakit?” tanyaku.
Ibu sesaat  terdiam. Sepertinya, ia tidak menyangka penyataannya malah ditanggapi dengan pertanyaanku.
            “Untuk sementara, Ibu masih bisa menanggulanginya sendiri.”
            “Tapi usaha Ibu tak akan besar jika terus menerus mengandalkan tenaga Ibu sendirian,” tukasku.
            “Ibu tak menyangka kau sudah bisa berpikir dewasa,” puji Ibu sambil memeluk bahuku.  Aku tertawa,
            “Anak Ibu…!”
            “Ada benarnya, Ibu memang harus mencari orang untuk membantu,” katanya dengan wajah cerah.


            ***


Orang yang membantu Ibu adalah seorang perempuan muda bernama Entin.  Umurnya baru delapan belas tahun, tetapi ia sudah menjanda – janda tanpa anak, tanpa surat cerai. Suaminya orang seberang, yang meninggalkan Entin begitu saja ketika sang lelaki itu pulang ke kampung halamannya di Sumatera. Entin tidak tahu kemana harus menyusul suaminya, karena ia tak pernah tahu persis asal usul suaminya – kecuali ia  pernah menjadi seorang pedagang kaki lima di salah satu sudut kota Cianjur.

            Entin bertubuh gempal dan berambut keriting sebahu. Bibirnya penuh dan matanya seperti hendak meloncat keluar. Sulit membedakan bagaimana matanya seperti hendak keluar – ia sedang marah ataukah  sedang bersedih ?  Karena seperti itu  dari sono-nya. Suaranya bergema selayak raksasa eh raksisi.  Kendati nasib malang menyambanginya, ia nampaknya tidak terlalu banyak ambil pusing, sangat easy going.  Ia adalah perempuan periang.

            “Aku tak sedih, setidaknya aku pernah laku pada seorang lelaki..” katanya sambil ngikik. Bayangkan…untuk sebuah pernikahan,  Entin menyamakan dirinya dengan barang atau sepotong ikan asin dengan kata ‘laku’. 
            “Kamu mau begitu saja dinikahi tanpa surat resmi?” tanya Ibu terheran-heran.
Entin hanya tertawa, dan berkata  ringan dengan jawaban yang tidak terlalu  nyambung dengan pertanyaan dalam susunan bahasa yang teramat kacau,
            “Aku terlalu gembira, ternyata di dunia ini ada yang suka padaku. Ini pertama kalinya dalam hidup ada yang mengatakan, aku cinta padamu. Lalu, aku minta dinikahi saat itu juga. Ia setuju, karena kebetulan kontrakan rumahnya habis, dia tak punya uang. Demikian, lalu ia menumpang di rumah orang tuaku sampai ia punya uang untuk pulang ke Sumatera..”
            Ibuku tertawa kecil  sambil geleng-geleng kepala,
            “Itu namanya dia mau cari tempat menumpang gratis bukan bersungguh-sungguh menikahimu,” jelas Ibu meluruskan logika Entin yang konyol itu. Perempuan lulusan sekolah dasar itu hanya melongo. Entah apa yang ada dalam pikirannya.


***


Sebenarnya, karakter Entin agak diragukan untuk dijadikan asisten Ibu, di samping berpendidikan rendah ia terlalu dangkal dan begitu lugu. Tetapi Ibu memiliki keyakinan lain,  bahwa kepribadian manusia itu adalah  sebuah proses yang akan tumbuh dan berkembang. Ibu melihat ada  nilai lebih lain dari Entin, rajin dan jujur. Itu sudah cukup menjadi modal dalam hidup.  Ibu mengambil resiko dengan mengajari Entin menjahit mulai dari nol. Bonus  Kami berdua adalah rasa  senang dengan kehadirannya yang jenaka,
            “Entin..” panggil Ibu.
            “Kulan ..”
            “Nama lengkapmu itu Entin Sumartini, ya..?”
            “Itu nama dulu, Bu. Mulai hari ini saya mau ganti nama..”
            “Mengapa..?”
            “Nama asli Titik Puspa kan Sudarwati, karena ganti nama dia hoki..”
            “Lantas..?”
            “Saya mau ganti nama di sini menjadi Tineke Putri..” katanya dengan muka serius.

Aku meledak dalam tawa. Tak nahan rasanya, antara muka  dan nama tidak nyambung sama sekali. Ingin rasanya berkata, “Ceu Entin, apa kamu enggak  ngaca?” Tapi aku tak mengatakan apa pun, khawatir menyakitinya karena memasuki penghinaan fisik.
            “Kalau Rin Tin Tin bagaimana..?” godaku sambil mengulum senyum teringat sebuah judul buku yang diangkat dalam  serial film klasik  The Adventures of Rin Tin Tin.
            “Hai..aku bukan anjing..!” katanya sambil memonyongkan bibirnya yang sudah monyong dan memelototkan matanya yang sudah melotot.
Aku semakin ngakak melihat polahnya. Aku tahu, ia tak serius – walaupun memperlihatkan muka seseram apa pun.
            Ibu mengajari Tineke Putri mulai dari hal yang paling mendasar, merapikan alat-alat menjahit untuk disimpan kembali pada tempatnya,
            “Ini disiplin yang sangat sederhana,” ucap Ibu.
            “Apa jadinya jika seorang penjahit menyimpan jarum dan benang disembarang tempat,” lanjutnya.
            Ruang kerja yang kacau itu sungguh membuat pikiran ikut kusut. Demikian pula ruangan di rumah yang berantakan, kamar yang berantakan mengirimkan energi negatif. Aku selalu teringat kata-kata dari Ibu,
            “Mira, jika kau ingin tahu   gaya hidup seorang perempuan, liat lemari pakaiannya,  cukuplah itu jadi kesimpulan siapa dia. Dalam lemari seorang perempuan terekam di dalamnya mode, pilihan warna, kerapian, ketertiban susunan baju, estetika. Lemari pakaian yang kacau itu sebagai tanda ia bukan perempuan yang apik.”

            Tineke yang ikut menguping mendengarkan dengan seksama.
            “Di rumahku, aku tidak punya lemari pakaian, Bu. Baju-bajuku, kusimpan di dalam dus. Ini bagaimana..?” komentarnya sambil ngikik.
            “Wah..! sengaja ya, disimpan di dus, biar Ceu Tineke gampang kalau mau minggat,” kataku sambil tertawa. Agak canggung memanggil nama baru Tineke dan Ceu  sebagai panggilan kepada perempuan yang lebih tua di tanah  Sunda ini.  Lebih mudah bagiku  memanggil nama Ceu Mimin atau Ceu Onah.
 Tineke tertawa tergelak.

           



Selasa, 22 Juli 2014

'Demi Waktu'



Salah satu yang  saya syukuri di dalam hidup ini adalah   bertemu seorang makhluk Tuhan, yang bernama Tuty Yosenda. Kami bersahabat dekat bertahun-tahun lamanya. Tuty hanyalah  salah satu diantara deretan  sahabat-sahabat saya yang banyak, di mana  saya  sangat  menghormati dan menghargai  mereka semua -   saya  sulit menyebut satu persatu di dalam ruang ini.   Perbedaannya mungkin karena saya dan Tuty-  pernah   tidur sekasur, ngobrol di atas tempat tidur berdua sambil memeluk bantal,  juga tidur satu tenda di puncak gunung -  sering menempuh perjalanan panjang berdua dan berbincang tentang warna langit, pepohonan sampai belalang, dan saling menelefon diwaktu (yang sangat kurang ajar) – tengah malam. Atau,  berkirim pesan di dini hari, hanya untuk mengatakan ‘Ayo..nulis..nulis..!’  atau pesan singkat di waktu pagi, ‘Hai..! aku sedang mengintip burung untuk dipotret. Sepertinya ia sejenis burung Kolibri..!” Tra lala Tri lili..

***

Buku 'Demi Waktu'  (foto : Tuty Yosenda)

Buku ‘Demi Waktu’ yang ia tulis adalah jiwa Tuty yang selama ini saya kenali. Juga, tingkah laku keseharian Tuty yang berpikir merdeka namun santun,  serta bonus yang lainnya adalah ‘lucu dan menggoda’.  Tuty selalu berbincang  soal-soal seperti ini dengan saya -  yang  ia kuliti  dari hal  sederhana yang tak terpikirkan oleh kebanyakan orang.  Perbedaannya,  perspektif berpikir Tuty  demikian mendalam, ilmiah, argumentatif dan imajinatif serta racikan berpikir dan tulisannya  amat  ‘gaya’.  Ciri khas lain dari pemikiran Tuty adalah, selalu menyikapi banyak hal yang ‘buruk’ dalam  perspektif dengan citra  positif dan dewasa.


Sungguh pun buku ini adalah bunga rampai yang disusun sebagai dokumentasi pikiran-pikiran Tuty, namun ciri khas berpikir Tuty sangatlah kuat di pemikiran-pemikiran humanis dalam bingkai Islam yang kental serta filosofis.  Bagi Tuty, seluruh alam raya ini adalah guru terbaiknya – melebihi kata-kata ribuan jilid buku. Selayak Sun Go Kong yang mencari kitab suci sang Buddha dengan menjelajah dunia. Ternyata kitab suci  sejati    bukan kitab yang penuh dengan aksara, melainkan kitab yang tanpa aksara. (Hahaha..baru kali ini punya ide jahil, menyamakan Tuty dengan  si Kera Sakti..!)


Beberapa diantara pemikiran-pemikirannya;  Tuty mendeskripsikan tentang personifikasi di dalam Aqur’an tentang jaring laba-laba yang lemah, dengan sifatnya yang berwujud material dan visual sebagai refleksi makhluk soliter dan individualis. Laba-laba adalah metafora dari ideologi tentang kehidupan di mana ukuran sukses berhubungan dengan material yang memiliki keterukuran inderawi. Sementara, semut dan lebah  lebih kepada penghayatan non material, melainkan kedisiplinan, kerja keras dan kerja sama.


Dalam  ‘Demi Waktu’ – Tuty  melukiskan waktu seakan ‘voucher’ yang diberikan oleh Tuhan – Tuty melukiskan, kehidupan ini hakikatnya bukan kompetisi dengan orang, melainkan kompetisi dengan waktu.  Jangan sampai waktu dihamburkan untuk pembelajaran yang sia-sia dan langkah-langkah hampa. Selayaknya, waktu  dibelanjakan untuk menemukan orbit baru, melanjutkan perjalanannya sendiri, atau menembus ruang waktu yang lebih jauh. Waktu diproyeksikan untuk karya-karya yang membuat kita memiliki masa edar yang melampaui jatah usia kita sendiri.


Sebagai seorang yang hobi fotografi, dengan santai ia bicara soal ‘agama Nikon’ – Nikonisme akhirnya dipandang Tuty bukanlah sesuatu yang penting. Jika merek kamera itu dianalogikan sebagai ‘the song’ maka fotografer adalah ‘the singer’. Jika agama itu ‘the song’ maka manusia itu adalah ‘the singer’ – karya masterpiece Tuhan. Untuk mengeja tulisan ini memang harus hati-hati, jika kau seorang fanatik membabi-buta soal agama mungkin persepsinya akan kemana-mana. Namun senyatanya, Islam yang indah akan tampak brutal dan mengerikan di tangan penganutnya yang berhati bar-bar.


Tuty juga dengan manis berkata tentang – semua yang ada di dunia ini hanyalah ‘alat peraga’ Tuhan – layaknya memasuki panggung dongeng.  Banyak manusia mengira, segala hal di dunia ini bukan dirinya – padahal, semakin lama kita akan melihat kita lah yang  hidup  dalam dongeng tersebut. Tuty mengajak pembacanya melakukan review dan koreksi terhadap satu-satunya hidup yang dimiliki.


Tulisan-tulisan Tuty mengingatkan saya pada sebuah kalimat indah dari seorang sufi, Al Bashri, “Sesungguhnya, hakikat dirimu adalah waktu. Tatkala waktu hilang, maka lenyaplah pula dirimu.” Tulisan Tuty juga mengingatkan saya pada tulisan  Agustinus Wibowo dalam kisah perjalanannya di buku  ‘Titik Nol’ – Bahwa waktu adalah makhluk yang tak terjamah yang memiliki kuasa untuk menampilkan segala kontradiksi. Waktu selalu misterius. Semua berubah bersama waktu.


Ada Waktu untuk dilahirkan, ada Waktu untuk mati.
Ada Waktu untuk menanam, ada Waktu untuk mencabut.
Ada Waktu untuk membunuh, ada Waktu untuk menyembuhkan.
Ada Waktu untuk menangis, ada Waktu untuk tertawa.
Ada Waktu untuk mencari, ada Waktu untuk melepaskan…..


Kita hanya bisa pasrah mengikuti permainan-Nya.

***


Tuty Yosenda  (Dokumen Pribadi)


Tuty, ‘Demi Waktu’ semoga kau terus berkarya untuk menghasilkan sesuatu yang melampaui masa edarmu di dunia. Dan ‘Demi Waktu’ – semoga kau tetap menggenapi waktu hidupku – menjadi sahabatku dan sahabat semua orang - untuk saling berbagi rasa hormat dan kekaguman. Mungkin kita masih akan  tetap telefonan di tengah malam, tanpa takut kehilangan sepatu kaca – lalu  kereta kuda berubah menjadi tikus dan semangka. Biarkan saja waktu mengalirkan kita untuk kian tertunduk dan merasa, bahwa kita bukan siapa-siapa di dunia ini. Menjadi Upik Abu jauh lebih berharga karena tangan dan hatinya bekerja, daripada menjadi Cinderella yang hidup di alam simbol, di mana hidup tak pernah mempertanyakan kemana tujuannya.  Hari-hari bergulir tak bertujuan – sungguh  ini siksaan  berat untuk kita.


Kita bukan perempuan bersepatu kaca – cukuplah sepatu yang bisa dipakai untuk menjelajah semesta untuk melihat dunia luas sambil menenteng kamera – entah Fuji, Nikon, Canon atau merek Mak Inem – tak penting lagi.  Lalu, mata kita terpukau melihat keragaman di alam raya dan uniknya setiap sudut pandang manusia – memuliakan semua jiwa  dengan rasa hormat yang dalam. Semua manusia dalam alam raya ini memang alat peraga untuk menemukan Tuhan di dalam diri. Untuk semua ini saya masih belajar – berproses dan mencoba memaknai.


Pada suatu hari kita akan berkata – simbol  dan tubuh adalah hal usang untuk dibanggakan dan juga  sebagai pusat cerita. Demi Waktu, selamat tinggal langkah-langkah hampa. Kita akan mengukir jejak selanjutnya menyisipkan pesan untuk generasi sesudah kita. Semoga kelak kita meninggal dunia dengan hati terbuka  dan  perasaan bahagia.

Let’s go….!
Kita berangkat.

_____________                                                                                          
Bandung, 22 Juli 2014

*) Catatan : tulisan ini bukan resensi, tetapi hanya sambutan hangat  kelahiran buku, ‘Demi Waktu’ dari  seorang  sahabat yang sangat  mengasihimu...:)



Sabtu, 19 Juli 2014

Mozaik


3

Tembang Cianjuran

Kota kecil – Cianjur -  di masa itu tidak terlalu sesak.  Paling tidak, itulah kesan pertamaku ketika pertama kali melihat kota Cianjur. Kota Tasikmalaya lebih besar dan lebih ramai  dibandingkan kota Cianjur.   Kota Cianjur berada di sebelah Barat ibu kota Jawa Barat, Bandung, dan di timur Jakarta. Dalam pembagian wilayah di zaman Belanda dahulu, kota Cianjur masuk dalam wilayah Keresidenan Bogor, yang meliputi Sukabumi, Bogor dan Cianjur.  Inilah kota yang sering  aku dengar   lagunya dari radio :


Kan kuingat, di dalam hatiku
betapa indah semalam di Cianjur.


Di hampir setiap ujung jalan kota, becak mangkal. Tukang becak duduk-duduk di jok becaknya. Ada yang duduk bersama teman-temannya, menunggu penumpang sembari bermain kartu gapleh. Terkadang ada diantara  mereka bermain uang taruhan, semacam judi kecil-kecilan untuk memperoleh uang kejutan dalam permainan ini. Di beberapa jalan yang lebih lebar dan di keramaian mudah ditemukan delman sebagai sarana transportasi lain. Beberapa kusir  delman duduk terkantuk-kantuk dibelakang pantat kuda yang berdiri tenang sambil sesekali mengeluarkan kotorannya. Kusir delman tak peduli. Karena, bila kuda itu sudah tak mengeluarkan kotoran yang mengotori jalanan kota artinya hewan tempat bergantung hidupnya artinya sudah mati.

Biasanya yang menggunakan delman adalah orang yang pulang dari pasar, atau anak-anak sekolah yang patungan uang beramai-ramai – karena delman di Cianjur dibayar borongan, per kali kepergian, bukan membayar seperti angkutan kota. Tarif membayar  delman lebih mahal dibandingkan dengan becak – tentu saja, di samping kusir dan keluarganya harus makan, kuda yang menarik pedatinya juga harus makan.

Pletak-pletuk suara sepatu kuda,
“Shhrr…shhrr…! Ckk…..ckk…hush..!” suara mulut tukang delman di jalan. Sesekali ia mengayunkan cemetinya agar kuda yang loyo lebih cepat berlari. Kasihan sekali.  Coba kalau kuda dan kusir itu bertukar nasib, apa mau kusir dicambuk cemeti berulangkali? Mungkin bukan cuma meninggalkan perih di sekujur  tubuh, pasti akan nyeri juga di hati.

Aku suka melihat kuda yang berlari-lari di padang rumput, seperti di televisi – bukan di jalanan dengan sejumlah beban - apalagi dengan cambuk cemeti. Aku tidak terlalu tertarik pada pedati yang ditarik kuda, yang aku pikirkan adalah mengapa kuda-kuda itu berkaca mata?

“Ini kuda jantan, Neng..dia dikasih kaca mata, biar matanya tidak jelalatan mencari betina, hahahaha..” jelas kusir  sambil tertawa ketika aku naik delman pertama kali di Cianjur.
“Ini kuda playboy…!” lanjutnya cepat. Ibu hanya mesem. Ibu memang jarang tertawa terbahak. Hanya senyum.
“Benarkah..?” selidikku dengan muka serius. Aku sendiri tak mengerti apa arti kata playboy  ketika itu.
Kusir delman malah tertawa. Ibu akhirnya menukas,
“Ia hanya bercanda..”
Kusir delman yang masih muda, berbadan gendut dan bermuka bulat itu memang nampak periang dan humoris. Akhirnya, ia tak tega juga untuk memberi penjelasan padaku, mengapa kuda berkaca mata.
“Kuda diberi kacamata agar melihat lurus ke depan. Kalau tidak dikasih kacamata nanti susah dikendalikan. Kacamata ini gunanya agar dia selalu terarah.” Kali ini mukanya agak serius.  Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahku. Memang naik delman ini mengasyikan seperti sedang diayun-ayun, dininabobokan. Lalu aku membayangkan tentang orang jika memakai kaca mata kuda, ia akan kehilangan melihat  peluang dan kemungkinan. Sedikit sekali yang akan mereka ketahui, hanya ada satu  pemandangan -  di hadapan.

Becak, delman, angkutan kota hilir mudik di jalanan yang tidak terlalu padat – namanya juga kota kecil. Orang-orang berjalan berlalu lalang dengan tenang di trotoar. Pada masa itu, tidak banyak pedagang kaki lima yang merusak tata kota.  Dari jalan Mangunsarkoro hingga jalan Cokroaminoto  hanya berjajar toko-toko yang sebagian besar dimiliki oleh etnis Tionghoa.

 Di lampu merah jalanan di kota nyaris tak ada antrian. Polisi lalu-lintas bisa duduk  atau berdiri di perempatan jalan tanpa harus repot-repot meniupkan peluit, atau tangannya begitu sibuk memberi aba-aba -  kendaraan mana yang harus terlebih dahulu jalan, dan mana yang mestinya berhenti.

Cianjur kota yang tenang.  Tepatnya,  lebih cocok untuk  menjadi kota pensiunan atau kota para manula. Udara yang sejuk  dengan tanah yang subur, di mana para petani dengan gembira bercocok tanam, tanpa dipusingkan oleh permusuhan dengan iklim.  Sebagian besar penduduk Cianjur bekerja di sektor pertanian.  Sayur mayur dan buah-buahan berlimpah di sini dengan pesawahan yang menghampar luas. Sawah-sawah dapat ditanami  varitas padi yang hanya tumbuh di  beberapa tempat di Cianjur, dengan aroma yang wangi dan pulen. Orang menyebutnya beras Cianjur atau Pandanwangi.   Di sini, asal mau mengayunkan cangkulnya di sawah dan ladang, para petani di  Cianjur  tak akan pernah  kelaparan. Ternak-ternak tak akan pernah kekurangan rumput. Cipanas menjadi salah satu kecamatan utama di Cianjur menjadi salah satu andalan penyangga pangan untuk Cianjur kota hingga ke Jakarta.

 Nun di sana, ada gunung yang menarik perhatianku, seperti gunung Galunggung di Tasikmalaya – gunung Gede. Terbayang olehku, gerangan seperti apa satwa-satwa yang menghuninya, serta tetumbuhan dan pohon-pohon, perdu dan bunga-bunga liar yang menutupinya. Atau, mata air yang keluar dari balik bebatuan seperti yang sering kulihat di gambar-gambar.  Sementara, di  Cianjur bagian Selatan, yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, masyarakatnya sebagian kecil bekerja sebagai nelayan. Suatu hari aku ingin ke sana, melihat ombak bergulung-gulung, desiran angin dari laut dan melihat perahu nelayan timbul dan tenggelam dari kejauhan. Aku ingin membayangkan kisah perjalanan matahari di langit lalu tenggelam di lautan.

 Agaknya, lingkungan fisik , maksudku letak geografis bumi, seperti lanskap, musim, cuaca, suhu udara  Cianjur cukup memengaruhi perilaku secara umum penduduknya, termasuk di dalamnya pada bagaimana mereka berkomunikasi.  Orang-orang Cianjur pegunungan memiliki umumnya memiliki gaya tutur bicara dengan tempo yang lambat, dan juga gerakan tubuh yang tenang, ramah dan murah hati.  Itulah sebabnya mungkin, perdagangan besar dikuasai oleh para pendatang yang lebih ngotot pada kehidupan dan lebih pandai berkalkulasi bisnis.  Sedangkan penduduk dari  daerah Cianjur Selatan berbicara lebih lugas dengan tempo lebih cepat.

            Kau tahu? Cianjur juga terkenal dengan kota yang sangat agamis.  Sejak dahulu, kota ini terkenal dengan banyaknya ulama.  Mereka adalah pejuang-pejuang Islam dalam keheningan. Tak ada yang lebih didamba, kecuali  ingin mengabdi pada Tuhan-nya. Ulama-ulama inilah yang menjadi peneguh-peneguh para pejuang kemerdekaan. Kata-kata ulama demikian didengar,    tak heran pada setiap acara pengajian orang datang berduyun-duyun menghadirinya. Pesantren-pesantren bertebaran hingga pelosok-pelosok kampung, juga mesjid-mesjid dan surau. Karena itu suara azan bisa koor berbarengan   yang menyeruakan lantunan azan untuk kemudian  berimpitan di udara.  Tentu, karena banyak mesjid saling berdekatan.

Sayangnya, kehidupan keagamaan itu mulai terkikis ketika orang mulai memuja  kebendaan.   Benteng pertahanan budaya  – wilayah Cipanas -    dari arah Jakarta  mengikis, menghempas keheningan orang-orang Cianjur yang dahulu begitu tenang dan  bersahaja  bersalin rupa – perlahan memuja dunia. Di sisi lain,  media massa berkembang  seperti pisau bermata dua – membuka cakrawala  berpikir sekaligus menawarkan gaya hidup yang menjauhkan dari kearifan budaya.

  Karena itu – sekarang - bila waktu shalat tiba, sekalipun  udara masih tetap meriah, oleh latunan azan,  tetapi  yang mengikuti shalat berjamaah tidak sampai memenuhi mesjid. Dua shaf saja sudah sangat hebat. TEGUH BERIMAN…!  Apalagi  pada saat shalat subuh, hanya tertinggal beberapa orang yang sudah tua, sisanya adalah udara dingin serta angin yang masuk melalui pintu dan jendela mesjid.


***


Mesjid Agung Cianjur – di sanalah patokannya  jika kau  ingin berkunjung ke rumah kami dan atau menjahit baju kepada Ibuku. Mesjid itu ada di tengah-tengah kota yang menghadap ke alun-alun. Di seberang jalan sebelah  kiri ada pasar induk – dan di sebelah kanannya adalah kantor pemerintahan kabupaten. Di belakang kantor kabupaten itu ada rumah dinas bupati. Kantor pemerintahan kota bersisian dengan kantor pos yang ber-arsitektur art de co, peninggalan zaman Belanda. Jendela-jendela yang lebar dan tinggi berwarna cokelat akan selalu terbuka di siang hari, kau akan melihat orang-orang berjubel di sana –mengantarkan surat kepada kerabat atau para kekasih, dan sahabat pena. Di sana ada orang yang mencairkan wesel pos, kiriman uang. Para penerima wajahnya sumringah dan hatinya berbunga-bunga.

            Aku senantiasa terpukau dengan jendela besar dan terbuka, seperti gedung kantor pos.  Sepertinya, jika aku punya rumah seperti itu akan hangat oleh cahaya. Tetapi rumahku jendelanya hanya terbuat dari kaca nako. Rumahku bercat warna merah muda,  paling mungil di seantero jalan, tetapi pekarangan rumah kami agak luas dibandingkan dengan para tetangga.  Cukuplah rumah sebesar itu untuk tempat tinggal kami berdua, tiga kamar tidur, satu dapur dan dua kamar mandi. Ada ruang tamu, ruang keluarga dan paviliun. Di paviliun itu Ibu  menerima jahitan. Dan di depan rumah terpampang plang :





ESTETIKA TAILOR
MENERIMA JAHITAN BAJU ANAK DAN WANITA





           






Mozaik

                                    2

                     Menyusun Puzzle

 Bis   yang membawa kami melaju meninggalkan batas kota.    Jalan yang berkelok-kelok, menikung, menanjak dan menurun menyambut perjalanan ini. Bis jurusan Ciamis – Jakarta ini sarat muatan. Penumpang dengan hampir seluruh usia ada di sini -  mulai anak kecil  hingga kakek-nenek, tak terkecuali.  Kami duduk di bangku dekat pintu.   Rambutku yang panjang dan lurus dikepang dua. Aku memakai baju berwarna merah muda, bertali pinggang  dengan sepatu berwarna hitam.  Ibu memakai baju dengan motif bunga-bunga, rambutnya yang panjang disanggulkan.  Begitu anggun. Ia duduk  di sampingku, terkadang ia mengelus-elus kepalaku penuh kasih  ketika kusandarkan tubuhku padanya sambil memerhatikan lalu lalang penumpang dihadapan, dan membaca suasana dengan pikirannya.

“Kita akan melihat dan menghadapi kehidupan yang sesungguhnya, Mira,” katanya sambil tersenyum lembut tetapi  tersirat   kesedihan dari raut mukanya.  Namun kalimatnya yang tercekat dan bergetar membuatku tahu, sesungguhnya Ibu masih  menyimpan kepedihan di ruang jiwanya yang maha dalam.   Ucapan yang terlontar untukku  hanya kalimat peneguhan, juga menguatkan hatinya sendiri. Aku sudah sangat mengenal Ibu.

Baris bangku dekat pintu  tengah bukan tempat yang strategis, karena pintu sering terbuka untuk naik dan turun penumpang dan angin  telalu besar di sini. Tetapi kami tak banyak pilihan, karena kami bukan penumpang yang pertama kali naik saat kursi kosong masih begitu banyak tersedia. Ada beberapa bangku di belakang, tetapi Ibu sudah memperhitungkan, pasti duduk di bangku baris belakang guncangan bis akan terasa lebih kuat dan akan terasa lebih melelahkan untuk perjalanan yang relatif cukup panjang.

 Bis yang kutumpangi berwarna putih biru, dengan tirai dari kain berwarna merah  cabe mengkilat  yang dapat ditutup dan dibuka kapan saja - ketika penumpang mulai terganggu oleh sengatan cahaya matahari.  Sebenarnya, tirai  warna merah cabe  mengkilat  tak cocok  sebagai tirai dengan paparan cahaya matahari yang kuat nanti di siang hari. Warna merah cabe mengkilat  di terik matahari yang menembus kaca akan menambah  ketajaman cahaya. Aura warna ini akan semakin meletihkan perjalanan. Mungkin pemilik bis ini tidak sempat menimbang psikologi warna, dan  pengaruhnya untuk penumpang.

Aku membuka tirai itu sepanjang perjalanan. Aku tak suka  tirai tertutup, kecuali malam hari. Aku senang melihat aneka pemandangan dari balik jendela, karena  aku senang melihat kehidupan.  Di sepanjang perjalanan, pohon-pohon di kiri dan kanan seakan berlarian. Seakan berkejaran. Sementara matahari pagi  tak henti  terus mengikuti dari balik kaca jendela, cahayanya berkelebat membentuk bentuk-bentuk siluet abstrak yang berubah-rubah, tergantung kepada benda yang menghalangi di sepanjang perjalanan diantara aku dan matahari.

Kondektur  yang berbadan ceking, berambut lurus dan berumur sekitar tiga puluhan,  berdiri di pintu dan mengacung-acungkan tangannya di jalanan ketika  bis sedang melaju. Kadang ia turun di pertigaan atau perempatan jalan untuk menyelidik situasi, barangkali ada calon penumpang yang akan pergi.

“Jakarta…Jakarta…Bandung…Cianjur…Bogor…”
Ya, bis ini memang menuju Jakarta via Puncak.
Terkadang kondektur  berlari-lari kecil  ketika sopir bis menekan gas mobil pelan-pelan,
“Hayuuu..tariik Piir…!”  sambil meloncat. Maksudnya, jalan  lagi Sopir..

 Wajah kondektur itu  menyemu menghitam karena terlalu sering ditabrak angin kencang jalanan dari laju bis yang menyeruak menghantam udara,  dan panas matahari karena acapkali berdiri di pintu bis.   Bayangkan, dari Ciamis sampai Jakarta pulang-pergi. Hampir begitu setiap hari.  Seandainya wajah itu dioles susu pembersih wajah dan diusap kapas putih, mungkin akan terlihat dikapas  wajahnya ternyata penuh dengan debu-debu hitam selayak jelaga. Entah seberapa banyak dan  seberapa dalam komedo yang membenam di wajahnya.  Untunglah, ia bukan lelaki metroseksual. Lelaki-lelaki metroseksual tak akan ada yang sanggup melakukan pekerjaan semacam kondektur atau sopir bis.  Penghasilan sopir bis dan kondektur dan jenis pekerjaan ini tak akan cukup untuk membiayai gaya hidup lelaki tukang gaya.

Perjalanan terasa begitu lambat karena bis sering berhenti menaik dan menurunkan penumpang. Terkadang sesekali sopir yang tak begitu kuperhatikan dengan cermat raut wajahnya menghentikan laju mobil, menyuruh kondektur membelikan rokok ke warung pinggir jalan.

Beberapa penumpang mulai menggerutu dan mengutuki   kerakusan kondektur bis  memasukkan muatan. Sebagian pasrah saja, dan membiarkannya seolah semua hal yang wajar adanya. Di sisi lain, bolehkah aku memuji?  Ia sungguh   kondektur yang gigih. Sejatinya seperti itulah seorang lelaki sejati -  pekerja keras dan memosisikan diri untuk menjadi  pejuang-pejuang dalam kehidupan.  Sayangnya, ia terlalu  mementingkan diri sendiri.

Tak lama,  bis pun mulai penuh – orang berdiri - sampai ke lorong-lorong. Penumpang berjejal  seperti ikan pindang dalam dandang. Bau parfum murahan menyeruak tertiup angin bersatu dengan bau ketek orang yang jarang mandi, asap rokok,  serta bau minyak angin PPO terhisap di hidung. Bis ini  sungguh berjuta rasanya.

Kondektur pun tersenyum. Ia sudah menghitung keuntungan di depan mata.
Semua kepala dikali dengan rupiah. Oh, ya..soal nyawa, sopir dan kondektur sudah lupa masuk dalam daftar perjalanan. Kenyamanan? Persetan dengan kenyamanan.  Ini masyarakat kelas tiga, Bung! Jangan belagu  sok orang kaya. Nyaman dan tidak nyaman itu soal perasaan.  Siapa yang memuja kenyamanan dan tenggelam di dalam kemewahan  dikehidupan, ketika menghadapi kesulitan ia  tak akan mampu bertahan. Menumpang bis ini  salah satu latihannya.  O lala…!

Sopir bis dan kondektur ini  mirip sekali  dengan oknum  politikus dan pemimpin negeri yang menghitung kepala manusia sebagai jembatan yang memuluskannya mencapai kekuasaan dan keuntungan pribadi. Mereka adalah para pengemudi dan pengawal yang memberi arah pada negara. Dan penumpang yang ada di dalam bis ini adalah rakyat kebanyakan, yang biasanya dijadikan sasaran pencarian suara dukungan.  Tokh,  di negeri ini harga suara yang tidak berpikir dan berpikir itu sama saja. Membeli suara juga hal yang sangat biasa.  Kata Machiavelli, politik itu kotor. Dan untuk mencapai tujuan politik dihalalkan menggunakan cara apa pun. Boleh jadi, banyak calon politisi dan politisi yang mengadopsi paham Machiavelli – termasuk diantaranya sang kondektur. Tetapi, apakah dia pernah mengenal Machiavelli? Kalau dia mendalami Machiavelli ia akan jadi politisi, bukan jadi kondektur.

Nu alit dipangkon..nu alit dipangkon..![1] kata kondektur sambil mendelik ke arah Ibu. Ibu paham, itu artinya sama dengan – agar aku digendong, dan berbagi tempat duduk untuk penumpang lain.

“Di hitung dua..” tegas Ibu.  


Maaf, kami bukan ikan pindang..!


Seorang perempuan muda dengan gincu merah dan baju merah menyala yang  berdiri di lorong tepat di samping duduk kami    berkata pada Ibu,

“ Saya yang gendong putri Ibu, agar saya bisa duduk. Ibu juga akan untung bisa bayar satu,” rajuknya.  Ia sudah melihat kemungkinan – tak akan  tahan akan berdiri begitu lama. Ia akan pergi ke Bandung

Ibu tersenyum.

“Terima kasih. Mohon maaf, Dik..anak saya sering mabuk dalam perjalanan. Ini akan sangat merepotkan,” jawab Ibu sopan.  Ibu nampak benar-benar ingin melindungiku, seperti induk ayam yang akan marah jika anak-anaknya diganggu.

Sontak perempuan itu segera bermuka kecut. Ia tak akan mengambil resiko sebesar itu, mengambil tanggung jawab pada anak perempuan pemabuk. Eh..! maksudku suka muntah dalam perjalanan.

Untuk sementara, aku masih baik-baik saja. Sebagian  penumpang mulai membuka perbekalannya dari rumah, leupeut,  rempeyek dan telor rebus. Ada di antaranya yang  berbekal ayam goreng. Mungkin menyembelih ayam dari kandang di rumahnya kemarin sebagai bekal perjalanan pergi ke tempat yang jauh untuk menghemat uang, agar tidak jajan.  Maklum, di setiap perhentian, bis ini akan diserbu oleh pedagang asongan. Atau, ketika awak bis ini berhenti untuk makan, jika tidak membawa bekal dari rumah akan tergoda untuk ikut makan di rumah makan tersebut.  Mereka orang-orang yang hemat, teteh, akang..!

Sebenarnya, Tasikmalaya-Jakarta tidak terlalu jauh, apalagi ke Cianjur, tidak sampai dua ratus kilometer.  Hanya medan jalannya saja diantara Tasikmalaya- batas Bandung menanjak, berkelok-kelok  dengan lebar jalan yang sempit dan cukup sulit mengendarai mobil di sini. Mereka yang mengendarai mobil di sini haruslah orang yang sudah sangat pengalaman dan trampil.

Aku mulai oleng, ketika bis mencapai tanjakan Gentong. Beberapa penumpang mabuk. Aku tak tahan. Aku muntah.  Boleh jadi, muntah adalah   semacam sugesti  menular akibat menghirup udara yang bersenyawa dengan keluarnya isi perut juga asap dari rokok kretek dan bau berjuta rasa itu.  Lelaki-lelaki semakin banyak yang merokok tanpa belas kasihan kepada penumpang lainnya. Sungguh mereka adalah lelaki-lelaki penyembah egonya sendiri yang tega mendzalimi orang-orang dengan asapnya yang menyesakkan dada. Beberapa orang terbatuk-batuk mengisap asap, tetapi para perokok itu tak peduli.  Jendela  bis dan pintu yang terbuka menyediakan jalan untuk angin dan  membantuku untuk menepis asap rokok.  Tetapi itu membuatku masuk angin dan menyumbang penderitaan yang lainnya.   Aku benci rokok.  Aku  benci asap rokok.  Tetapi aku harus bertahan.  

Mabuk, itulah yang paling aku malas melakukan perjalanan. Karenanya, sekalipun Ibu terkadang pulang ke kampung halamannya di Cianjur – aku hampir tidak ingin ikut serta, kalau tidak terpaksa. Sepanjang hidup, sampai usiaku sekarang dua belas – aku baru empat kali datang ke rumah mendiang kakek dan nenekku, semasa mereka hidup. Itu pun dengan biaya cukup tinggi jika harus menyertakan aku, karena Ayah harus menyewa mobil. Sekarang, kami harus berhemat. Tak boleh ada pengeluaran besar, kecuali mendesak.  Kehidupan kami telah jauh berubah.

Sebenarnya,  sebelum naik bis, Ibu telah memberiku obat anti mabuk. Pemandangan bukit  dan sawah-sawah di sisi kanan-kiri jalan sudah tak lagi memberiku hiburan untuk mengalihkan perhatian agar aku lupa dari rasa mual yang menyergap dan keinginan muntah. Hanya minyak kayu putih yang diusap-usapkan Ibu ke tubuhku yang cukup meredakan penderitaan.

Beberapa kali sopir mengucapkan sumpah serapah mengabsen nama-nama binatang yang amat dikenal  karena motor nyalip seenaknya, atau tiba-tiba diperempatan jalan  mobil nyelonong  tanpa lihat kiri-kanan. Belok tanpa lampu signs.  Kadang keluar juga umpatan khas orang Ciamis atau Tasikmalaya,

Kehed siah..bebel..!”

            “Sabar, ya, nanti sebentar lagi sampai..,” kata Ibu menyemangati.

            Yang disebut sebentar lagi itu begitu lama. Ibu hanya memberiku penghiburan serta harapan yang sebenarnya masih jauh akan sampai.   Bis  tua itu  terseok dan seakan tanpa tenaga  menanjak di tanjakan  Nagreg yang tanjakannya ekstrim dan turunnya curam.  Ini tanjakan yang paling berbahaya di  jalur selatan, jalan protokol Jawa Barat yang menghubungkan Bandung dengan daerah Priangan Timur.

 Hari itu kendaraan cukup padat. Mungkin karena musim libur. Kami memang sengaja menunda ke Cianjur sampai ijazah sekolah dasar  terbit. Segerombolan anak-anak  terlihat membawa kayu pengganjal di tanjakan Nagreg. Terdengar aneh, bukan? Tetapi, untuk mobil yang rem tangannya tidak bekerja optimal, dan muatan berat di tanjakan ini mobil bisa-bisa  meluncur mundur tak terkendali dan menabrak kendaraan lain di belakangnya.

Kondektur bis berteriak-teriak memanggil anak-anak.  Dengan sigap anak-anak itu mengganjal ban saat bis tiba-tiba harus berhenti di tengah tanjakan. Mereka benar-benar piawai membaca gerakan bis, kapan harus diganjal dan kapan harus dilepas, sampai bis nanti mencapai ujung tanjakan dan meluncur bebas tanpa kendala yang berarti. Setelah aman, kondektur  memberikan sejumlah uang kepada para anak-anak itu.

Mobil berhenti sejenak seusai tanjakan Nagreg. Mesin mobil sepertinya sudah panas, sepanas suhu udara yang ada di dalam mobil. Kami seperti ikan dalam akuarium yang kehabisan oksigen dan air yang sudah mengeruh. Sejumlah penumpang membuka jendelanya lebar-lebar dan melongokkan kepala keluar jendela mencari udara.  Ada yang mengipasi tubuhnya dengan kipas kertas kerajinan Rajapolah, Tasikmalaya.  Sejumlah penumpang tak henti menyusut keringatnya dengan sapu tangan atau handuk yang sudah tak terlihat kekuningan.

“Borondong..borondong…dodol…dodol…!” Sejumlah pedagang asong menawarkan dagangannya dari balik jendela. Beberapa diantaranya mencoba masuk, tepatnya memaksa masuk.   Oh, masih di Garut.  Aku hafal, karena borondong dan dodol adalah makanan khas kabupaten Garut.  Aku tak memerhatikan situasinya. Aku pusing…

Kepalaku  terasa semakin berat, perutku  mual kembali. Sepertinya, aku akan mengeluarkan isi perut lagi.  Tiba-tiba, aku teringat sesuatu – batu pusaka dari Truna.Lalu aku mencari-cari batu itu di tasku. Batu hitam sebesar kelereng berbentuk bulat   kugenggam erat-erat.  Sambil tetap menggenggam batu,  kubayangkan ikan-ikan kecil di sungai yang berenang-renang mengikuti aliran air. Ketika aku mual, aku membayangkan sekuntum bunga yang hanyut, sambil mencoba membayangkan, di mana dia akan tersangkut.  Aku seraya berdo’a, semoga ia dapat melalui muara, agar kelak bunga itu mencapai  samudera. Setelah itu, ternyata berhasil.

 Dimulai dari batu kecil hitam itu  aku belajar,  ketika sedang menderita dan menyedihkan, kenanglah yang indah-indah, atau yang membuat tersenyum…


When you change your thoughts, you change your world…


Cicalengka, Rancaekek, dan Bandung telah di lewati. Perjalanan telah sampai ke Tagog Apu. Asap- asap dari pabrik batu kapur memuntahkan jelaga ke udara di antara bukit-bukit kapur yang berdiri tegak menatap langit.  Inilah  artefak-artefak  geologi peninggalan danau Bandung purba.  Bukit-bukit kapur dan marmer ini membuktikan sebuah perjalanan panjang geologis selama ribuan  bahkan jutaan tahun yang lalu. 

Kecepatan bis melambat ketika akan mencapai terminal Muka.  Matahari jam dua belas  memantul di kaca menyilaukan mata. Pedagang-pedagang asongan berlompatan naik ke pintu bis seperti belalang, lalu berteriak-teriak keras  menjajakan dagangan memanfaatkan perjalanan para penumpang. Mesti orang pergi membawa uang. Mungkin ada di antara mereka yang akan membawa oleh-oleh atau sekedar membeli camilan untuk membunuh kebosanan dalam perjalanan. Ya, barangkali saja.  Semoga para penumpang yang super hemat setengah mati sudah turun semua, dan berganti penumpang-penumpang yang merelakan uangnya agar bisa memutar roda ekonomi.

 “Tauco..tauco..!Moci kacang.. moci kacang..! rarokona..rokok..rokooooookkkkk..!!” 
Kerumunan pedagang tak tahu sopan santun mendesak-desak penumpang-penumpang yang akan turun dan yang sedang menyiapkan barang bawaannya. Pedagang-pedagang itu berjuang dengan kegigihan  yang luar biasa.  Pengemis perempuan  setengah baya tak ketinggalan masuk ke bis memasang wajah memelas,

“Kasihan..Neng, Bapak, Ibu…sedekahnya…sedekahnyaa…”

 Dan ini, apa lagi..! Seorang lelaki muda memakai topi haji dan bersarung pengedar kotak amal,
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Innalhamdulillah, nahmaduhuu wa nasta’iinuhuu wa nastaghfiruhu wa na’udzubillahaahi min syuruuri ‘anfusinaa wa min syayyi-aati a’maalinaa man yahdillaahu falaa mudhillalahu wa man yudhlilhu falaa haadiyalahu.”
Setelah itu ia mengucapkan dua kalimat syahadat, dan melanjutkan kalimatnya :
“Kami dari panitia pembangunan mesjid Al Ittihad, yang beralamat di Rangkasbitung, datang mengetuk hati para penumpang  bis yang budiman, untuk menyisihkan infaq dan shadaqohnya, ber-amal jariah. Barangsiapa yang membangun mesjid-mesjid Allah, maka kelak Allah akan memberi pahala dengan membangunkan istana di Surga.!”

            Entahlah, pengedar kotak amal benar-benar panitia pembangunan mesjid atau bukan? Terlalu banyak pedagang agama di negeri ini.

Seekor ayam jantan yang  kedua kakinya yang diikat tali rafia kepalanya terkulai lemas di ketiak seorang lelaki  tua berbaju putih kusam dengan jenggot dan kumis yang tak terurus, dan hampir menutup seluruh bibirnya. Rambutnya sudah keriting, acak-acakkan pula. Entah berapa lama rambut itu tak bersentuhan dengan sisir.  Sepertinya, lelaki  tua itu menduga, ayam jagonya lemas   tersiksa karena kakinya diikat.  Lelaki itu duduk kembali sejenak di kursi, dan membuka ikatan di kaki ayam.

Benar saja, sontak ketika ikatan itu terbuka, ayam jago seolah memiliki kekuatan hebat. Ia lepas dari tangan si lelaki tua itu, melompat-lompat di antara kursi dan kepala para penumpang, masuk dan berlari-lari  di kolong-kolong kursi. Semua orang di bis itu menjadi gaduh dan ribut lalu mengumpat-umpat ayam. Ketika lelaki tua itu mencoba mengejar ayam,  beberapa orang terjatuh. Anak kecil menangis karena kakinya terinjak. Lelaki tua itu rubuh ketika kepalanya membentur keranjang pedagang asongan.

“Bruuuk…!”

Ia lalu  terjatuh.

Sesungguhnya, hiruk pikuk di dalam bis, dan lalu lintas di jalanan, menyembulkan realitas kehidupan masyarakat di negeri ini.  Inilah potret perangai mental  dan kehidupan orang Indonesia yang asli. Konon,   jika ingin menatap budaya  sebuah negeri, cukuplah, lihat bagaimana tingkah laku para pengguna jalan raya. Jika ingin melihat salah satu  gambaran  salah urus negeri ini, cukuplah melihat infrastruktur jalan dan angkutan umum. Di sanalah wajah   Indonesia. Ibu benar, aku sekarang telah melihat  salah satu serpihan refleksi kehidupan di tanah air kita.

  Aku tak tahu, bagaimana kejadian selanjutnya. Ayam pergi ke mana? Sudah tertangkap atau belum? Dan bagaimana nasib lelaki tua itu?  Kami telah turun. Tentu saja, kami lekas turun, karena duduk dekat pintu, dan tak membawa banyak barang. Hanya baju yang lekat di badan  dan tas saja. Itulah sebabnya, kami tak terlalu berpayah-payah keluar dari himpitan penumpang yang akan turun dan  naik , yang berebut keluar-masuk di pintu, kalau perlu saling menyikut. Kami agak melenggang, karena barang-barang dari rumah di Tasikmalaya akan datang minggu depan, diangkut dengan  menggunakan truk.

Tangan ibu menggenggamku keluar dari terminal. Kami berjalan berdua menyeruak di antara lalu lalang orang. Aku tertabrak seorang pedagang asongan. Batu hitam kecilku jatuh, lalu ketendang seseorang. Aku menghentikan langkah dengan perasaan gelisah.

“Ada apa?” tanya Ibu.
“Batu yang dibawa dari sungai jatuh..”
“Lupakan saja, di sini pasti ada batu lainnya yang serupa,” hibur Ibu enteng.
Ringannya kalimat Ibu yang menggampangkan keterkaitan emosiku pada batu itu membuatku  marah. Mungkin aku capek, membuatku mudah meletup emosi.
              “Aku mau batu dari sungai  itu, bukan batu yang ada di sini..!” mataku mulai memerah.
Ibu menghentikan langkahnya, dan melepaskan pegangan tangannya di jemariku.
              “Mira, please jangan mengada-ada. Jangan membiasakan dirimu terikat pada benda.”

              Aku tak mau mendengar kata-kata Ibu. Aku melepaskan diriku dan menjauh dari Ibu sambil mataku mencari, dan terus mencari batu itu. Ibu berdiri mematung sambil geleng-geleng kepala. Ibu yang kelelahan dalam perjalanan dan terik matahari Cianjur yang mulai membakar  kepala bisa saja membuat kemarahannya meledak. Tetapi, ia tidak melakukannya. Ia hanya berdiri dan melihatku dari kejauhan.    Ibu selalu berkata lembut dan memaparkan alasan yang mungkin bagi kebanyakan orang yang sudah dewasa terasa bijak, matang dan dalam, tetapi ditelingaku  terdengar kurang berani, dan kurang gigih meraih kemungkinan menang dan mendapatkan sesuatu. Termasuk ketika sekarang aku kehilangan batu itu.  Aku harus menemukannya…!

             Kusikapkan sampah plastik, koran bekas bungkusan  makanan yang berceceran di pelataran terminal tempat aku mengira-ngira jatuh. Terminal ini memang kotor, banyak sampah berserakan. Aku melihat langkah-langkah kaki orang, barangkali saja ada terinjak atau tertutupi oleh kakinya.  Aku mencari dan terus mencari berkeliling, diantara orang-orang yang tidak peduli.  Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit. Aku tak akan menyerah. Ibu menatapku dan mulai gelisah. Ia menghampiriku dan aku sudah tahu apa yang akan dikatakannya, pasti kembali pada kalimat pertama tadi yang telah diucapkannya, “Lupakan saja, di sini pasti ada batu yang lainnya yang serupa.”

              “Apa yang kau cari, Nak?” tanya seorang lelaki menjelang setengah baya berbaju batik cokelat dengan lembut. Aku mendongakkan kepala. Lelaki itu berperawakan sedang, berkulit sawo matang dengan rambut lurus yang disisir rapi. Tatapan matanya teduh, raut wajah yang sabar.

              Orang Amerika selalu mengajarkan dan mengingatkan anak-anaknya, “Jangan berbicara dengan orang asing.” Tetapi Ibuku selalu berkata, bersikap sopanlah pada orang asing dan  banyaklah mendengarkan.   Biarkan orang asing lebih banyak berbicara, dengan begitu  kita akan  mengetahui maksud dan siapa  mereka.   Keterampilan mendengarkan jauh lebih penting daripada kepandaian berbicara.  Berbicaralah seperlunya, dan jawablah secukupnya. Banyaklah tersenyum.

              Tapi aku tak bisa tersenyum kali ini,  aku terlalu cemas tak menemukan batu hitam kecilku. Mataku berlinang.  Aku hanya bisa menjawab secukupnya,
              “Aku mencari batu hitam yang jatuh tadi.”
              “Di mana tadi jatuhnya?”
              “ Di sekitar sini.”
              “Sebesar apa batunya?”
              “Sebesar kelereng, berbentuk bulat.”

              Lelaki itu tak banyak bertanya lagi. Ia  sibuk membantuku mencari batu. Ibuku yang sudah mendekat menampakkan wajah yang rikuh dan malu atas bantuan bapak itu. Ibuku malu, karena lelaki itu menunjukkan empatinya yang penuh kepada anaknya.
              “Mohon maaf, jadi ikut  repot..” kata Ibuku sopan  sambil mendekat.
Lelaki itu tersenyum,
              “Tak apa…”
Lelaki itu mencari dengan mata setajam elang, dan gerakan tubuh yang tenang, setenang aliran sungai yang dalam. Ia melangkah perlahan di sekeliling, terkadang tubuhnya membungkuk dan menyibakkan sampah dengan perlahan. Sampah yang tersibak di sekitar dirinya  ia pungut, lalu  dikumpulkan dan kemudian dibuang ke tempat sampah.

              Ibu jadi ikut mencari.  Mungkin malu kepada lelaki itu yang lebih empati, padahal ini anaknya sendiri. Beberapa orang bertanya pada Ibu, apa yang ia cari?  Ketika Ibu menjawab sebuah batu kecil hitam bulat, mereka tertawa. Ada orang yang menyangka Ibu seorang dukun, dan jimatnya hilang.  Ibu hanya tertawa, dan berkata bahwa itu batu milik anaknya sambil menunjuk padaku.  Tetapi, ia melihat Ibu dengan tatap tak percaya. Bisa dimengerti, bagaimana kita bisa mempercayai orang yang bertemu selewat saja. Moralitas seseorang dapat diketahui setelah waktu yang panjang hidup bersama. Seperti ketabahan seseorang dapat dilihat ketika kemalangan menimpanya. Juga, kebijaksanaan seseorang dapat diketahui melalui rentang percakapan yang lama, dan semua itu dibangun bertahun-tahun lamanya melalui interaksi langsung dan mengamatinya dari dekat. Jadi kalau orang selewat mengembangkan prasangka, ya, dimaklumi saja. Apa yang bisa dipercaya pada orang selewat, apalagi untuk alasan pencarian batu pusaka.

              “Ini bukan?”
Lelaki itu memperlihatkan batu di tangannya. Aku terlonjak..! Mataku yang mulai membasah segera kuseka. Ia lelaki yang hebat. Bagai seseorang yang bisa menemukan jarum di tengah tumpukan jerami. Entah dengan mata dan kekuatan apa yang membuatnya bisa menemukan batu yang tidak pernah dilihat sebelumnya.

              “Benar..! Terima kasih.”  Mataku berbinar. Aku bahagia. Aku merasa tak penting lagi ia menemukan di mana? Yang paling penting bagiku batu itu sudah ada di tanganku. Mungkin kelak batu itu akan menjadi penyelamatku saat-saat berat di perjalanan selanjutnya  seandainya aku mabuk. Kukira, mulai saat ini,  ia memang telah berubah jadi jimat.

              Ibuku  membungkukkan badannya untuk menunjukkan rasa terima kasih yang dalam, seraya memohon maaf telah merepotkannya. Perasaan, ini sudah kedua kalinya Ibu mengucapkan kalimat yang sama pada lelaki itu.  Inilah kalimat yang diajarkan Ibu sejak aku balita sampai sekarang, mengucapkan dua kalimat sopan santun dan etika paling mendasar  dalam hubungan antar manusia, menyegerakan menyampaikan ucapan terima kasih bila diberi kebaikan, dan segera meminta maaf jika telah melakukan kesalahan.  Orang yang lidahnya kelu mengatakan dua kalimat ini, hatinya telah kotor dan membatu.

              Lelaki itu menyambut kalimat Ibu dengan senyuman dan berlalu.  Ternyata pria asing ini bahkan lebih hemat kata-katanya dibanding dengan Ibu.  Ia  bertindak untuk menyelesaikan – mencari dan menemukan -  soal batu itu, dan meredakan kesedihanku dengan aksi dan kegigihan, bukan sekedar kata-kata penghiburan.

              Mungkin kau pernah mendengar, barang siapa yang mencari akan menemukan. Walaupun entah tangan siapa yang  akan menemukan, belum tentu diri kita sendiri.   Jika kau tak dapat menemukannya juga setelah keras upaya pencarian, setidaknya kau akan menemukan makna di ujung batas kekuatan manusiawi.

              Ibu menggamit lenganku dan mengingatkan  agar aku menyimpan batu itu di dalam tas agar tak hilang. Tak ada gerutuan yang keluar dari mulutnya. Ibu memang jarang marah, juga jarang menggerutu.  Kami  terus berjalan keluar terminal mencari angkutan umum untuk mencapai rumah.


Ah, Ibu memang selalu begitu. Menarik dan mengulurku dalam mengajari segala sesuatu di  kehidupan ini seperti bermain layang-layang.  Kadang aku diproteksi sekuat hati, kadang aku dilepas sambil diamati. Esok lusa, aku ingin  menjelajah  dalam kehidupan ini, bukan sebagai layang-layang Ibu, aku ingin menjadi burung elang..!










[1] Artinya, yang kecil digendong.