Sisi lain Pulau Kera |
Aku telah
lama mendengar tentang Pulau Kera, semenjak suamiku bertugas di Nusa Tenggara
Timur semenjak tiga tahun yang lalu.
Yang terbayang olehku sebelumnya, di sana banyak binatang sejenis kera. Pada saat ada kesempatan pergi ke Pulau
Kera, aku tak ingin menyia-nyiakannya.
Dalam pikiranku yang terbayang keukeuh
banyak kera.
Langit
begitu cerah. Aku membawa serta ayahku dan adikku, Rini. Agak khawatir juga
membawa ayah yang sudah sepuh menaiki perahu. Wajahnya terlihat tegang dan
pucat. Demikian pula suamiku. Ia memang agak nervous dengan laut, karena tidak bisa berenang. Syukurlah ada baju pelampung, ini sedikit
meredakan ketakutan mereka. Apalagi, ini perjalanan dengan waktu tempuh yang
tidak sebentar, sekitar satu jam-an.
Semoga tak terjadi apa-apa.
Perahu
sewaan yang membawa kami dari Namosain berayun-ayun. Terkadang serasa akan
terbalik. Ayahku, suamiku dan adikku berjongkok dan berpegang erat-erat. Nampak
mereka begitu tegang. Mungkin, aku lebih tenang dibanding mereka. Entahlah, aku
bahkan sempat memotret suasana semuanya.
Aku menyukai alam. Kuikuti seluruh gerakan dan tariannya. Begitu pun
dengan tarian ombak. Bagiku ini nyanyian alam.
Di
tengah laut, kami berganti tumpangan memakai kapal pukat. Dan ketegangan
semakin menggila. Yang membuat aku takut, bukan menakutkan diriku sendiri.
Tetapi, ayahku, suamiku dan adikku. Ombak pun besar. Kapal berayun-ayun tak menentu. Gelombang laut naik turun membuat
mereka duduk terdiam menghayati ketakutan. Sementara, aku berjalan-jalan
ke mana pun yang aku suka. Aku melihat burung-burung camar dan juga rajawali.
Ini sangat indah. Aku menaiki geladak kapal bagian atas, dan duduk dengan
tenang. Wah! Aku melihat pemandangan indah daratan Pulau Timor dan juga Pulau
Semau. Sampai akhirnya, suamiku memiliki keberanian untuk mengikutiku.
“Tidakkah engkau bisa bercanda dengan ombak,
suamiku…? Ini indah…”
Lautnya jernih dan bening, pasirnya putih. |
Dari
kejauhan nampak Pulau Kera. Sungguh aku takjub melihatnya. Pulau Kera ternyata
sebuah pulau mungil, pasirnya putih
menyilaukan mata. Di sana ada penghuninya,
suku Bajo. Penduduk Pulau Kera tak lebih dari 300 orang. Semua penduduknya bekerja menjadi nelayan. Mereka
adalah nelayan-nelayan yang tangguh. Mereka penakluk gelombang. Aku melihat
anak-anak yang masih sangat kecil sudah diajarkan ayahnya berenang di laut.
Horor yaa... |
Perempuan-perempuan
Bajo juga adalah perempuan yang hebat. Mereka membantu suaminya dan pantang bagi mereka berleha-leha. Dan masyarakat Bajo juga adalah masyarakat
yang religius. Ketika aku memasuki
mesjid yang sangat sederhana, pas adzan dzuhur tiba, anak-anak, lelaki dan perempuan shalat
berjama’ah bersama.
Trenyuh melihat kondisi sekolah anak-anak Pulau Kera.. |
Ada
sekolah yang sangat sederhana., hanya ada 3 ruang kelas. Entah siapa yang
mengajar. Setahuku, masyarakat di sini tak memiliki KTP, entahlah bagaimana
pemerintah NTT bisa memperlakukan mereka seperti itu.
Rumah suku Bajo, ini sangat manis... |
Tak
ada yang bisa ditanami apa pun di Pulau Kera, kecuali kelapa. Pulau ini
seluruhnya hanya pasir dan pasir serta tanaman-tanaman khas pantai. Untuk
mencukupi kebutuhannya, masyarakat Pulau Kera berbelanja di pasar Oeba sambil
menjual ikan-ikan yang mereka tangkap. Konon tidak sulit menangkap ikan di
sekitar Pulau Kera. Aku percaya.
NTT lautnya luas, dan nelayan pun tidak sebanyak di Pulau Jawa. Pasti
tangkapannya akan banyak.
Aku berjalan menyusuri Pulau Kera.
Sampai aku akhirnya menggugurkan bayanganku sendiri. Tak ada kera di
sini. Yang ada adalah Pulau Kera dengan
pasir putih yang menghampar indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar