Kamis, 06 Februari 2014

Aku, Pulau Sumba dan Anak-Anak


 
Aku dan suamiku

Rencana Tuhan seperti apa yang diberikan Tuhan padaku? Atau bahkan sebenarnya aku sendiri yang merancang hidupku? Sungguh ini teka-teki hidup yang tak pernah aku ingin pertanyakan dan  aku tak ingin menjelajah sebuah misteri besar tentang masa depan.  Tetapi, kenyataannya, aku saat ini telah berada di Pulau Sumba. Bagiku, Sumba bukan cerita tentang masa depan. Aku terlempar jauh pada abad-abad terbelakang.


Jauh, sebelum pesawat mendarat dalam penerbangan dari Kupang, suamiku  menunjukkan sesuatu padaku di atas langit setelah pesawat kecil yang kami tumpangi hampir mendekat  Sumba. “Itu padang-pada savanna..”  Aku tersentak. Aku membayangkan di sana ada kambing, sapi dan kuda bergerombol meikmati rumput dan desau angin yang menyentuh reranting serta dedaunan. Atau mungkin derak-derak bebatang pohon kecil  yang melenguh dipaksa menari sang bayu. Entahlah. Aku selalu merindukan kedamaian-kedamaian yang bersahaja itu.


“Jenis pesawat seperti ini kalau mendarat akan  terasa menakutkan untuk Mama..” ujar suamiku  sedikit menakuti. Aku paham, suamiku sempat menjadi seorang aircraft engineer  selama  belasan tahun, ia sangat hafal dengan berbagai tipe jenis pesawat dan karakter masing-masing. Aku sudah bersiap-siap dengan memegang tangan suamiku erat-erat, untuk menenangkan perasaanku.  Benar saja,  pesawat ini mendarat dengan cara yang membuat aku dag dig dug. Suamiku tertawa kecil  demi melihat kegugupanku.


Bandara Tambolaka. Ya, dari sini petualangan akan dimulai.  Begitu keluar dari Bandara yang mungil ini, hawa eksotis sudah mulai terasa. Rumah-rumah sederhana penduduk di antara pohon-pohon jambu mete. Jambu mete adalah buah lokal yang menjadi andalan penduduk pulau ini. Sayangnya, tanah –tanah pertanian di Sumba banyak yang terlantar. 


Dari balik jendela mobil yang menjemput kami, aku melihat lelaki di sini semuanya menyisipkan golok di pinggangnya. Pemandangan yang membuatku takut. Dan, di Sumba,  kematian dan kehidupan seolah tak berjarak, karena semua penduduk di sini menguburkan anggota keluarganya di halaman rumah.

Anak-anak suku Kodi

Ketika mobil semakin masuk ke pedalaman, hawa kesedihan semakin menusuk perasaan. Aku tak tahan melihat anak-anak kecil telanjang, kudisan, kurus dan nyaris tak terurus. Mereka berlari-lari di halaman rumah-rumah yang sederhana. Tak ada sekat yang berarti untuk melindungi diri dari panas dan hujan. Anak-anak itu cukup mengaduk-aduk perasaan. Para orang tua nampak banyak yang duduk-duduk berleha-leha, tak banyak yang dikerjakan. Entahlah, atau karena aku datang ke sana setelah mereka pulang berladang? Mereka hidup begitu sederhana, jauh dari kelayakan. Teman suamiku mengingatkan,
“Jangan-jangan kitalah yang harus menyedihkan diri sendiri, karena terlalu banyak dijajah oleh keinginan. Mungkin mereka jauh lebih bahagia dibanding kita.”

Pemandangan seperti ini amat lazim di Sumba

 Yang paling mengasyikanku tatkala melihat anak-anak kecil sudah pandai menunggang kuda, dan juga aku melihat di Sumba, seolah peradaban baru saja dimulai. Sekalipun golok-golok ada di pinggang mereka, mereka begitu ramah. Mereka masyarakat yang berhati lembut.

Suku Kodi yang sedang duduk-duduk di depan rumahnya

Aku  cepat akrab dengan anak-anak. Di mana-mana, anak-anak mengelilingiku.  Mereka anak-anak yang lucu, walaupun aku agak tak tahan dengan tubuhnya yang bau karena jarang mandi. Tetapi tawanya itu sudah membuatku melupakan bahwa mereka bau.   Begitu banyak anak-anak kecil di sini, di Kodi Utara. Konon menurut sopir yang sekaligus menjadi guide kami, anak-anak itu bisa dari satu bapak. Karena di Sumba, orang poligami sudah biasa. Bahkan ada yang istrinya sampai 12 orang. Tetapi, mahar untuk perempuan di sini sangat mahal sekali, bisa sampai 100 ekor hewan, antara lain kuda, babi dan sapi. Tergantung kemampuan menawar juga, sih. Tetapi perlahan-lahan adat yang memberatkan ini sudah mulai ditinggalkan.


O’ya..sebagian penduduk Sumba beragama Marapu. Sekalipun agama Kristen sudah masuk dan banyak orang Sumba masuk Kristen, tetapi bukan berarti budayanya ditinggalkan. Budaya bahkan lebih kuat dibanding dengan agama itu sendiri. Karena itu kuburan-kuburan itu masih mengadopsi kuburan adat seperti bangunan  zaman megalitikum, namun sekarang  bangunan makam itu bukan dari batu, melainkan sudah di semen.


Sebuah muara sungai di Kodi Utara

Aku sempat pergi ke makam raja di Kodi Utara, di pinggir pantai yang sangat indah. Sumba memang indah. Sangat indah. Tetapi, berbanding terbalik dengan kehidupan masyarakatnya.

Anak-anak bermain di dekat perkampungan mereka

Aku sempat berkeliling di perkampungan suku Loli dan suku Kodi. Kedua suku ini memiliki kemiripan  budaya. Tetapi, konon bahasa mereka sedikit berbeda.

  
Untuk memasuki perkampungan ini, kita harus mengisi buku tamu, dan memberikan uang  yang ditentukan. Ketika aku dan suamiku ke sana, kami membayarnya Rp. 50.000,00. O’ya di sini juga terkenal dengan kain tenun. Tenun Sumba.  Harganya variatif, mulai dari puluhan ribu hingga jutaan. Dan, kita pun harus pandai menawar. Menawar adalah pekerjaan yang paling tidak aku sukai, walaupun harus melakukan itu. Menawar harga bagiku teramat melelahkan, terutama jika yang dihadapi adalah pedagang  kecil  seperti di Sumba. Antara kasihan dan tidak membutuhkan barang tersebut, sungguh mengaduk-aduk perasaanku. Dan membeli karena kasihan ternyata tidaklah sehat. Sama seperti membeli barang yang tidak dibutuhkan, adalah pemubaziran. Tetapi, bagaimana jika tidak membeli, tak ada simpati sama sekali terhadap kehidupan mereka? Sebuah pilihan yang membingungkan. Akhirnya, kuputuskan saja membeli, untuk membeli  harapan pada masa depan mereka.

Aku dan anak-anak suku Loli, lucu-lucu, yaa..:)

Ketika esoknya  aku kembali untuk  terbang menuju  Denpasar, Bali. Bayangan anak-anak Sumba begitu menghentak-hentak jiwa, dan melukai seluruh perasaanku. Sementara aku tak sanggup berbuat apa-apa.


Pasti ini seru dan menyenangkan...:)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar