Sabtu, 19 Juli 2014

Mozaik


1
Malam Buram


Malam  buram.

           Ini malam terakhirku ada di kota Tasikmalaya. Malam yang akan menggenapi kepedihan untuk aku dan Ibu.   Aku yang tengah termangu duduk di kursi rotan di ruang tamu menatap tas dan kopor yang di simpan di pojok ruang. Dua kopor baju –  satu kopor baju Ibu yang berwarna kelabu, dan satu kopor bajuku berwarna hitam. Lengkap sudah warna baju kopor ini adalah warna perkabungan.  Hitam dan kelabu.

            Cecak mengejar nyamuk di dinding ruangan yang berwarna putih. Aku tak lagi sanggup bernyanyi,  do re mi fa so la si do..“Hap..! lalu ditangkap..”  Laron-laron mengitari lampu. Ah, kiranya mereka sedang tersesat dalam panas dan cahaya di  lima bohlam lampu berkekuatan masing-masing sepuluh watt yang tergantung terkurung dalam lampu hias dengan bentuk seperti kelopak bunga.  Biasanya di bawah cahaya lampu – aku menyimpan baskom berisi air untuk menampung laron-laron yang jatuh.  Mayat-mayat laron mengambang di air, sayap-sayapnya lepas.  Pagi-pagi sebelum aku berangkat ke sekolah, aku bungkus mayat-mayat laron itu, disatukan dalam plastik,

“Hai..Truna! ada oleh-oleh untukmu,”  teriakku  sambil mengacung-acungkan bungkusan kepada anak  tetangga sebelahku,  sekaligus  teman sekelasku juga di kelas 6 sekolah dasar – di pagi hari.  Anak lelaki yang berkulit putih dan bermata sipit – ayahnya  kepala sekolah SMP dan ibunya guru sekolah dasar -  ini langsung menyambar oleh-oleh dariku.  Laron itu untuk makanan burung, katanya.  Ia biasanya menebarkan mayat-mayat laron itu di halaman rumahnya, di siang hari sepulang sekolah. Lalu ia masuk ke dalam rumahnya  sambil diam-diam memerhatikan burung-burung dari balik jendela  mematuki almarhum dan almarhumah laron.

Untuk semua kebaikanku memberi hadiah mayat-mayat laron selama menjadi tetangga baiknya - sore lalu Truna   memberiku sebuah batu yang diambil dari sungai tempat kami  bermain bersama teman-teman, “Jika kau merasa mabuk nanti, pegang erat-erat batu ini. Aku telah membuktikan kemujarabannya sewaktu pergi ke Jakarta.” Ia menyerahkannya padaku seperti upacara sakral pelimpahan benda pusaka.  Konon, katanya ia suka mabuk juga di perjalanan sepertiku, dan batu ini seperti jimat baginya. Aku menerimanya sambil tertawa. Mungkin Truna sudah agak sedikit gila, mana ada batu yang bisa menyembuhkan mabuk. Demi menjaga perasaannya, aku menerimanya walaupun sambil tertawa terbahak.

            Sebenarnya, keluarga Truna ingin mengantar kami ke Cianjur, karena mereka memiliki mobil minibus tua. Truna  begitu bersemangat ketika kukatakan nanti kami akan melewati jembatan Rajamandala. Entahlah, anak itu adalah anak yang aneh, ia selalu mengagumi dan terpukau pada sungai dan jembatan.  Untuk tawaran itu,  Ibu menolaknya dengan halus karena tak ingin merepotkan. Lebih dari itu, ia ingin mengajari anaknya kehidupan. Ibu bilang, kehidupan di angkutan umum itu adalah realitas  di mana anaknya perlu membuka mata, ia ingin melatih anaknya ketegaran dan daya juang. Ketika Ibu berkata kepada suami-istri  pendidik itu,  mereka menatap Ibu dengan haru.

            Sekarang, kubiarkan laron-laron itu bergeletakan di lantai. Sesekali, aku melihat bagaimana tubuh-tubuh itu  melemah,  melayang-layang, terkulai – lalu  jatuh di lantai. Sayap-sayapnya patah. Laron-laron itu, seperti  peri hutan yang dikhianati kekasihnya – kedua sayapnya dipotong untuk dipersembahkan kepada raja. Peri hutan lalu berjalan terseok-seok kehilangan harapan dan menembus kegelapan. Laron-laron tanpa sayap  itu berjalan  di hadapanku tak tentu arah, dan  bersiap-siap menyambut  kematian.

            Aku mendengar Ibu terisak di sudut kamar.  Seperti isak tangis peri  yang terluka.  Aku selalu mendengarnya seusai menyelesaikan sujud terakhir dalam shalatnya, terutama di lima bulan terkahir ini.   Sajadah biru yang terbentang bekas Ibu bersujud selalu basah. Namun setelah menyelesaikan sujud panjangnya – ketika Ibu keluar dari kamarnya, raut wajah Ibu semakin  terlihat sabar dan tabah.

            Aku anak yatim. Ayah meninggal lima bulan lalu karena sakit, dalam usia yang masih muda, 40 tahun. Ibu menjadi janda dalam usia muda, 35 tahun dan hanya menjadi ibu rumah tangga.   Tuhan telah menerapkan dalil kepada kami, untuk menempuh titah-Nya dalam untaian-untaian rencana-Nya. Kami tak bisa mengelak takdir, dan Ayah tak bisa menunda kematiannya – menungguku  hingga dewasa.  Atau, menunggu sampai Ayah tua dan terbungkuk.

            Dulu,  Ibu dan Ayah sering menatap takjub dengan dua pasang mata mereka – ketika ada kakek dan nenek saling menggenggam erat jemari di jalan, dan saling bertatapan mesra,
            “Seperti itu nanti kita, sayang..” kata Ayah sambil merengkuh pundak Ibu, sesaat kemudian membelai rambut Ibu, dan disandarkan ke pundaknya.  Ibu hanya tersenyum. Ibu memang perempuan yang tidak banyak bicara. Sementara Ayah adalah pria yang sungguh romantis. Mungkin karena ia lahir dari keluarga seniman Sunda – kakekku adalah seorang pemain calung yang piawai mengarang lagu Sunda, tetapi terjebak menjadi seorang pengrajin tempe dan oncom karena desakan kebutuhan untuk bertahan hidup.    Tetapi, Ayah tak pernah mampu melawan keinginan Tuhan untuk memanggilnya pulang.  Dan ‘nanti’  itu tidak pernah terjadi…

            Aku tidak tahu, apakah Ibu akan menjadi peri hutan setelah sayap-sayapnya harapannya dipatahkan oleh kematian Ayah – akankah  Ibu  membawaku menuju kegelapan?
            Ibuku, Dewi Sartika – semoga ia bukan perempuan lemah. Sebagaimana Raden Dewi Sartika, nama pahlawan wanita yang berasal dari tanah Pasundan – ia akan menyusun mimpi kembali, dengan sayapnya yang patah.  Sebagaimana peri hutan yang kelak menemukan makna kehidupan, tanpa ciuman kekasih sejati  yang mengkhianati – melainkan oleh ciuman kehidupan.


***

Tirai kubuka. Di langit  bintang berkelip, tak ada yang jenaka.

            Membayangkan di luar jendela sana ada Ayah, seperti di dalam film-film yang muncul tiba-tiba. Ayah berubah menjadi malaikat pelindung dengan lingkaran putih yang terbuat dari cahaya di atasnya.  Hanya desir angin menyentuh dedaunan yang menari-nari berkilat-kilat dipapar cahaya purnama.  Ia membawa setangkai mawar merah untuk Ibu dan sebatang cokelat untukku.

Tak ada Ayah.
            Sunyi  mengembang di batas cakrawala.
            Malam ini aku ingin terjaga bersama  purnama.

Aku membayangkan, Ayah ada di sana. Di atas  langit. Ia berubah menjadi bintang-bintang. Kami ada dalam ruang diametral - dua sosok yang berhadapan, tak dapat  saling  berbicara dan tak mungkin saling menyentuh. Di antara ruang itu, ada kenangan, ada cerita di antara kami bertiga.  Ia, Ayah, akan  bersinar terang di dalam jiwa. 

“Tidurlah, sayang..” tegur Ibu lembut dari balik pintu kamar.
         “Sebentar lagi, Bu..” jawabku berbohong -  hanya untuk menghentikan perintahnya yang akan berulang. Perintah Ibu akan mengentikanku menjaga rencana semula. Aku tak mengantuk.   Akan  menjaga purnama terakhir di Tasikmalaya.
            “Apa yang sedang kau lakukan?”
            “Melihat bulan..”

            Ibu membalikkan tubuhnya ke kamar. Aku tahu Ibu pun tidak bisa tidur.  Terlalu banyak bayangan Ayah di rumah ini. Terlalu banyak kenangan yang bersemayam pada setiap derit pintu menunggu kepulangan dan kedatangan Ayah sepulang berkerja. Terlalu banyak lambaian tangan dan senyuman yang dilempar dari balik jendela ke halaman ketika Ayah berkebun dengan topi petaninya yang lucu. Suara-suara Ayah mengitari seluruh ruangan dan sudut-sudut rumah dari rekaman-rekaman di masa lalu. Tiba-tiba seluruh kerinduan menghela perasaanku, mengaduk-aduk ruang bathinku. Mataku membasah.

            Aku tidak tahu kapan datangnya. Se-jam kemudian Ibu telah berada di sampingku dan membelai rambutku. 
            “Banyak yang kau beratkan di sini, ya?”
Aku mengangguk.
            “Demikian pula Ibu. Tetapi, kita tak banyak pilihan kecuali kembali ke Cianjur,” katanya seakan membaca pikiranku.
Aku hanya diam. Aku tahu, rumah ini bukan milik kami. Ini hanya rumah dinas. Sementara Ibu telah memiliki rumah warisan mendiang kakek dan nenek di Cianjur.  Kini tinggal kami berdua, hanya aku dan Ibu.
            “ Suatu hari kita akan melihat rumah ini lagi, sambil melihat pusara Ayah,” hibur Ibu. Aku tahu, Ibu sebenarnya berduka – bahkan dukanya lebih dalam dibanding dengan diriku.  Kehilangan suami, seperti lenyap separuh jiwanya.  Aku ingat, bagaimana Ibu tak mampu berbicara sampai beberapa hari, kecuali air mata yang menderas mengaliri pipi. Begitulah Ibu, jika dilanda duka cita yang dalam, ia tak banyak berkata-kata, tidak pula histeris.  Ibu seperti air sungai yang dalam, lembut mengalir perlahan namun menyimpan ketegaran.

            Di balik ketegaran Ibu, tetap saja agak gentar menatap masa depan tanpa kepastian dengan tanggungan anak yatim.  Beruntung Ibu memiliki keterampilan menjahit, ia berkata bahwa nanti ia akan menerima jahitan. Pasti ini akan membutuhkan perjuangan,  yang tidak mudah. Karena selama ini ia hanya ibu rumah tangga tanpa kegiatan apa pun yang menghasilan pendapatan. Tetapi, Ibu memang pandai menjahit dan merancang busana – namun tak pernah dijadikan pendapatan pribadinya.

Mungkin Ibu agak sedikit lega, ada uang hak  pensiun Ayah sebagai PNS yang tidak seberapa.  Ibu berharap, dengan berhemat dan ia akan mencoba mencari  penghasilan tambahan - semoga akan cukup untuk menopang hidup kami dan menyekolahkanku  hingga  mencapai perguruan tinggi, sebagaimana Ayah pernah menitipkan mimpi dengan lagu yang sering dilagukannya untukku :

Nelengnengkung, nelengnengkung.
Geura gede, geura jangkung.
Geura sakola di Bandung.
Nyiar elmu anu luhung.

           
Di masa depan, dengan kesendirian Ibu sebagai janda,  semoga Ibu kuat  ketika mendapatkan tekanan-tekanan hidup dari luar sana, dan  tak ada bahu lagi  baginya untuk bersandar - Ia malah harus
menguatkan bahunya untukku. Mudah-mudahan  Ibu akan semakin tegar menghadapi hari-hari ke depan yang kejam dari liarnya tatapan perempuan-perempuan yang bersuami yang wanti-wanti berpesan  agar   menghindar bertemu dan  memberikan senyuman pada Ibu? Bertemu seorang janda  kesepian akan lebih menakutkan dibandingkan bertemu seekor  harimau.

            “Kau masih ingat Mira, kisah nabi Muhammad. Ia yatim, bahkan sebelum Baginda lahir. Allah sangat mengasihi anak yatim, dimuliakan-Nya Muhammad dari lahir hingga kematiannya. Ibu kira, Ibu pun akan setegar Siti  Aminah,” hiburnya untukku dan untuk dirinya.  Aku tidak tahu, kalimatnya sungguh-sungguh,  ataukah ia  sedang meredakan dan memanipulasi perasaannya sendiri ?  Namun Ibu yang dibesarkan dalam kultur religius di masa kecilnya di Cianjur, mudah menerima  takdir dan nasib yang menyambanginya – sebagaimana  matahari yang tak dapat unjuk rasa untuk merubah posisi arah terbit. Agama telah memberikan kepadanya keyakinan, pengharapan sekaligus kepasrahan.

            Aku ingat kisah-kisah para Nabi, mereka tak ada yang hidup dalam ketenangan dan kenyamanan. Siti Maryam membesarkan Isa Almasih seorang diri, demikian pula banyak cerita-cerita tentang orang-orang besar yang menjadi besar karena mengalami kesulitan dan kepahitan dalam hidupnya. Kepedihan itu menjadi energi, bukannya melemahkan. Mungkin Ibu sudah menghayati kemalangan nasib kami hingga ke titik itu.

            “Ibu sangat mencintai Ayah, kehilangan bukan berarti harus larut. Karena hidup harus berlanjut. Kau harus punya masa depan,” jelasnya menguatkan.
            “Tidurlah, agar besok badanmu segar..” lanjutnya. Aku tak ingin membebani perasaan Ibu. Kulangkahkan kakiku menuju kamar. Kubaringkan tubuhku, tetapi mataku tak bisa terpejam. Terlalu banyak serpihan-serpihan  bayangan Ayah dan pusaranya nun jauh di sana di bukit Ardilaya, teman-teman, sawah, gunung Galunggung, sungai, laron dan Truna – silih berganti menari-nari di pikiranku. Mataku tak bisa terpejam.  Dalam sisi ini, aku mewarisi karakter Ayah yang agak melankoli dan butuh waktu untuk  melarutkan perasaan kehilangan dan juga meninggalkan  banyak nostalgi.


***

Untuk hidup. Di mana aku telah merasakan kehilangan – pada jiwa yang sangat kusayang.
Untuk hidup. Di mana aku  akan meninggalkan halte persinggahan di waktu kanak – di mana telah kutanam sejuta kenangan.
Untuk hidup. Yang tak pernah menghentikan waktu barang sejenak untuk meredakan ketakutan tentang masa depan.
Dua orang perempuan menembus misteri.
Ibu dan anak perempuannya – yang sedang mendefinisikan ulang hidup, dalam sangkar takdir.
Tetapi kami harus terus menghela hidup, untuk nafas yang masih  perlu kami bela.
Untuk purnama terakhir di Tasikmalaya, aku akan memeramkan kepedihan di rongga dada.
Selamat tinggal  Ayah di Ardilaya.
Aku akan datang kembali mengunjungi pusaramu, suatu hari.
Kami harus kuat..!


                                                                                 




           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar