Rencana
Tuhan seperti apa yang diberikan Tuhan padaku? Atau bahkan sebenarnya aku
sendiri yang merancang hidupku? Sungguh ini teka-teki hidup yang tak pernah aku
ingin pertanyakan dan aku tak ingin
menjelajah sebuah misteri besar tentang masa depan. Tetapi, kenyataannya, aku saat ini telah
berada di Pulau Sumba. Bagiku, Sumba bukan cerita tentang masa depan. Aku
terlempar jauh pada abad-abad terbelakang.
Jauh,
sebelum pesawat mendarat dalam penerbangan dari Kupang, suamiku menunjukkan sesuatu padaku di atas langit
setelah pesawat kecil yang kami tumpangi hampir mendekat Sumba. “Itu padang-pada savanna..” Aku tersentak. Aku membayangkan di sana ada
kambing, sapi dan kuda bergerombol meikmati rumput dan desau angin yang
menyentuh reranting serta dedaunan. Atau mungkin derak-derak bebatang pohon
kecil yang melenguh dipaksa menari sang
bayu. Entahlah. Aku selalu merindukan kedamaian-kedamaian yang bersahaja itu.
“Jenis
pesawat seperti ini kalau mendarat akan
terasa menakutkan untuk Mama..” ujar suamiku sedikit menakuti. Aku paham, suamiku sempat
menjadi seorang aircraft engineer selama
belasan tahun, ia sangat hafal dengan berbagai tipe jenis pesawat dan
karakter masing-masing. Aku sudah bersiap-siap dengan memegang tangan suamiku
erat-erat, untuk menenangkan perasaanku. Benar saja,
pesawat ini mendarat dengan cara yang membuat aku dag dig dug. Suamiku tertawa
kecil demi melihat kegugupanku.
Bandara
Tambolaka. Ya, dari sini petualangan akan dimulai. Begitu keluar dari Bandara yang mungil ini,
hawa eksotis sudah mulai terasa. Rumah-rumah sederhana penduduk di antara
pohon-pohon jambu mete. Jambu mete adalah buah lokal yang menjadi andalan
penduduk pulau ini. Sayangnya, tanah –tanah pertanian di Sumba banyak yang
terlantar.
Dari
balik jendela mobil yang menjemput kami, aku melihat lelaki di sini semuanya menyisipkan
golok di pinggangnya. Pemandangan yang membuatku takut. Dan, di Sumba, kematian dan kehidupan seolah tak berjarak,
karena semua penduduk di sini menguburkan anggota keluarganya di halaman rumah.
Anak-anak suku Kodi |
Ketika
mobil semakin masuk ke pedalaman, hawa kesedihan semakin menusuk perasaan. Aku
tak tahan melihat anak-anak kecil telanjang, kudisan, kurus dan nyaris tak
terurus. Mereka berlari-lari di halaman rumah-rumah yang sederhana. Tak ada
sekat yang berarti untuk melindungi diri dari panas dan hujan. Anak-anak itu
cukup mengaduk-aduk perasaan. Para orang tua nampak banyak yang duduk-duduk
berleha-leha, tak banyak yang dikerjakan. Entahlah, atau karena aku datang ke
sana setelah mereka pulang berladang? Mereka hidup begitu sederhana, jauh dari
kelayakan. Teman suamiku mengingatkan,
“Jangan-jangan
kitalah yang harus menyedihkan diri sendiri, karena terlalu banyak dijajah oleh
keinginan. Mungkin mereka jauh lebih bahagia dibanding kita.”
Pemandangan seperti ini amat lazim di Sumba |
Yang paling mengasyikanku tatkala melihat
anak-anak kecil sudah pandai menunggang kuda, dan juga aku melihat di Sumba,
seolah peradaban baru saja dimulai. Sekalipun golok-golok ada di pinggang
mereka, mereka begitu ramah. Mereka masyarakat yang berhati lembut.
Suku Kodi yang sedang duduk-duduk di depan rumahnya |
Aku cepat akrab dengan anak-anak. Di mana-mana,
anak-anak mengelilingiku. Mereka
anak-anak yang lucu, walaupun aku agak tak tahan dengan tubuhnya yang bau
karena jarang mandi. Tetapi tawanya itu sudah membuatku melupakan bahwa mereka
bau. Begitu banyak anak-anak kecil di sini, di Kodi
Utara. Konon menurut sopir yang sekaligus menjadi guide kami, anak-anak itu
bisa dari satu bapak. Karena di Sumba, orang poligami sudah biasa. Bahkan ada
yang istrinya sampai 12 orang. Tetapi, mahar untuk perempuan di sini sangat mahal
sekali, bisa sampai 100 ekor hewan, antara lain kuda, babi dan sapi. Tergantung kemampuan menawar juga, sih. Tetapi perlahan-lahan adat yang memberatkan ini sudah mulai ditinggalkan.
O’ya..sebagian
penduduk Sumba beragama Marapu. Sekalipun agama Kristen sudah masuk dan banyak
orang Sumba masuk Kristen, tetapi bukan berarti budayanya ditinggalkan. Budaya
bahkan lebih kuat dibanding dengan agama itu sendiri. Karena itu
kuburan-kuburan itu masih mengadopsi kuburan adat seperti bangunan zaman megalitikum, namun sekarang bangunan makam itu bukan dari batu, melainkan
sudah di semen.
Sebuah muara sungai di Kodi Utara |
Aku
sempat pergi ke makam raja di Kodi Utara, di pinggir pantai yang sangat indah.
Sumba memang indah. Sangat indah. Tetapi, berbanding terbalik dengan kehidupan
masyarakatnya.
Anak-anak bermain di dekat perkampungan mereka |
Aku
sempat berkeliling di perkampungan suku Loli dan suku Kodi. Kedua suku ini
memiliki kemiripan budaya. Tetapi, konon
bahasa mereka sedikit berbeda.
Untuk
memasuki perkampungan ini, kita harus mengisi buku tamu, dan memberikan
uang yang ditentukan. Ketika aku dan
suamiku ke sana, kami membayarnya Rp. 50.000,00. O’ya di sini juga terkenal
dengan kain tenun. Tenun Sumba. Harganya
variatif, mulai dari puluhan ribu hingga jutaan. Dan, kita pun harus pandai
menawar. Menawar adalah pekerjaan yang paling tidak aku sukai, walaupun harus
melakukan itu. Menawar harga bagiku teramat melelahkan, terutama jika yang
dihadapi adalah pedagang kecil seperti di Sumba. Antara kasihan dan tidak
membutuhkan barang tersebut, sungguh mengaduk-aduk perasaanku. Dan membeli
karena kasihan ternyata tidaklah sehat. Sama seperti membeli barang yang tidak
dibutuhkan, adalah pemubaziran. Tetapi, bagaimana jika tidak membeli, tak ada
simpati sama sekali terhadap kehidupan mereka? Sebuah pilihan yang
membingungkan. Akhirnya, kuputuskan saja membeli, untuk membeli harapan pada masa depan mereka.
Aku dan anak-anak suku Loli, lucu-lucu, yaa..:) |
Ketika
esoknya aku kembali untuk terbang menuju Denpasar, Bali. Bayangan anak-anak Sumba
begitu menghentak-hentak jiwa, dan melukai seluruh perasaanku. Sementara aku
tak sanggup berbuat apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar