1
Malam Buram
Malam buram.
Ini
malam terakhirku ada di kota Tasikmalaya. Malam yang akan menggenapi kepedihan
untuk aku dan Ibu. Aku yang tengah
termangu duduk di kursi rotan di ruang tamu menatap tas dan kopor yang di
simpan di pojok ruang. Dua kopor baju –
satu kopor baju Ibu yang berwarna kelabu, dan satu kopor bajuku berwarna
hitam. Lengkap sudah warna baju kopor ini adalah warna perkabungan. Hitam dan kelabu.
Cecak
mengejar nyamuk di dinding ruangan yang berwarna putih. Aku tak lagi sanggup bernyanyi,
do
re mi fa so la si do..“Hap..! lalu ditangkap..” Laron-laron mengitari lampu. Ah, kiranya
mereka sedang tersesat dalam panas dan cahaya di lima bohlam lampu berkekuatan masing-masing
sepuluh watt yang tergantung terkurung dalam lampu hias dengan bentuk seperti
kelopak bunga. Biasanya di bawah cahaya
lampu – aku menyimpan baskom berisi air untuk menampung laron-laron yang jatuh.
Mayat-mayat laron mengambang di air,
sayap-sayapnya lepas. Pagi-pagi sebelum
aku berangkat ke sekolah, aku bungkus mayat-mayat laron itu, disatukan dalam
plastik,
“Hai..Truna!
ada oleh-oleh untukmu,” teriakku sambil mengacung-acungkan bungkusan kepada
anak tetangga sebelahku, sekaligus teman sekelasku juga di kelas 6 sekolah dasar –
di pagi hari. Anak lelaki yang berkulit
putih dan bermata sipit – ayahnya kepala
sekolah SMP dan ibunya guru sekolah dasar - ini langsung menyambar oleh-oleh dariku. Laron itu untuk makanan burung, katanya. Ia biasanya menebarkan mayat-mayat laron itu
di halaman rumahnya, di siang hari sepulang sekolah. Lalu ia masuk ke dalam
rumahnya sambil diam-diam memerhatikan
burung-burung dari balik jendela
mematuki almarhum dan almarhumah laron.
Untuk semua
kebaikanku memberi hadiah mayat-mayat laron selama menjadi tetangga baiknya - sore
lalu Truna memberiku sebuah batu yang diambil dari sungai
tempat kami bermain bersama teman-teman,
“Jika kau merasa mabuk nanti, pegang erat-erat batu ini. Aku telah membuktikan
kemujarabannya sewaktu pergi ke Jakarta.” Ia menyerahkannya padaku seperti
upacara sakral pelimpahan benda pusaka. Konon, katanya ia suka mabuk juga di
perjalanan sepertiku, dan batu ini seperti jimat baginya. Aku menerimanya
sambil tertawa. Mungkin Truna sudah agak sedikit gila, mana ada batu yang bisa
menyembuhkan mabuk. Demi menjaga perasaannya, aku menerimanya walaupun sambil
tertawa terbahak.
Sebenarnya,
keluarga Truna ingin mengantar kami ke Cianjur, karena mereka memiliki mobil
minibus tua. Truna begitu bersemangat
ketika kukatakan nanti kami akan melewati jembatan Rajamandala. Entahlah, anak
itu adalah anak yang aneh, ia selalu mengagumi dan terpukau pada sungai dan
jembatan. Untuk tawaran itu, Ibu menolaknya dengan halus karena tak ingin
merepotkan. Lebih dari itu, ia ingin mengajari anaknya kehidupan. Ibu bilang,
kehidupan di angkutan umum itu adalah realitas
di mana anaknya perlu membuka mata, ia ingin melatih anaknya ketegaran
dan daya juang. Ketika Ibu berkata kepada suami-istri pendidik itu,
mereka menatap Ibu dengan haru.
Sekarang,
kubiarkan laron-laron itu bergeletakan di lantai. Sesekali, aku melihat
bagaimana tubuh-tubuh itu melemah, melayang-layang, terkulai – lalu jatuh di lantai. Sayap-sayapnya patah.
Laron-laron itu, seperti peri hutan yang
dikhianati kekasihnya – kedua sayapnya dipotong untuk dipersembahkan kepada
raja. Peri hutan lalu berjalan terseok-seok kehilangan harapan dan menembus
kegelapan. Laron-laron tanpa sayap itu
berjalan di hadapanku tak tentu arah,
dan bersiap-siap menyambut kematian.
Aku
mendengar Ibu terisak di sudut kamar. Seperti isak tangis peri yang terluka. Aku selalu mendengarnya seusai menyelesaikan
sujud terakhir dalam shalatnya, terutama di lima bulan terkahir ini. Sajadah biru yang terbentang bekas Ibu
bersujud selalu basah. Namun setelah menyelesaikan sujud panjangnya – ketika
Ibu keluar dari kamarnya, raut wajah Ibu semakin terlihat sabar dan tabah.
Aku
anak yatim. Ayah meninggal lima bulan lalu karena sakit, dalam usia yang masih
muda, 40 tahun. Ibu menjadi janda dalam usia muda, 35 tahun dan hanya menjadi
ibu rumah tangga. Tuhan telah
menerapkan dalil kepada kami, untuk menempuh titah-Nya dalam untaian-untaian
rencana-Nya. Kami tak bisa mengelak takdir, dan Ayah tak bisa menunda
kematiannya – menungguku hingga dewasa. Atau, menunggu sampai Ayah tua dan terbungkuk.
Dulu,
Ibu dan Ayah sering menatap takjub
dengan dua pasang mata mereka – ketika ada kakek dan nenek saling menggenggam
erat jemari di jalan, dan saling bertatapan mesra,
“Seperti
itu nanti kita, sayang..” kata Ayah sambil merengkuh pundak Ibu, sesaat kemudian
membelai rambut Ibu, dan disandarkan ke pundaknya. Ibu hanya tersenyum. Ibu memang perempuan
yang tidak banyak bicara. Sementara Ayah adalah pria yang sungguh romantis.
Mungkin karena ia lahir dari keluarga seniman Sunda – kakekku adalah seorang
pemain calung yang piawai mengarang lagu Sunda, tetapi terjebak menjadi seorang
pengrajin tempe dan oncom karena desakan kebutuhan untuk bertahan hidup. Tetapi,
Ayah tak pernah mampu melawan keinginan Tuhan untuk memanggilnya pulang. Dan ‘nanti’
itu tidak pernah terjadi…
Aku
tidak tahu, apakah Ibu akan menjadi peri hutan setelah sayap-sayapnya
harapannya dipatahkan oleh kematian Ayah – akankah Ibu
membawaku menuju kegelapan?
Ibuku,
Dewi Sartika – semoga ia bukan perempuan lemah. Sebagaimana Raden Dewi Sartika,
nama pahlawan wanita yang berasal dari tanah Pasundan – ia akan menyusun mimpi
kembali, dengan sayapnya yang patah.
Sebagaimana peri hutan yang kelak menemukan makna kehidupan, tanpa
ciuman kekasih sejati yang mengkhianati –
melainkan oleh ciuman kehidupan.
***
Tirai kubuka. Di langit bintang berkelip, tak ada yang jenaka.
Membayangkan
di luar jendela sana ada Ayah, seperti di dalam film-film yang muncul
tiba-tiba. Ayah berubah menjadi malaikat pelindung dengan lingkaran putih yang
terbuat dari cahaya di atasnya. Hanya
desir angin menyentuh dedaunan yang menari-nari berkilat-kilat dipapar cahaya
purnama. Ia membawa setangkai mawar
merah untuk Ibu dan sebatang cokelat untukku.
Tak ada Ayah.
Sunyi mengembang di batas cakrawala.
Malam
ini aku ingin terjaga bersama purnama.
Aku membayangkan, Ayah ada di sana.
Di atas langit. Ia berubah menjadi
bintang-bintang. Kami ada dalam ruang diametral - dua sosok yang berhadapan,
tak dapat saling berbicara dan tak mungkin saling menyentuh. Di
antara ruang itu, ada kenangan, ada cerita di antara kami bertiga. Ia, Ayah, akan bersinar terang di dalam jiwa.
“Tidurlah,
sayang..” tegur Ibu lembut dari balik pintu kamar.
“Sebentar
lagi, Bu..” jawabku berbohong - hanya
untuk menghentikan perintahnya yang akan berulang. Perintah Ibu akan
mengentikanku menjaga rencana semula. Aku tak mengantuk. Akan
menjaga purnama terakhir di Tasikmalaya.
“Apa
yang sedang kau lakukan?”
“Melihat
bulan..”
Ibu
membalikkan tubuhnya ke kamar. Aku tahu Ibu pun tidak bisa tidur. Terlalu banyak bayangan Ayah di rumah ini.
Terlalu banyak kenangan yang bersemayam pada setiap derit pintu menunggu
kepulangan dan kedatangan Ayah sepulang berkerja. Terlalu banyak lambaian tangan
dan senyuman yang dilempar dari balik jendela ke halaman ketika Ayah berkebun
dengan topi petaninya yang lucu. Suara-suara Ayah mengitari seluruh ruangan dan
sudut-sudut rumah dari rekaman-rekaman di masa lalu. Tiba-tiba seluruh
kerinduan menghela perasaanku, mengaduk-aduk ruang bathinku. Mataku membasah.
Aku
tidak tahu kapan datangnya. Se-jam kemudian Ibu telah berada di sampingku dan
membelai rambutku.
“Banyak
yang kau beratkan di sini, ya?”
Aku mengangguk.
“Demikian
pula Ibu. Tetapi, kita tak banyak pilihan kecuali kembali ke Cianjur,” katanya
seakan membaca pikiranku.
Aku hanya diam. Aku tahu, rumah ini
bukan milik kami. Ini hanya rumah dinas. Sementara Ibu telah memiliki rumah
warisan mendiang kakek dan nenek di Cianjur.
Kini tinggal kami berdua, hanya aku dan Ibu.
“
Suatu hari kita akan melihat rumah ini lagi, sambil melihat pusara Ayah,” hibur
Ibu. Aku tahu, Ibu sebenarnya berduka – bahkan dukanya lebih dalam dibanding
dengan diriku. Kehilangan suami, seperti
lenyap separuh jiwanya. Aku ingat,
bagaimana Ibu tak mampu berbicara sampai beberapa hari, kecuali air mata yang
menderas mengaliri pipi. Begitulah Ibu, jika dilanda duka cita yang dalam, ia
tak banyak berkata-kata, tidak pula histeris.
Ibu seperti air sungai yang dalam, lembut mengalir perlahan namun
menyimpan ketegaran.
Di
balik ketegaran Ibu, tetap saja agak gentar menatap masa depan tanpa kepastian
dengan tanggungan anak yatim. Beruntung
Ibu memiliki keterampilan menjahit, ia berkata bahwa nanti ia akan menerima
jahitan. Pasti ini akan membutuhkan perjuangan, yang tidak mudah. Karena selama ini ia hanya
ibu rumah tangga tanpa kegiatan apa pun yang menghasilan pendapatan. Tetapi,
Ibu memang pandai menjahit dan merancang busana – namun tak pernah dijadikan
pendapatan pribadinya.
Mungkin Ibu
agak sedikit lega, ada uang hak pensiun
Ayah sebagai PNS yang tidak seberapa.
Ibu berharap, dengan berhemat dan ia akan mencoba mencari penghasilan tambahan - semoga akan cukup untuk
menopang hidup kami dan menyekolahkanku
hingga mencapai perguruan tinggi,
sebagaimana Ayah pernah menitipkan mimpi dengan lagu yang sering dilagukannya
untukku :
Nelengnengkung, nelengnengkung.
Geura gede,
geura jangkung.
Geura sakola di Bandung.
Nyiar elmu anu
luhung.
Di masa
depan, dengan kesendirian Ibu sebagai janda, semoga Ibu kuat ketika mendapatkan tekanan-tekanan hidup dari
luar sana, dan tak ada bahu lagi baginya untuk bersandar - Ia malah harus
“Kau
masih ingat Mira, kisah nabi Muhammad. Ia yatim, bahkan sebelum Baginda lahir.
Allah sangat mengasihi anak yatim, dimuliakan-Nya Muhammad dari lahir hingga
kematiannya. Ibu kira, Ibu pun akan setegar Siti Aminah,” hiburnya untukku dan untuk dirinya. Aku tidak tahu, kalimatnya
sungguh-sungguh, ataukah ia sedang meredakan dan memanipulasi perasaannya
sendiri ? Namun Ibu yang dibesarkan
dalam kultur religius di masa kecilnya di Cianjur, mudah menerima takdir dan nasib yang menyambanginya –
sebagaimana matahari yang tak dapat
unjuk rasa untuk merubah posisi arah terbit. Agama telah memberikan kepadanya
keyakinan, pengharapan sekaligus kepasrahan.
Aku
ingat kisah-kisah para Nabi, mereka tak ada yang hidup dalam ketenangan dan
kenyamanan. Siti Maryam membesarkan Isa Almasih seorang diri, demikian pula
banyak cerita-cerita tentang orang-orang besar yang menjadi besar karena
mengalami kesulitan dan kepahitan dalam hidupnya. Kepedihan itu menjadi energi,
bukannya melemahkan. Mungkin Ibu sudah menghayati kemalangan nasib kami hingga
ke titik itu.
“Ibu
sangat mencintai Ayah, kehilangan bukan berarti harus larut. Karena hidup harus
berlanjut. Kau harus punya masa depan,” jelasnya menguatkan.
“Tidurlah,
agar besok badanmu segar..” lanjutnya. Aku tak ingin membebani perasaan Ibu.
Kulangkahkan kakiku menuju kamar. Kubaringkan tubuhku, tetapi mataku tak bisa
terpejam. Terlalu banyak serpihan-serpihan bayangan Ayah dan pusaranya nun jauh di sana
di bukit Ardilaya, teman-teman, sawah, gunung Galunggung, sungai, laron dan
Truna – silih berganti menari-nari di pikiranku. Mataku tak bisa terpejam. Dalam sisi ini, aku mewarisi karakter Ayah
yang agak melankoli dan butuh waktu untuk
melarutkan perasaan kehilangan dan juga meninggalkan banyak nostalgi.
***
Untuk hidup. Di mana aku telah
merasakan kehilangan – pada jiwa yang sangat kusayang.
Untuk hidup. Di mana aku akan meninggalkan halte persinggahan di waktu
kanak – di mana telah kutanam sejuta kenangan.
Untuk hidup. Yang tak pernah
menghentikan waktu barang sejenak untuk meredakan ketakutan tentang masa depan.
Dua orang perempuan menembus misteri.
Ibu dan anak perempuannya – yang
sedang mendefinisikan ulang hidup, dalam sangkar takdir.
Tetapi kami harus terus menghela
hidup, untuk nafas yang masih perlu kami
bela.
Untuk purnama terakhir di Tasikmalaya,
aku akan memeramkan kepedihan di rongga dada.
Selamat tinggal Ayah di Ardilaya.
Aku akan datang kembali mengunjungi
pusaramu, suatu hari.
Kami harus kuat..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar