Jumat, 07 Februari 2014

Aku Ingin Bercerita Tentang Pulau Kera


Sisi lain Pulau Kera
Aku telah lama mendengar tentang Pulau Kera, semenjak suamiku bertugas di Nusa Tenggara Timur semenjak tiga tahun yang lalu.  Yang terbayang olehku sebelumnya, di sana banyak binatang sejenis kera.  Pada saat ada kesempatan pergi ke Pulau Kera,  aku tak ingin menyia-nyiakannya. Dalam pikiranku yang  terbayang  keukeuh  banyak kera.


Langit begitu cerah.  Aku  membawa serta  ayahku dan adikku, Rini. Agak khawatir juga membawa ayah yang sudah sepuh  menaiki perahu. Wajahnya terlihat tegang dan pucat. Demikian pula suamiku. Ia memang agak nervous dengan laut, karena tidak bisa berenang.  Syukurlah ada baju pelampung, ini sedikit meredakan ketakutan mereka. Apalagi, ini perjalanan dengan waktu tempuh yang tidak sebentar, sekitar satu jam-an.  Semoga tak terjadi apa-apa.


Perahu sewaan yang membawa kami dari Namosain berayun-ayun. Terkadang serasa akan terbalik. Ayahku, suamiku dan adikku berjongkok dan berpegang erat-erat. Nampak mereka begitu tegang. Mungkin, aku lebih tenang dibanding mereka. Entahlah, aku bahkan sempat memotret suasana semuanya.  Aku menyukai alam. Kuikuti seluruh gerakan dan tariannya. Begitu pun dengan tarian ombak. Bagiku ini nyanyian alam.
 
Pulau Kera sudah terlihat di depan mata

Di tengah laut, kami berganti tumpangan memakai kapal pukat. Dan ketegangan semakin menggila. Yang membuat aku takut, bukan menakutkan diriku sendiri. Tetapi, ayahku, suamiku dan adikku. Ombak pun besar. Kapal berayun-ayun tak  menentu. Gelombang laut naik turun  membuat  mereka duduk terdiam menghayati ketakutan. Sementara, aku berjalan-jalan ke mana pun yang aku suka. Aku melihat burung-burung camar dan juga rajawali. Ini sangat indah. Aku menaiki geladak kapal bagian atas, dan duduk dengan tenang. Wah! Aku melihat pemandangan indah daratan Pulau Timor dan juga Pulau Semau. Sampai akhirnya, suamiku memiliki keberanian untuk mengikutiku.


Tidakkah engkau bisa bercanda dengan ombak, suamiku…?  Ini  indah…”


Lautnya jernih dan bening, pasirnya putih.

Dari kejauhan nampak Pulau Kera. Sungguh aku takjub melihatnya. Pulau Kera ternyata sebuah  pulau mungil, pasirnya putih menyilaukan mata. Di sana ada penghuninya,  suku  Bajo.  Penduduk Pulau Kera tak lebih dari 300 orang. Semua  penduduknya bekerja menjadi nelayan. Mereka adalah nelayan-nelayan yang tangguh. Mereka penakluk gelombang. Aku melihat anak-anak yang masih sangat kecil sudah diajarkan ayahnya berenang di laut.

Horor yaa...

Perempuan-perempuan Bajo juga adalah perempuan yang hebat.  Mereka membantu suaminya  dan pantang bagi mereka berleha-leha.  Dan masyarakat Bajo juga adalah masyarakat yang religius. Ketika aku  memasuki mesjid yang sangat sederhana, pas adzan dzuhur  tiba, anak-anak, lelaki dan perempuan shalat berjama’ah bersama.

Trenyuh melihat kondisi sekolah anak-anak Pulau Kera..

Ada sekolah yang sangat sederhana., hanya ada 3 ruang kelas. Entah siapa yang mengajar. Setahuku, masyarakat di sini tak memiliki KTP, entahlah bagaimana pemerintah NTT bisa memperlakukan mereka seperti itu.

Rumah suku Bajo, ini sangat manis...
Tak ada yang bisa ditanami apa pun di Pulau Kera, kecuali kelapa. Pulau ini seluruhnya hanya pasir dan pasir serta tanaman-tanaman khas pantai. Untuk mencukupi kebutuhannya, masyarakat Pulau Kera berbelanja di pasar Oeba sambil menjual ikan-ikan yang mereka tangkap. Konon tidak sulit menangkap ikan di sekitar Pulau Kera.  Aku  percaya.  NTT lautnya luas, dan nelayan pun tidak sebanyak di Pulau Jawa. Pasti tangkapannya akan banyak.


Aku  berjalan menyusuri  Pulau Kera.  Sampai aku akhirnya menggugurkan bayanganku sendiri. Tak ada kera di sini. Yang ada adalah Pulau Kera  dengan pasir putih yang menghampar  indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar